Kamis, 28 Juli 2022

Kisah Dua Pemuda yang Takut Menerima Harta Syubhat

Kisah Dua Pemuda yang Takut Sekali Menerima Harta Syubhat. Dalam sejarah umat manusia selalu ada kisah teladan yang bernilai luhur. Salah satunya kisah dua orang pemilik harta yang tak merasa memiliki hartanya. Mereka seakan tak membutuhkan perkara dunia. Salah satu alasan mereka adalah takut bila harta diterimanya syubhat. Apalagi sampai haram. Lebih lanjut kisah itu menggambarkan bagaimana dua orang pria yang sama-sama menolak untuk memiliki bejana yang mengandung emas di dalamnya. Masing-masing mengira bahwa bejana itu bukan miliknya, melainkan milik kawannya. Akhirnya, seorang hakim yang mengadili perkara keduanya menetapkan sebuah keputusan yang unik. Seperti apa keunikannya, dapat disimak dalam hadits riwayat Abu Hurairah.

Melalui hadits itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan dua orang pria yang bertransaksi jual beli sebidang tanah. Setelah bertransaksi, si pembeli mendapati sebuah bejana berisi emas di tanah yang dibelinya. Namun, keadaan keduanya sungguh mengherankan. Biasanya, kondisi demikian membuat dua pihak bersengketa. Masing-masing ingin mendapatkan emas. Mengklaim bahwa itu miliknya. Pembeli merasa, emas itu ada di tanah yang telah dibelinya. Begitu pula si penjual merasa hanya menjual tanah. Tidak termasuk emas yang ada di dalamnya.   

Tidak mengherankan sengketa seperti itu terjadi karena kecintaan manusia terhadap dunia. Dan kecintaan itu tertanam dalam setiap jiwa manusia. Dalam kaitan ini, Allah telah berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga),” (QS Ali ‘Imrân 3: 14).   

Akibat kecintaan itu tak sedikit di antara mereka yang sampai berani terlibat perselisihan, pertengkaran, dan permusuhan. Bahkan, tak jarang pula mereka yang menghalalkan segala cara. Termasuk pertumpahan darah dan persengketaan demi menguasai harta yang ada di tangan orang lain.   

Allah telah mengabarkan penyakit yang satu ini. Yaitu penyakit makan harta orang lain dengan cara batil. Wahyu-Nya telah sampai kepada para pengidapnya. Padahal, mereka penegak syariat-Nya, Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS al-Taubah 9 : 34).   

Tak diragukan lagi, kedua pria di atas termasuk orang saleh dan wara‘. Dinding keimanan, ketakwaan, dan kesalehan mereka sangat kuat berada di balik kezuhudan mereka terhadap harta. Terlebih jika status harta itu haram dan tidak jelas pemiliknya. Orang-orang takwa betul-betul mengetahui bahwa harta haram itu akan membinasakan harta yang halal, mengundang murka, dan siksa Ilahi. Dan yang paling berbahaya adalah menjadi sebab pemiliknya masuk api neraka. Belum lagi orang-orang yang dirampas hartanya akan mengambil kebaikan orang-orang yang merampas sebanyak harta yang dirampasnya.   

Maka dari itu, orang-orang saleh dan takwa akan berusaha sekuat mungkin untuk tidak makan harta haram. Mereka akan berusaha menyerahkan satu harta kepada pemiliknya. Rupanya tipe orang yang seperti itu masih banyak di tengah umat ini, terutam di tengah generasi terdahulu. Konon, para mujahid dahulu selalu membawa hartanya dalam jumlah besar lalu menyerahkannya kepada panglima perang. Setelah itu, mereka tidak pernah mengambilnya lagi sedikit pun

Selain keadaan kedua pria di atas terbilang aneh, keadaan hakim yang mengadili perkara mereka juga lebih aneh dan terbilang langka. Sebelum memberi keputusan, ia menanyakan keturunan keduanya. Seorang mengaku memiliki anak laki-laki, sedangkan yang satu mengaku memiliki anak perempuan. Kemudian, sang hakim memutuskan agar kedua anak itu dinikahkan, dan pernikahannya dibiayai dari harta yang mereka perselihkan kepemilikannya. Sang hakim seakan ingin menyatukan dua keluarga dengan pernikahan putra-putri mereka. Selain kita tahu bahwa penikahan di antara orang-orang yang baik akan memperkuat tali keimanan di antara mereka dan kian meneguhkan hubungan orang-orang saleh. Suami istri yang saleh besar kemungkinan melahirkan turunan yang saleh.

Demikian kisah yang disarikan dari hadits riwayat al-Bukhari (no. 3472) dan Muslim (no. 1721). Dari kisah di atas, dapat dipetik sejumlah pelajaran, di antaranya:   Hadis ini menginformasikan bahwa pada umat dan syariat terdahulu sudah disyariatkan transaksi jual-beli. Berbeda dengan asumsi para ulama Malikiah yang menyebutkan masyarakat kuno belum mengenal jual-beli. 

Dalam setiap zaman dan generasi selalu ada orang-orang saleh dan takwa yang mementingkan harta dan makanan yang halal, serta menjauhi harta dan makanan haram. Disyariatkan meminta keputusan hukum kepada ahli ilmu yang dipandang mampu memberikannya. Industri atau pembuatan alat-alat rumah tangga sudah dikenal sejak zaman dahulu kala. Contohnya, dalam kisah di atas sudah ada bejana yang berisi emas di dalamnya. 

Ketika seseorang menemukan harta yang terpendam dan mungkin diketahui pemiliknya serta waktu terpendamnya dimungkinkan belum lama, maka hukumnya adalah hukum barang temuan. Ia harus mencari pemiliknya dan menyerahkannya. Namun, apabila waktu terpendamnya sudah lama dan pemiliknya tidak mungkin diketahui, maka hukumnya adalah hukum barang temuan (rikâz) yang menjadi milik orang menemukannya dikurangi seperlima zakat darinya. Wallahu a’lam. (Lihat: Umar Sulaiman al-Asyqar, Shahih al-Qashash al-Nabawi, [Oman: Darun Nafais], 1997, Cetakan Pertama, hal. 267).

Dorongan hawa nafsu menjadikan seseorang untuk tamak terhadap harta. Dalam eksesnya, kerakusan akan membutakan mata batinnya. Ia tak lagi peduli pada soal halal atau haram dari hartanya atau caranya memperoleh kekayaan. Padahal, kehidupan di dunia tidak selamanya. Kelak di akhirat, setiap insan akan dimintai pertanggungjawaban.

Kisah berikut mengajarkan teladan tentang kehati-hatian dalam mendapatkan harta. Cerita yang dimaksud berasal dari sebuah hadis sahih, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

Nabi Muhammad SAW suatu kali menuturkan riwayat tentang dua orang lelaki dari umat beriman pada zaman lampau. Lelaki pertama hendak membeli lahan dari lelaki kedua. Mereka kemudian saling bersepakat tentang harga area tersebut. Ijab kabul pun berlangsung dengan lancar. Masing-masing akhirnya memperoleh haknya secara adil. Si pembeli mendapatkan tanah, sedangkan si penjual menerima sejumlah uang.

Beberapa hari kemudian, si pembeli terkejut saat mengunjungi lahan yang baru dibelinya itu. Pasalnya, di sana ia menemukan sebuah guci yang berisi penuh emas. Ia kemudian melaporkan seguci emas itu kepada orang yang telah menjual lahan ini kepadanya

Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu.

"Wahai hamba Allah, aku menemukan guci berisi emas ini di atas lahan yang kini menjadi milikku. Ambillah guci ini! Sungguh, aku membeli darimu hanya sebidang tanah sesuai kesepakatan," kata si pembeli.

Namun, anjuran ini ditolak si penjual. Alasannya, dirinya telah menjual tanah itu beserta isinya. Dan, emas-emas di dalam guci itu ditemukan di lahan yang telah dijualnya sehingga kini pantaslah menjadi milik si pembeli.

"Ambillah guci ini! Sungguh, saya menjual tanah ini kepadamu berikut isinya!" kata dia.

"Tidak, Anda-lah yang seharusnya mengambil guci ini," sanggah si pembeli, "sebab, saya hanya membeli tanah dari Anda, bukan guci ini."

Lama kelamaan, keduanya naik pitam. Masing-masing tetap bersikukuh menolak mengambil guci berisi harta itu. Untuk menyelesaikan perselisihan, para warga setempat menyarankan keduanya agar membawa perkara ini ke hadapan hakim untuk diadili.

Di pengadilan, hakim menerima keterangan dari mereka berdua. Tetap saja, tidak ada yang mau mengalah dengan menerima guci penuh emas itu.

Sang hakim kemudian berkata kepada mereka, "Apakah masing- masing kalian mempunyai anak?"

Si pembeli menjawab, "Ya, anak saya laki-laki."

"Anak saya perempuan," kata si penjual menimpali.

Kalau begitu, lanjut hakim, "Nikahkanlah mereka berdua. Berilah belanja kepada mereka dari harta dalam guci ini, serta bersedekahlah kalian berdua!"

Setelah itu, mereka pun melaksanakan perintah hakim. Berkat pernikahan putra-putri mereka, keduanya menjadi lebih erat dalam ikatan persaudaraan.

Berawal dari takut terhadap harta syubhat, yakni harta yang diragukan kehalalan atau keharamannya. Kedua insan itu akhirnya menjadi satu keluarga besar.

Kisah yang disampaikan melalui hadis ini menunjukkan fadhilah sikap amanah dan jujur. Tidak ada nafsu baik dari si pembeli maupun penjual lahan itu untuk menguasai harta yang bukan haknya. Mereka tidak berambisi dalam muamalah yang penuh keadilan.

Allah SWT pun membalas sikap hati-hati (wara') mereka dengan sesuatu yang lebih baik: ikatan keluarga. Malahan, harta itu kemudian menjadi jelas statusnya dan lebih berkah karena dipakai anak keturunannya dalam membina rumah tangga.

Kedua lelaki beriman itu mengadakan sengketa karena menolak memiliki harta. Bilakah keadaan masyarakat kini yang marak kita jumpai? Di pelbagai pemberitaan, tak sedikit pertikaian yang didorong ambisi masing-masing pihak untuk menguasai harta yang dipersengketakan.

Sengketa demikian tidak mengherankan. Sebab, dalam setiap jiwa manusia memang tertanam rasa cinta terhadap dunia. Allah Ta'ala telah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 14. Artinya, "Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."

Bagaimanapun, Islam mengajarkan agar kecintaan itu tidak berlebihan. Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada. Jangan sampai hak seseorang terampas, apalagi nyawa di kandung badan.

Bila ada perselisihan, hendaknya diselesaikan secara adil dan mengutamakan sikap lapang dada.

Alquran dan Sunnah telah mewanti-wanti agar manusia mencari harta dari jalan yang halal. Alquran surah at-Taubah ayat 34 mengambil contoh para tokoh agama yang justru semena-mena sehingga tega memakan harta yang bukan haknya.

Arti ayat itu, "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang pedih."

Referensi Sebagai berikut ini;