Allah SWT Berfirman:” Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas,” maka halilintar menyambarmu, sedang kamu menyaksikan” (al Baqarah ayat 55).
Dalam sejarah Bani Israil ada sebuah kisah bagaimana mereka meminta kepada Musa as untuk ikut mendengarkan dialog kalam Allah SWT dengan Musa as, akhirnya merekapun diberikan kesempatan mendengarkan dialog Musa dengan Allah swt, akan tetapi mereka masih belum puas, sehingga meminta Musa untuk mereka dapat melihat Allah SWT dengan panca inderanya. Inilah logika materialisme ketuhanan. Mereka ingin melihat Tuhan dengan panca Indera, sebuah kesalahan logika (logical fallacy) yang fatal, bagaimana mungkin inderawi yang bersifat fisik mampu menemui sesuatu yang bersifat non materi (immateri).
Memandang eksistensi sesuatu hanya pada yang nampak oleh inderawi adalah sebuah kesalahan besar, karena indera sangatlah menipu. Hal inilah yang menyebabkan al-Ghazali melakukan uzlah untuk mendapatkan hakikat pengetahuan. Akhir dari perenunganya adalah makrifatullah sebagai ilmu paling tinggi. Karena dia memandang panca indera penuh tipuan, sebuah contoh bagaimana kayu dalam air terlihat bengkok, hal inilah menjadi dasar bagi al-ghazali bahwa inderawi penuh tipuan. Begitu juga fatamorgana, inderawi manusia tertipu olehnya.
Menipu manusia akan eksistensi Tuhan dengan indera adalah kebodohan, akan tetapi banyak sekali di dunia ini yang terjebak dengan hal itu. Akhir dari kebodohan ini adalah lahirnya ateisme atau faham ketidak percayaan pada eksistensi Tuhan. Karena mereka menjadikan panca indera sebagai standar ada dan tidaknya sesuatu.
Secara epistimologis manusia memiliki sumber pengetahuan inderawi, akali dan qalbi. Melihat Tuhan tidak mungkin dengan inderawi dan akali, maka memandang Tuhan seharusnya dengan potensi hati, hati yang dibimbing oleh kitab suci, karena di dalam kitab suci ada cara mengenal Tuhan. Sebagai seorang muslim, Allah swt telah mengenalkan dirinya di dalam al Qur’an, menunjukan kekuasaan Nya dalam alam semesta, sehingga melihat Allah bukan dengan indera tetapi dengan Iman yang lahir dari hati yang bersih.
Konsep memandang Allah SWT ada ketika manusia berada di akhirat, sebagaimana dalam ayat al Qur’an: “Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23). Dalam ayat lain : “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yunus:26).
Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas (Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yunus:26).) (HR. Imam Muslim)
Melihat Allah SWT adalah sebuah kemustahilan di dunia ini, akan tetapi sebuah kepastian di akhirat bagi mereka yang mendapatkan tambahan kenikmatan, mereka orang-orang yang beriman dan menetapi perintah Allah SWT. Sangat nampak logika iman dan logika kufur dalam memahami hal ini, karena keimanan akan membangun keyakinan dalam hati mereka, sedangkan kekafiran akan menghancurkan logika sehat mereka.
Oleh sebab itu Allah SWT menghukum mereka orang-orang yang tidak mau beriman sampai melihat wajahnya dengan sambaran halilintar, sedangkan mereka menyaksikan satu sama lainya. Hal ini menunjukan buruknya pola pikir mereka, dan menjengkelkanya prilaku mereka, sehingga Allah SWT menghukum mereka.
Tentu orang-orang yang terjebak dengan faham materialisme dan berujung pada ateisme ini akan mendapatkan hukuman Allah SWT yang sangat keras, karena mereka begitu sombong meniadakan Tuhan yang telah menciptakanya. Kesombongan inilah yang akan menjadikan mereka hancur baik di dunia maupun di akhirat. Dalam hal ini memang antara rasio dan iman akan terus berhadapan, bagi mereka yang jauh dari nilai keimanan. Akan tetapi bagi mereka yang menjadikan iman sebagai dasar maka mampu mendialogkan antara rasio dan iman, antara sains dan iman, demikianlah islam mengajarkan.
Insan profetis adalah mereka yang senantiasa menjadikan Iman sebagai dasar segalanya, sebagai dasar melihat sesuatu bahkan memikirkan sesuatu. Mereka adalah orang yang mampu mendialogkan antara indera, akal dan hati, antara iman dan sains, bahkan antara dunia dan akhirat. Dengan inilah peradaban akan terbentuk dengan baik, dan mampu memimpin dunia yang dipenuhi faham materialisme saat ini.
Referensi sebagai berikut ini ;