Pengertian Dosa Jariyah, Pengertian Dosa Jariyah dan Contohnya
Dosa jariyah merupakan segala bentuk perbuatan yang melanggar hukum, aturan dan syari’at yang telah Allah SWT dan RasulNya tetapkan untuk seluruh manusia dengan kecenderungan untuk tidak melakukannya. Dosa jariyah sendiri merupakan salah satu perbuatan dimana sebuah perbuatan dosa yang terus berkelanjutan akibat dampak dari perbuatan itu sendiri.
Pengertian Dosa Jariyah
Jariyah merupakan serapan dari bahasa Arab yang bisa mencakup beberapa arti yang sifatnya umum dan tidak mengikat, artinya terjemahan bebas. Seperti memiliki arti mengalir, yaitu bagaikan mengalir seperti air yang tiada bertepi. Dan juga memiliki arti tiada henti, seperti seorang yang berlomba lari terus menerus tiada henti sampai puncak garis finish menghampiri.
Dosa jariyah bisa dikatakan dosa yang berkelanjutan dan tiada berkesudahan, dosa yang tidak akan pernah terputus, dosa yang akan menuntut, dan terus menerus mengikis kebaikan.
Jadi ketika dua kata tadi digabungkan, maka pengertian dari Dosa jariyah itu sendiri kurang lebih yaitu
Segala bentuk perbuatan yang melanggar aturan dan menentang syari’at yang Allah SWT dan RasulNya tetapkan, dengan sadar melakukannya secara terang terangan sehingga diikuti oleh orang-orang setelahnya, dan dosanya akan terus menerus mengalir meskipun pelaku dosa tersebut telah meninggal dunia, dan akan terus menuntut dan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat nanti.
Sebagaimana firman Allah SWT, “Ucapan mereka menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” (QS. An-Nahl: 25).
Pelaku dosa jariyah akan memikul dosa-dosa orang setelahnya, yaitu mereka yang selalu mengikuti apa- apa yang pelaku dosa itu kerjakan. Hal itu menunjukkan bahwa dosa jariyah diperoleh dan disebabkan seseorang menjadi pelaku utama, juga inisiator serta pencet us suatu perbuatan atau kebiasaan buruk, yang disengaja ataupun tidak, dan dalam keadaan sadar. Akibatnya, ia mendapatkan dosa yang berkelanjutan pula karena telah membiasakan sesuatu perbuatan buruk yang tentunya melanggar hukum dan syariat yang Allah SWT dan RasulNya tetapkan. Sebagaimana kutipan hadits Nabi SAW yang berbunyi:
“Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa semisal dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR Muslim).
Maka kesimpulan dari petikan hadits tersebut, yaitu kita dituntut untuk selalu berhati-hati dan waspada terhadap perkataan dan perbuatan yang melanggar, merusak dan buruk yang dapat diikuti oleh orang lain. Sebab, meski pelakunya telah tiada sekalipun, ia akan menanggung dosa dari kebiasaan yang ia tinggalkan di dunia.
“Barangsiapa yang membuat suatu kebiasaan (tradisi, sunnah) yang baik dalam Islam, maka ia memperoleh pahala dari perbuatan yang ia kerjakan dan perbuatan orang yang menirunya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Dan, barang siapa yang membuat suatu kebiasaan buruk dalam Islam, pun ia akan memperoleh dosa dari perbuatan yang ia kerjakan dan perbuatan orang-orang yang menirunya tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim).
Ini menjadi peringatan keras bagi kita semua, menunjukkan bahwa setiap kebiasaan buruk yang dilakukan dan dipelopori dengan sadar melakukannya tanpa rasa bersalah sedikit pun di dunia ini, sehingga orang setalahnya pun mengikutinya. Maka meski ia telah meninggal dunia sekalipun akan mendapatkan dosa jariyah.
Semisal, ketika seseorang rajin ibadah, dan taat melaksanakan apa yang diperintah oleh agama. Maka secara otomatis Ia akan memperoleh dosa jariyah, sesaat ketika dia sudah meninggal dunia sekalipun, akibat dari perbuatan yang melanggar serta kebiasaan buruk yang pernah dia lakukan semasa hidupnya didunia.
Pernyataan tadi yang diatas terkait seorang hamba yang rajin ibadah sekalipun, digambarkan bahwa mereka sebagai orang-orang bangkrut (muflis). Suatu ketika Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat: “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta benda.” Jawaban ini disanggah oleh baginda Nabi, bahwa orang bangkrut bukanlah orang yang tidak punya dirham dan harta, serta tidak memproleh keuntungan dari aktivitas bisnis.
Akan tetapi, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kezaliman. Ia pernah mencerca dan menghardik si fulan, menuduh tanpa bukti terhadap si fulan, memakan harta si fulan secara dzalimq, menumpahkan darah di fulan dan memukul si fulan.
Maka sebagai tebusan atas kezalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si fulan yang terdzalimi, sehingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya, sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan yang dimiliki oleh orang yang dizaliminya, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR Muslim).
Ini menunjukkan bahwa, sekecil dan seremeh apa pun dosa tanpa ditebus dengan taubat kepada Allah SWT dan permintaan maaf kepada sesama, selama itulah dosa-dosa terus melekat pada diri para pelaku kedzaliman tadi. Apalagi jika dosa yang dikerjakan itu menjadi sebuah kebiasaan, tradisi, dan diikuti oleh orang-orang setelahnya. Pasti dosanya akan dipikul secara berkelanjutan hingga kiamat.
Maka berhati-hatilah dalam segala perkataan dan perbuatan yang kita kerjakan didunia ini, semisal menyebarkan sebuah kabar yang dimana kabar itu belum jelas kebenarannya. Karena jika kabar itu mustahil akan kebenarannya, lalu disebar dan dibagikan kepada orang orang tanpa meyakini akan kebenaran informasinya, maka hal tersebut dikategorikan termasuk dosa jariyah yang akan dipikul oleh penyebar kabar tersebut, meskipun dia itu telah tiada.
Hakikatnya, ketika ada dosa jariyah maka disana ada pahala jariyah. Yaitu suatu amal perbuatan atau kebiasaan orang melakukan suatu kebaikan- kebaikan yang dilakukan secara sadar, tanpa bermaksud untuk dilihat oleh orang lain, kemudian orang-orang setelahnya mengikuti apa- apa yang pelaku kebaikan itu kerjakan, maka pahala jariyah lah kelak yang akan dia petik sekalipun dia telah meninggal dunia.
Kedua hal tersebut yakni dosa jariyah dan pahala jariyah, memiliki sifat yang sama. Sama-sama akan diminta pertanggungjawabannya kelak diakhirat nanti, dosa ini akan terus memberatkan timbangan keburukan di akhirat kelak, meskipun kita tidak lagi mengerjakan maksiat atau bahkan setelah meninggalkan dunia ini. Naudzubillahimindzalik. Dan begitu juga sebaliknya. Lalu apa saja contoh dosa jariyah tersebut?
Contoh Dosa Jariyah
Dialah Orang yang Mempelopori, Menginisiasi Perbuatan Maksiat atau Dosa.
Dalam hadits dari Jarir Bin Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang mempelopori satu kebiasaan yang buruk dalam islam, maka dia mendapatkan dosa keburukan itu, dan dosa setiap orang yang melakukan keburukan itu karena ulahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR. Muslim).
Di satu sisi, Rasulullah SAW juga bersabda:
“Orang ini tidak mengajak lingkungan sekitarnya untuk melakukan maksiat yang sama. Orang ini juga tidak memotivasi orang lain untuk melakukan perbuatan dosa seperti yang dia lakukan. Namun, orang ini melakukan maksiat itu di hadapan banyak orang, sehingga ada yang menirunya atau menyebarkannya.”
Berdasarkan kedua hadits Nabi tadi, kita mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang dosa jariyah, yaitu siapa saja yang mempelopori perbuatan maksiat ini, secara sadar maupun tidak, kemudian orang-orang setelahnya mengikutinya, maka dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, akan ditanggung oleh dirinya sebagai pelaku utama, polopor perbuatan kejahatan atau kebiasaan buruk.
Karena itulah, anak adam yang pertama kali melakukan pembunuhan, karena sifat hasad dan dengki yang dimilikinya, menjadikan dialah yang dilimpahi tanggungjawab atas semua kasus pembunuhan itu, karena dialah pelopor kedzaliman yang terjadi di alam ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada satu jiwa yang terbunuh secara dzalim, melainkan anak adam yang pertama kali membunuh akan mendapatkan dosa karena pertumpahan darah itu.” (HR. Bukhari 3157, Muslim 4473 dan yang lainnya).
Dialah yang Mengajak dan Memotivasi yang Lainnya untuk Melakukan Perbuatan Dosa dan Maksiat
Meskipun tingkatannya dibawah pelopor, yakni dia hanya mengajak orang lain, memotivasi orang untuk melakukan maksiat ataupun kebiasaan- kebiasaan buruk, maka perbuatan tersebut dikategorikan termasuk contoh sebagai orang yang sedang melakukan dan akan terus memupuk dosa jariyah.
Allah SWT berfirman, tentang cerita bagaimana kondisi orang kafir di akhirat kelak, dimana mereka akan menanggung kekufurannya, serta dosa-dosa yang mereka sesatkan. Mengajak orang lain untuk kufur dan menduakan Allah SWT. Hal ini dituturkan dalam Alquran, yang artinya :
“Mereka akan memikul dosa-dosanya dengan penuh pada hari kiamat, dan berikut dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan).” (QS. An-Nahl: 25).
Ditegaskan, Imam Mujahid mengatakan,
“Mereka menanggung dosa mereka sendiri dan dosa orang lain yang mengikutinya. Dan mereka sama sekali tidak diberi keringanan adzab karena dosa orang yang mengikutinya.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/566).
Tafsiran ayat ini, memiliki makna sama dengan hadis dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,
“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Ahmad 9398, Muslim 6980, dan yang lainnya).
Naudzubillahimindzalik. Semoga kita dihindarkan dari dosa jariyah tadi, karena betapa berat dan keras peringatan Allah dan RasulNya terhadap orang yang melakukan dosa jariyah, sebaliknya kita berharap agar termasuk orang yang berusaha melakukan pahala jariyah.
Mudah mudahan kita diberikan kemudahan untuk melakukan pahala jariyah, dianugerahkan keistiqamahan untuk menjaga segala perkataan dan perbuatan kita dari dosa jariyah, selalu mawas diri, menghadirkan dihati kita untuk selalu bertaqarrub kepadaNya, dan bertaubat kepadaNya dengan sebenar- benar taubat.
Karena kita tidak tahu, kelak akhir hidup kita seperti apa, dan menjadi apa nanti diakhir ajal kita nanti. Menjadi pribadi yang suul khatimah, atau sebaliknya, husnul khatimah, sesuai harapan, doa dan tujuan kita selama ini hidup didunia yaitu meninggal dalam keadaan yg terbaik.
Menganggap remeh sesuatu dapat menjadi ibadah atau bencana. Seseorang yang menganggap remeh ibadahnya di hadapan Allah adalah salah satu jalan pensucian jiwa guna menghindari penyakit ‘ujub terhadap amalan solehnya dan sebagai motivasi untuk memperbaiki ibadah, kualitas maupun kuantitasnya.
Namun jika tidak berhati-hati dalam menata qolbu, seseorang dapat terjatuh dalam sebuah dosa apabila ia menganggap remeh sebuah ibadah yang wajib dengan meninggalkannya, dan kedua hal ini mirip namun hakikatnya berbeda. Jauh lebih berbahaya dari itu, apabila ia menganggap remeh sebuah dosa sekecil apapun itu.
Dari Sahl bin Sa’ad radiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُودٍ، وَجَاءَ ذَا بِعُودٍ حَتَّى أَنْضَجُوا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ.
“Berhati-hatilah dari dosa-dosa yang dianggap remeh, karena permisalan dosa-dosa yang dianggap remeh ibarat suatu kafilah safar yang bermalam di sebuah lembah, setiap orang mengumpulkan sebuah kayu bakar hingga mereka dapat memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu dapat membinasakan pelakunya jika ia dihisab” (HR Ahmad nomor 22808 dan dishahihkan Al Albany dalam silsilah shahihah nomor 389).
Benar bahwa Allah Maha kasih, Maha penyayang dan Maha pengampun terhadap hamba-hambaNya, bahkan Allah telah berfirman di dalam Al Quran:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS An-Nisa 48).
Akan tetapi bukankah Allah juga yang telah menggambarkan dengan sangat jelas penyesalan para pelaku dosa dan maksiat dalam firmanNya:
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَاوَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا.
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya, dan mereka berkata “aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar melainkan ia mencatat semuanya”, dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada tertulis. Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangjuapun” (QS Al-Kahfi 49).
Karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan kita untuk berhati-hati dari dosa-dosa yang dianggap remeh oleh sebagian besar manusia. Apa itu dosa yang dianggap remeh oleh manusia ? Al Munawi rahimahullah dalam “Faidhul Qadir 3/127” menjelaskan bahwa dosa yang dianggap remeh adalah dosa-dosa kecil yang terus dilakukan seseorang, dan ia tak bertaubat darinya, sedangkan dosa besar tak diberikan permisalan oleh Rasulullah karena sedikitnya dari kalangan sahabat yang terjatuh di dalamnya. Anas radiyallahu ‘anhu berkata;
“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan-amalan yang kalian anggap lebih halus dari sehelai rambut, sedangkan kami (para sahabat. pen) menganggapnya sebagai pembawa kebinasaan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (HR Bukhari nomor 6492).
Rasulullah memisalkan dosa kecil dengan sebatang kayu bakar, yang tak memiliki manfaat yang banyak untuk menyalakan api dan digunakan memasak. Namun ketika dikumpulkan barulah memberikan manfaat yang berarti. Imam Al Ghazali rahimahullah sebagaimana dinukil dalam “Faidul Qadir 3/127” berkata:
“Kesalahan kecil dapat menjadi sebuah dosa besar dengan dua hal; menganggapnya remeh dan terus menerus mengerjakannya. Tiap kali sebuah dosa dianggap besar niscaya ia akan kecil di sisi Allah, dan jika dosa dianggap kecil niscaya ia akan besar di sisi Allah. Karena anggapan besarnya sebuah dosa lahir dari bencinya hati seseorang kepada perbuatan tersebut, sedangkan anggapan kecilnya sebuah dosa lahir dari senangnya hati seseorang kepada perbuatan tersebut. Oleh karena itu ia pantas untuk diadzab karena hati hendaknya diisi dengan cahaya iman dan ketaatan, bukan dengan gelapnya dosa dan kemaksiatan.”
Referensi sebagai berikut ini ;