Dorongan hawa nafsu menjadikan seseorang untuk tamak terhadap harta. Dalam eksesnya, kerakusan akan membutakan mata batinnya. Ia tak lagi peduli pada soal halal atau haram dari hartanya atau caranya memperoleh kekayaan. Padahal, kehidupan di dunia tidak selamanya. Kelak di akhirat, setiap insan akan dimintai pertanggungjawaban.
Kisah berikut mengajarkan teladan tentang kehati-hatian dalam mendapatkan harta. Cerita yang dimaksud berasal dari sebuah hadis sahih, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.
Nabi Muhammad SAW suatu kali menuturkan riwayat tentang dua orang lelaki dari umat beriman pada zaman lampau. Lelaki pertama hendak membeli lahan dari lelaki kedua. Mereka kemudian saling bersepakat tentang harga area tersebut. Ijab kabul pun berlangsung dengan lancar. Masing-masing akhirnya memperoleh haknya secara adil. Si pembeli mendapatkan tanah, sedangkan si penjual menerima sejumlah uang.
Beberapa hari kemudian, si pembeli terkejut saat mengunjungi lahan yang baru dibelinya itu. Pasalnya, di sana ia menemukan sebuah guci yang berisi penuh emas. Ia kemudian melaporkan seguci emas itu kepada orang yang telah menjual lahan ini kepadanya
Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu.
"Wahai hamba Allah, aku menemukan guci berisi emas ini di atas lahan yang kini menjadi milikku. Ambillah guci ini! Sungguh, aku membeli darimu hanya sebidang tanah sesuai kesepakatan," kata si pembeli.
Namun, anjuran ini ditolak si penjual. Alasannya, dirinya telah menjual tanah itu beserta isinya. Dan, emas-emas di dalam guci itu ditemukan di lahan yang telah dijualnya sehingga kini pantaslah menjadi milik si pembeli.
"Ambillah guci ini! Sungguh, saya menjual tanah ini kepadamu berikut isinya!" kata dia.
"Tidak, Anda-lah yang seharusnya mengambil guci ini," sanggah si pembeli, "sebab, saya hanya membeli tanah dari Anda, bukan guci ini."
Lama kelamaan, keduanya naik pitam. Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu. Untuk menyelesaikan perselisihan, para warga setempat menyarankan keduanya agar membawa perkara ini ke hadapan hakim untuk diadili.
Di pengadilan, hakim menerima keterangan dari mereka berdua. Tetap saja, tidak ada yang mau mengalah dengan menerima guci penuh emas itu.
Sang hakim kemudian berkata kepada mereka, "Apakah masing- masing kalian mempunyai anak?"
Si pembeli menjawab, "Ya, anak saya laki-laki."
"Anak saya perempuan," kata si penjual menimpali.
Kalau begitu, lanjut hakim, "Nikahkanlah mereka berdua. Berilah belanja kepada mereka dari harta dalam guci ini, serta bersedekahlah kalian berdua!"
Setelah itu, mereka pun melaksanakan perintah hakim. Berkat pernikahan putra-putri mereka, keduanya menjadi lebih erat dalam ikatan persaudaraan.
Berawal dari takut terhadap harta syubhat, yakni harta yang diragukan kehalalan atau keharamannya. Kedua insan itu akhirnya menjadi satu keluarga besar.
Kisah yang disampaikan melalui hadis ini menunjukkan fadhilah sikap amanah dan jujur. Tidak ada nafsu baik dari si pembeli maupun penjual lahan itu untuk menguasai harta yang bukan haknya. Mereka tidak berambisi dalam muamalah yang penuh keadilan.
Allah SWT pun membalas sikap hati-hati (wara') mereka dengan sesuatu yang lebih baik: ikatan keluarga. Malahan, harta itu kemudian menjadi jelas statusnya dan lebih berkah karena dipakai anak keturunannya dalam membina rumah tangga.
Kedua lelaki beriman itu mengadakan sengketa karena menolak memiliki harta. Bilakah keadaan masyarakat kini yang marak kita jumpai? Di pelbagai pemberitaan, tak sedikit pertikaian yang didorong ambisi masing-masing pihak untuk menguasai harta yang dipersengketakan.
Sengketa demikian tidak mengherankan. Sebab, dalam setiap jiwa manusia memang tertanam rasa cinta terhadap dunia. Allah Ta'ala telah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 14. Artinya, "Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."
Bagaimanapun, Islam mengajarkan agar kecintaan itu tidak berlebihan. Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada. Jangan sampai hak seseorang terampas, apalagi nyawa di kandung badan.
Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada.
Alquran dan Sunnah telah mewanti-wanti agar manusia mencari harta dari jalan yang halal. Alquran surah at-Taubah ayat 34 mengambil contoh para tokoh agama yang justru semena-mena sehingga tega memakan harta yang bukan haknya.
Arti ayat itu, "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih."
Sesulit apa pun kita untuk mencari uang, jauhkanlah hal-hal yang didapatkan dengan cara haram dan dari sumber yang tak halal pula. Dalam Islam, apa-apa yang dilakukan dengan cara haram tidak akan bermanfaat bagi orang tersebut. Di dalam Al-Quran juga mengingatkan kepada semua muslim bahwa uang haram, seperti halnya riba, tidak ada kebaikan di dalamnya seperti yang tercantum pada surat Al-Baqarah ayat 276 yang artinya:
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."
Berbicara tentang riba, perolehan harta yang didapat dari aktivitas riba, sudah jelas keharamannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Allah SWT memberikan banyak cara untuk mendapatkan uang dengan cara yang halal, seperti jual-beli.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
Lalu, pernah tidak kamu mempertanyakan jika uang yang didapat secara riba dan digunakan untuk hal-hal baik, seperti sedekah diperbolehkan atau tidak dan seperti apa hukumnya. Kita semua jelas tahu, riba adalah perbuatan haram, berarti uang yang didapat pun bukanlah dari cara yang halal. Namun, jika uang riba tersebut digunakan untuk hal-hal baik tentu tidak akan membuat uang tersebut menjadi halal. Artinya, niat baik tidak bisa melepaskan perkara yang jelas-jelas keharamannya.
Jadi, harta yang diperoleh dari aktivitas riba dan semacamnya, tetap keharamannya. Tidak boleh diambil, apa pun bentuk penggunaan dan keperluannya. Sebab, harta tersebut adalah harta yang telah diharamkan. Maka dari itu, jauhi segala hal yang berbau riba dan hal-hal yang tida halal untuk menaikkan jumlah harta kamu.
Referensi Sebagai berikut ini ;