Beberapa fatwa ulama berkaitan dengan suap-menyuap: beda suap dengan hadiah, mau menerima suap tapi memberikan uang suap ke fakir miskin dan mengenai bertaubat atas dosa suap. Uang tips, “salam tempel”, hadiah dan turunan sogok lain sepertinya telah menyatu dengan dinamika dunia kerja. Tapi pegawai yang bertakwa tidak akan menggadaikan iman untuk terlibat dalam suap-menyuap, sogok-menyogok atau menerima “salam tempel” dan hadiah yang bukan haknya. Godaan melakukan perbuatan tercela ini sering karena ketidaktahuan akan hukum syariat dan ancaman dosanya. Bahkan tidak tahu beda antara sogok atau suap dan hibah atau hadiah. Berikut sebagian fatwa ulama yang berkaitan dengan suap-menyuap.
Beda Suap, Hadiah atau Hibah
Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan seseorang untuk mendapatkan apa bukan menjadi haknya, atau untuk melarikan diri dari kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 24/256). Ibnu Abidin menjelaskan, suap adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang lainnya agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya melakukan yang dia inginkan. (Hasyiyah Ibn Abidin, 5/362).
Syaikh Ibnu Baz dalam fatwanya menjelaskan keterangan Ibn Abidin tersebut. “Dari apa yang disampaikan Ibn Abidin, jelaslah suap bentuknya lebih umum, tidak hanya berupa harta atau jasa tertentu, untuk mempengaruhi hakim agar memutuskan sesuai keinginannya. Sementara yang menjadi sasaran suap adalah semua orang yang diharapkan bisa membantu kepentingan penyuap. Baik kepala pemerintahan maupun para pegawainya. Maksud Ibn Abidin ‘agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya melakukan yang dia inginkan’ adalah mewujudkan tujuan dan keinginan penyuap. Baik dengan alasan yang benar maupun salah.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 23/223 – 224)
Hibah didefinisikan para ulama sebagai “Memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya, dengan pemindahan kepemilikan secara cuma-cuma.” (Fathul Qadir, 9/19 dan Al-Mughni, 5/379). Hibah semakna dengan hadiah. Biasanya, motivasi memberikan hibah adalah rasa cinta kepada yang diberi hibah, ingin memuliakan orang yang diberi hibah, memberikan sedekah kepadanya, atau sebagai tanda terima kasih terhadap perbuatan baiknya. Dalam memberikan hadiah maupun hibah, sama sekali tidak ada maksud untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
Para pegawai yang digaji tetap tidak boleh menerima hadiah karena posisinya sebagai pegawai. Baik menerima dari klien maupun bawahan. Baik sebagai ungkapan terima kasih atas jasa pelayanan yang telah diberikan maupun dalam rangka memuliakan.
Kesimpulan ini berdasarkan riwayat bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan seorang lelaki untuk memungut sedekah. Ternyata utusan itu menerima hadiah dari penyetor zakat. Seusai dari tugasnya lelaki tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serahkan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.” Menanggapi sikap utusan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah. “Amma ba’du: Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas, lalu ketika pulang ia berkata, ‘Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku?’ Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat, adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seorang dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari kiyamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor unta maka dia membawa untanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadis tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan standar yang jelas dalam hal hadiah yang diterima seorang pegawai. Hadiah yang diterima pegawai karena peran atau jabatannya, hakekatnya gratifikasi, dan tentu hukumnya haram. Dalam hadis tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum seeorang menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelahnya, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah, adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?”
Dalam hadis lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ketentuan tersebut melalui sabdanya, “Hadiah para pegawai adalah korupsi.” (HR. Ahmad dan lainnya). Karena itu, hati-hati dengan uang tips yang pernah Anda terima, karena semuanya masuk dalam cakupan hadis ini.
Disuap Tanpa Berharap, Diterima, Lalu Diberikan ke Fakir Miskin
Hukum mengenai disuap tanpa berharap, uangnya diterima tetapi lalu uangnya itu diberikan ke fakir miskin dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama, ada orang menyuap pegawai untuk melancarkan tujuannya, lalu pegawai menerima dan memberikan uang suap itu ke orang miskin. Dalam kasus ini, menerima uang suap termasuk perbuatan haram berdasarkan keumuman dalil yang melarang suap. Selain itu, perbuatan ini menunjukkan sikap mendiamkan kemunkaran dan menyetujui terjadinya sogok. Karena orang yang menyogok merasa tujuannya telah dia dapatkan dengan sogok yang dia berikan.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash Radliallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap. (HR. Ahmad 6791, Abu Daud 3580 dan dishahihkan Al-Albani).
Memberikan uang suap kepada orang miskin bukanlah alasan membolehkan menerima suap. Seorang hamba tidak boleh melakukan hal yang haram dengan tujuan agar bisa bersedekah.
Kedua, ada pegawai menerima uang tips, kemudian dia memberikan sebagian uang itu kepada kita, tanpa kita memintanya. Bolehkah kita menerimanya untuk diberikan ke orang miskin? Perbuatan ini statusnya sama. Hukumnya haram. Berarti kita mendiamkan praktek suap dan menunjukkan sikap setuju terhadap praktek suap. Bisa jadi tujuan utama memberikan sebagian uang suap kepada kita agar kita menyetujui praktek suap.
Ketiga, ada orang yang pernah menerima uang tips, dan ingin bertaubat, dia lalu menyerahkan uang itu kepada kita untuk disedekahkan kepada orang miskin. Bolehkah kita menerimanya? Kita boleh menerimanya, dan memberikannya ke fakir miskin, karena dalam tindakan ini kita membantu orang lain melakukan ketaatan.
Keempat, bolehkah orang miskin menerimanya? Boleh, dan harta itu halal baginya, karena mereka menerimanya dengan cara yang halal, yaitu sedekah. An-Nawawi menukil pendapat Al-Ghazali, yang menjelaskan, “Orang yang pernah mengambil harta haram kemudian dia ingin bertaubat dan berlepas diri darinya, maka jika harta itu ada pemiliknya, wajib dia kembalikan kepadanya atau diserahkan ke orang yang mewakilinya. Jika pemiliknya sudah mati maka wajib dia serahkan ke ahli warisnya. Jika dia tidak mengetahui pemiliknya dan dia putus asa untuk bisa menemukannya maka dia boleh menyalurkan harta yang haram itu untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti fasilitas umum, masjid, atau semacamnya yang bisa dinikmati oleh kaum muslimin. Jika tidak memungkinkan, bisa disedekahkan kepada orang miskin.”
Bertaubat atas Dosa Suap, Harus Kembalikan Uang Suap.
Menerima uang suap termasuk perbuatan haram dan diganjar dosa besar. Suap diancam laknat. Karena itu, siapa saja yang pernah melakukan suap-menyuap tidak ada pilihan selain harus bertaubat. Apakah uang suap itu wajib dikembalikan?
Ada beberapa keadaan. Pertama, jika penyuap memberikan uang suap untuk mendapatkan haknya, yang disuap wajib mengembalikan harta itu kepada penyuap, karena harta itu diperolehnya dengan cara batil dan zalim kepada orang lain. Kedua, jika penyuap memberikan uang suap untuk mendapatkan yang bukan haknya, dan dia telah berhasil, maka uang itu tidak boleh dikembalikan ke penyuap sehingga penyuap tidak mendapatkan dua kepentingan sekaligus, yakni memperoleh yang bukan haknya dan mendapatkan kembali hartanya.
Dalam keadaan tersebut, pegawai yang bertaubat wajib menyerahkan harta suap dengan menyedekahkannya ke orang miskin atau disalurkan untuk kepentingan umum. Ibnul Qoyim mengatakan. “Jika ada orang yang mendapatkan harta dari orang lain dengan cara haram, dan pemberi harta telah mendapat manfaatnya, seperti wanita pezina yang mendapat harta dari konsumennya, atau penyanyi, penjual khamr, saksi palsu, atau semacamnya, kemudian dia bertaubat, sebagian ulama berpendapat, dia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya. Karena harta itu adalah harta pemberi uang, dan penerima mengambilnya tanpa izin syariat. Pemberi suap tidak mendapatkan manfaat mubah dari harta yang dia berikan.”
Ulama lain berpendapat, taubatnya dengan menyedekahkan uang suap tersebut dan tidak mengembalikannya kepada penyuap (pendapat syaikhul Islam, Ibn Taimiyah, dan inilah pendapat yang kuat. (Madarijus Salikin, 1/389)
“Memberikan hadiah maupun hibah harus sama sekali tidak ada maksud untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.”
“Pegawai yang memiliki gaji tetap tidak boleh menerima hadiah karena posisinya sebagai pegawai.”
“Memberi uang suap ke orang miskin bukanlah alasan pembenar menerima suap.”
Al-Ghazali: “Orang yang pernah mengambil harta haram kemudian dia ingin bertaubat dan berlepas diri darinya, maka jika harta itu ada pemiliknya, wajib dia kembalikan kepadanya.”
Hukum Suap-Menyuap
Suap : sesuatu yang diberikan seseorang untuk mendapatkan apa bukan menjadi haknya, atau untuk melarikan diri dari kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.
Hibah: sesuatu harta yang diberikan kepada orang yang memanfaatkannya dengan pemindahan kepemilikan, secara cuma-cuma.
Beda suap dengan hibah/hadiah:
Hibah atau hadiah umumnya diberikan karena dorongan rasa cinta atau penghormatan.
Sap dan semacamnya diberikan karena tendensi tertentu dari pemberi.
Pegawai tidak boleh menerima hadiah maupun hibah karena peran atau jabatannya.
Hukum menerima uang suap untuk diberikan ke fakir miskin:
Menerima uang suap dari klien atau dari pegawai lain yang menerima suap: haram, meskipun diniatkan untuk disedekahkan.
Menyalurkan uang hasil suap dari orang yang bertaubat untuk diberikan kepada orang miskin: boleh
Seorang pegawai yang menyerahkan uangnya kepada orang miskin karena bertaubat, boleh menerima uang tersebut dan statusnya halal baginya.
Kepada siapa uang suap harus diserahkan:
Jika pemberi suap melakukan tindakan menyuap untuk mendapatkan haknya maka uang itu wajib dikemballikan kepadanya.
Jika pemberi suap melakukan tindakan menyuap untuk mendapatkan yang bukan haknya, dan dia telah berhasil maka tidak perlu dikembalikan, tapi disedekahkan.
Sedekah dengan Harta Haram, Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:
Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.
Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).
Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.
Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam,
Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.
Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)
Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Contoh dari kaedah di atas:
Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)
Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.
Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?
Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram.
Referensi Sebagai berikut ini ;