Taubat memungkinkan seorang hamba untuk kembali menyucikan diri setelah melakukan kesalahan. Taubat juga merupakan bentuk cinta Allah kepada para hamba-Nya. Bahkan Allah menjanjikan pengampunan kepada setiap hamba yang bertaubat. Walau dosa yang dimilikinya sangat besar sekalipun.
Meski setiap taubat pasti diterima dan setiap dosa pasti diampuni, bukan berarti seorang hamba bisa merasa bebas berbuat dosa. Di samping itu, Anda mungkin saja berpikir, kalau Allah bisa mengampuni dosa besar, Allah pasti mau memaafkan dosa kecil. Tapi, faktanya tidak seperti itu. Perkara dosa bukanlah sesuatu yang bisa digampangkan. Bahkan dosa kecil sekalipun bisa menjadi dosa besar jika disepelekan.
Ada beberapa alasan mengapa dosa kecil sekalipun tidak boleh dianggap enteng, berikut ini adalah beberapa di antaranya:
1. Dosa kecil yang dilakukan terus menerus akan sulit diampuni
Seorang hamba yang melakukan dosa besar seringkali menganggap bahwa dosanya sangat besar dan berharap Allah mengampuninya. Karena itu, hamba tersebut benar – benar meminta pengampunan Allah. Sementara, seorang hamba yang melakukan dosa terus menerus karena meremehkannya, justru akan lebih sulit diampuni oleh Allah.
Sebuah dosa yang dianggap besar oleh seorang hamba, akan menjadi kecil di sisi Allah. Sebaliknya, saat seorang hamba menganggap enteng atau kecil sebuah dosa, maka dosa tersebut akan menjadi besar di sisi Allah.
2. Menceritakan dosa rahasia dengan bangga
Seorang manusia bisa saja melakukan dosa secara sadar ataupun tidak disadari, sementara tidak ada orang yang mengetahui hal tersebut. Hal ini diungkapkan pada sebuah hadits seperti seseorang yang melakukan perbuatan buruk di malam hari, sedangkan tidak ada satu orang yang tahu bahwa dia melakukan dosa tersebut. Maka Allah akan menutupi aibnya tersebut.
Akan tetapi, apabila orang tersebut malah membuka aibnya sendiri kepada orang lain, maka orang tersebut masuk ke dalam golongan yang disebut sebagai Mujaahiriin. Orang – orang ini tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah.
3. Dosa kecil yang dilakukan oleh seorang alim yang menjadi panutan
Dalam hadits riwayat Muslim no. 4831 disebutkan bahwa setiap orang yang mengajak orang lain kepada kebaikan, maka akan mendapatkan pahala dari orang tersebut. Sebenarnya, hal ini juga berlaku bagi orang yang mengajak orang lain kepada dosa. Maka, orang tersebut juga akan mendapatkan dosa dari orang yang mengikutinya.
Di samping itu, seorang alim seringkali menjadi panutan orang – orang lain di sekitarnya. Karena itu, mereka memiliki tanggung jawab lebih. Apabila seorang alim yang menjadi panutan melakukan dosa, maka potensi orang lain mengikuti dan menjadikan hal tersebut sebagai pembenaran juga akan besar.
Itulah beberapa alasan dan bahaya meremehkan dosa kecil. Menyadari hal ini, sudah sewajarnya jika setiap orang memperhatikan sikapnya. Di samping itu, sudah semestinya kita langsung bertaubat begitu menyadari bahwa kita telah melakukan dosa. Meskipun dosa yang dilakukan adalah sebuah kesalahan atau dosa kecil saja. Sikap ini lebih kepada kehati – hatian agar tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang lebih besar.
Allah SWT telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (Al Baqarah ayat 7).
Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah “Allah mengunci mati.”
Menurut Qatadah, ayat ini bermakna “Setan telah menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan Setan, maka Allah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya”.
Penulis memahami bahwa ketika Allah menutup hati dengan penutup yang sangat tebal, hakikatnya semua ini karena perbuatan dosa mereka yang terus menerus, sehingga dosa dosa inilah menutupi hati mereka, sehingga tak ada celah yang dapat dimasuki cahaya hidayah.
Ketika cahaya hidayah tertutup maka akhirnya telinga, penglihatan mereka sudah enggan menginderai kebenaran dan kebaikan.
Sebagaimana Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin itu apabila berbuat suatu dosa, maka hal itu merupakan noktah hitam pada hatinya. Tetapi jika dia bertobat dan kapok serta menyesali, maka tersepuhlah hatinya (menjadi bersih kembali). Tetapi apabila dosanya bertambah, maka bertambah pulalah noktah hitam itu hingga (lama-kelamaan) menutupi hatinya, yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan istilah ar-ran di dalam firman-Nya, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi mereka.” (Al-Muthaffifin: 14) (HR. Tirmidzi)
Hati adalah kunci baik tidaknya seseorang, hati adalah motor penggerak segala yang ada dalam diri manusia, semua anggota badannya, inderanya dan fikirannya.
Demikianlah kuatnya hati, sehingga tugas Nabi dalam risalahnya adalah melakukan tazkiah atau pensucian hati manusia dari segala kotoran dosa sehingga mereka menajdi manusia yang mampu berfikir, merasa dan bertindak dengan baik dan benar.
Nilai profetis tazkiah inilah yang hendaknya muncul dan dimunculkan dalam diri pelaku peradaban, mereka adalah manusia yang selalu melepaskan diri dari jerat dosa besar kepada Allah SWT, dan dosa horizontal kepada manusia dan alam semesta.
Dalam membangun peradaban keberhasihan hati menjadi kunci, keikhlasan, ketawaduan, keistiqamahan dan kesemangatan. Hati yang bersih jauh dari memperdebatkan masalah masalah kecil yang hanya akan menggores hati insan profetis.
Kebersihan hati (qalbun Salim) akan menjadikan insan profetis lebih produktif memberi dan menyebarkan manfaat dalam kehidupan, mereka disibukan dengan membaca,menulis dan beramal nyata demi terwujudnya peradaban yang mulia dalam naungan Ridho Allah SWT, karena speace otak dan hatinya hanya fokus pada kebenaran dan kebaikan, fokus pada perinta Allah SWT dan rasul Nya.
Apapun profesi yang saat ini menempel, kebersihan hati menjadi kunci kebahagiaan dunia dan akhirat, mengapa?
Yang pertama karena surga hanya akan dimasuki oleh mereka yang bersih hatinya.
Kedua dengan kebersihan hati semua manusia akan melepaskan kepentingan sahwatnya berlebihan, sehingga dia akan selalu berjalan pada jalan kebenaran. Bukan menjadikan profesinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang merugikan kehidupan manusia dan lingkungan.
Demikianlah tugas profetik yang hendaknya dijalankan oleh mereka yang merasa memiliki ilmu apapun jenisnya, bagaimana membersihkan hati dalam rangka membangun kehidupan yang lebih beradab sesuai aturan Allah SWT serta aturan aturan yang disepakati baik undang undang atau aturan dibawahnya.
Dengan kebersihan hati manusia akan mendapatkan kebahagiaan totalitas, kebahagiaan duniawi dan ukhrowi.
Dosa dan Noda Hitam menurut Ibnu Athaillah, Menjadi manusia yang bersih tanpa memiliki dosa sedikit pun mungkin bisa dikatakan mustahil, dan sulit untuk ditemukan, kecuali orang-orang pilihan yang memang Allah kehendaki, atau orang yang memang Allah jaga dari segala perbuatan maksiat dan kesalahan.
Selain mereka sebagai makhluk yang oleh Allah diberi nafsu dan akal, melakukan kesalahan seperti hal fitrah yang pasti dilakukan oleh manusia. Mengingat, salah satu kalam populer dalam Islam, yaitu “manusia adalah tempatnya salah dan dosa”.
Meski tidak semua manusia melakukan maksiat dengan tujuan melanggar aturan dan menerobos koridor syariat Islam, sebagian dari mereka ada yang melakukan maksiat karena tidak disengaja, meski ada juga yang melakukannya dengan sengaja dan nyata. Semua umat Islam sepakat bahwa tindakan paling dibenci dan tidak diridhai oleh Allah adalah melakukan maksiat dan beberapa kesalahan lainnya. Maksiat dalam pembahasan ini adalah setiap pekerjaan yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam, baik dengan cara meninggalkan kewajiban, atau dengan mengerjakan setiap larangan. Atau, bisa juga diartikan setiap pekerjaan yang mampu menghalangi kedekatan seorang hamba dengan Allah swt.
Melakukan maksiat atau melanggar syariat Islam tentu memberikan dampak yang sangat buruk bagi umat manusia, dampak itu, misalnya seperti lupa pada kebenaran dan kesalahan. Ia tidak bisa membedakan keduanya, bahkan ia cenderung lebih dominan melakukan kesalahan.
Pernyataan tegas ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Muhammad Muflih Syamsuddin al-Muqdisi (wafat 763 H), dalam salah satu kitabnya:
إنَّ الْعَبْدَ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ثُمَّ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَبْقَى أَسْوَدَ مُرْبَدًّا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا.
Artinya, “Sungguh apabila seorang hamba melakukan dosa, maka akan ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam, kemudian jika melakukan dosa (kembali) maka akan ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam, sampai (hatinya) tersisa menjadi hati hitam selamanya, ia tidak akan mengetahui kebenaran, ia juga tidak akan ingkar pada kemungkaran.” (Syamsuddin al-Muqdisi)
Menurutnya, titik hitam yang Allah tulis dalam hati ketika melakukan dosa bagai pakaian putih yang terkena kotoran hitam. Badan seseorang laksana pakaian putih, sedang kotoran hitam bagai titik hitam tersebut. Jika saat itu langsung dibersihkan dan dicuci, maka dengan gampang kotoran itu dapat dihilangkan, namun jika ditahan, bahkan tidak pernah mencucinya, maka bukan tidak mungkin baju yang awalnya putih menjadi hitam dan tidak seorang pun yang senang memakainya.
Begitu juga dengan manusia, ketika ia melakukan dosa, kemudian membersihkan dosanya dengan bertaubat kepada Allah, maka titik hitam dalam hatinya akan dihapus, namun jika ditahan sampai satu bulan, satu tahun, atau bahkan selamanya, bukan tidak mungkin hatinya akan menjadi hati hitam. Dan, dampaknya akan lupa pada kebenaran, dan semua kehidupannya serba maksiat dan kesalahan. (Ibnu ‘Athaillah).
Dampak dosa yang didapatkan sebab maksiat memang sangat buruk, bahkan semua yang mereka lakukan adalah tindakan yang menutupi hati mereka. Ruhani yang suci sudah dikalahkan oleh nafsu yang buta akan kebenaran. Dalam keadaan seperti ini, dalam Al-Qur’an Allah menegaskan:
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ. ثُمَّ إِنَّهُمْ لَصَالُو الْجَحِيمِ. المطففين: 14-16
Artinya, “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka (14). Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya (15). Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka.” (QS Al-Mutaffifin: 14-16).
Syekh Abdul Hamid (wafat 1417 H) dalam salah satu tafsirnya mengatakan bahwa banyaknya dosa yang dilakukan seorang hamba, tidak hanya berpengaruh pada dirinya dalam hal ibadah, lebih dari itu juga berpengaruh pada potensinya di masa yang akan datang. Menurutnya, ayat 14 pada surat Al-Mutaffifin di atas menjelaskan tentang dosa yang dilakukan secara terus-menerus, ia tidak memberikan jeda sedikit pun dengan melakukan tobat.
Akibatnya, kebiasaan buruk itu akan tertanam dalam hatinya, melekat dalam jiwanya, dan akan menjadi watak, sehingga ia akan terhalang dari manisnya ketaatan.” (Abdul Hamid, ar-Rihabut Tafsir, (Darul Qahirah).
Jika ditelusuri lebih dalam, penyebab timbulnya dosa dari melakukan maksiat adalah tergantung bagaimana umat Islam menjaga hatinya. Jika hatinya terlepas dari berbagai penyakit tercela (mazmumah) dan penyebab kerusakan hati lainnya, tentu akan sangat berat baginya untuk bisa diajak melakukan maksiat dan ringan melakukan ketaatan.
Akan tetapi, jika dalam hatinya ada yang bermasalah, maka bukan tidak mungkin, bahkan rusaknya hati menjadi penyebab paling urgen dalam melakukan dosa. Lantas apa saja penyebab rusaknya hati? Sayyid Ahmad Bilal al-Bustani ar-Rifa’i al-Husaini merekam perkataan Imam Hasan Basri perihal beberapa penyebab rusaknya hati. Dalam kitabnya disebutkan:
اِنَّ فَسَادَ الْقَلْبِ مِنْ سِتَّةِ أَشْيَاءَ: أَوَّلُهَا يُذْنِبُوْنَ بِرَجَاءِ التَّوْبَةِ، وَيَتَعَلَّمُوْنَ العِلْمَ وَلَايَعْمَلُوْنَ، وَاِذَا عَمِلُوا لَايُخْلِصُوْنَ، وَيَأْكُلُوْنَ رِزْقَ اللهِ وَلَايَشْكُرُوْنَ، وَلَا يَرْضَوْنَ بِقِسْمَةِ اللهِ، وَيَدْفَنُوْنَ مَوْتَاهُمْ وَلَا يَعْتَبِرُوْنَ
Artinya, “Sungguh rusaknya hati disebabkan enam hal,
- (1) terus menerus melakukan dosa dengan harapan tobat;
- (2) belajar ilmu dan tidak mengamalkannya;
- (3) jika beramal tidak ikhlas;
- (4) memakan rizki Allah dan tidak bersyukur;
- (5) tidak ridha dengan pembagian Allah; dan
- (6) mengubur orang mati dari mereka, namun tidak mengambil pelajaran.” (Ahmad Bilal al-Bustani, Farhatun Nufus, (Bairut, Darul), Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menjelaskan lebih detail perihal dampak-dampak dari dosa yang dilakukan seorang hamba, dan bisa disimpulkan menjadi dua bagian;
- Dampak secara nyata (dhahir). Misalnya, merusak kesepakatan dengan Allah swt. Artinya, dengan melakukan dosa, seorang hamba sudah menerjang janji yang sudah Allah berikan kepadanya, seperti mengerjakan semua kewajiban-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Dampak yang lain seperti akan semakin berani untuk menampakkan pekerjaan-pekerjaan yang diridhai oleh Allah, malas dalam beribadah, hilangnya cahaya hidayah darinya; dan
- Dampak secara batin. Misalnya, menjadikan hati keras, dengan tidak bisa menerima nasihat-nasihat baik, hilangnya rasa manis dari ketaatan, dan jiwanya dikuasai oleh nafsu-nafsu setan, serta akan lupa pada akhirat dengan segala akuntasi yang akan ia hadapi kelak. Menurut Ibnu ‘Athaillah, semua ini akan terjadi pada diri orang-orang yang melakukan maksiat.
Seharusnya, tanpa adanya dampak-dampak yang telah disebutkan sekali pun, bahkan hanya sekadar berganti nama, misalnya dari predikat orang yang taat menjadi orang yang hianat, sudah sangat cukup untuk memberikan kesadaran bahwa dosa memang sangat buruk pada diri manusia. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu ‘Athaillah:
وَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي المَعْصِيَةِ اِلَّا تَبَدُّلُ الْاِسْمِ لَكَانَ كَافِيًا، فَاِنَّكَ اِذَا كُنْتَ طَائِعًا تُسَمَّى بِالْمُحْسِنِ المُقْبِلِ، وَاِذَا كُنْتَ عَاصِيًا اِنْتَقَلَ اسْمُكَ اِلَى المُسِيْئِ المُعْرِضُ
Artinya, “Jika seandainya dalam maksiat tidak ada (dampak) selain perubahan nama, maka (hal itu) sudah sangat cukup; maka sesungguhnya, jika engkau adalah orang yang taat, dan dinamai orang baik yang menghadap (Allah), dan jika engkau bermaksiat, maka namamu berubah menjadi orang jelek yang berpaling.” (Ibnu ‘Athaillah, Tajul Arus al-Hawi li Tahdzibin Nufus, 2015, halaman 44).
Jika dengan perubahan nama saja seharusnya memberikan kesadaran bahwa dosa memang sangat buruk bagi diri manusia, lantas bagaimana jika perubahan itu sampai merubah kenyamaan rasa taat menjadi kenyamanan maksiat dan kenyamanan bermunajat berganti menjadi budak syahwat? Ini masih dalam persoalan dampak, lain lagi jika sampai berdampak pada sikap. Jika sikap awalnya adalah orang yang baik (muhsin) berbalik menjadi orang yang jelek (musi’).
Dan semoga oleh Allah selalu dijauhi, jika dengan melakukan dosa bisa berdampak pada hilangnya derajat mulia di sisi Allah menjadi orang yang sangat hina? Oleh karenanya, sebagai umat Islam harus selalu memohon pertolongan kepada Allah, agar dijauhi dari berbagai penyakit-penyakit hati yang bisa menggerogoti keimanan yang telah tertanam dalam hati, juga memohon agar kenyamanan taat tidak hilang dan diganti menjadi kenyamanan maksiat.
Derajat yang sudah diraih di sisi Allah tidak sampai diturunkan, minimal jika tidak bisa berupaya untuk semakin meninggikan derajat di sisi-Nya dengan selalu menaambah ketaatan, tidak turun dengan adanya kemaksiatan. Artinya, sebisa mungkin maksiat tidak dilakukan, karena bisa menjadi penyebab hilangnya derajat mulia yang telah diraih di sisi Allah Swt.
Referensi Sebagai berikut ini ;