Demikian ajaran Allah yang mewajibkan semua insan yang ”mendapat kepercayaan titipan harta” dari Allah SWT, wajib baginya membersihkan harta tersebut dengan cara mengambil sebagian dari hartanya untuk didistribusikan (di-tasharufkan) kepada yang berhak. Harta yang ada di tangan manusia dinamakan ”titipan”. Sebab, memang semua itu hak Allah yang sebagiannya harus diberikan kepada kaum dhuafa maupun untuk perjuangan dakwah Islamiyah. Harta yang tidak diberikan sebagiannya kepada pihak yang berhak menjadi harta yang najis dan kotor.
Artinya, harta tersebut masih bercampur dengan air mata dhuafa, harta tersebut masih menyimpan harapan bagi orang lain, harta tersebut masih membuat dhuafa hidupnya bergantung, dan lain-lain.
Kondisi itulah yang membuat pihak yang berhak maupun dhuafa hidupnya serba kekurangan secara materi. Kekurangan itu mengakibatkan banyak hal. Di antaranya, tidak sehat, tidak bisa sekolah (menuntut ilmu), tidak mampu membangun masjid yang representatif, tidak memiliki gedung dan fasilitas sekolah yang memadai, tidak bisa menunaikan rukun Islam kelima, dan serba kelaparan. Bahkan, Nabi SAW mengingatkan, kekurangan secara materi tersebut membuka peluang seseorang jatuh imannya dan bahkan berpindah agama. Seluruh kondisi dan kejadian buruk inilah disebabkan najisnya harta (najis secara sosial) karena tidak didistribusikan dengan baik.
Najis secara sosial tidak hanya berakibat dosanya sang pihak yang tidak memberikan hak orang lain, namun yang lebih berbahaya adalah kondisi masyarakat akhirnya tidak sehat secara jasmani dan rohani.
Semakna dengan persoalan ini, Nabi SAW telah memberi isyarat dalam hadis bahwa ”Seseorang disebut kaya bukanlah karena banyak harta, tetapi orang yang kaya jiwa”. Maka, sesungguhnya orang yang gemar melakukan zakat, infak, sedekah adalah orang yang pasti kaya jiwa meskipun orang tersebut tidak berada dalam harta.
Orang yang dengan ringan tangan memberikan infak karena hatinya lapang adalah mendapat titisan Nabi SAW. Beliau sangat ”perasa” terhadap keberadaan ”kaum lemah ekonomi”, baik karena yatim maupun disebabkan kondisi lainnya. Hingga Nabi SAW menyatakan dengan bahasa yang amat jelas bahwa orang yang merawat anak yatim dipastikan bakal menjadi penghuni surga bersama beliau.
Maka, najisnya harta yang tidak dikeluarkan zakat, infak, dan sedekahnya juga memiliki makna yang luas secara sosial. Di antaranya, tertutupnya hati manusia dari rasa empati terhadap kaum dhuafa. Ketertutupan hati inilah yang berdampak negatif secara luas dalam kehidupan masyarakat, yaitu tidak adanya pemerataan strata kehidupan ekonomi serta terjadinya kesenjangan sosial yang menganga.
Semangat surat Az-Zuhruf ayat 32 membimbing semua insan untuk menjaga kondusivitas kehidupan secara makro dengan melakukan kolaborasi antara kaum berada dan kaum yang berlevel bawah. Firman Allah ini juga mengingatkan bahwa tidak satu pun insan kecuali hidupnya saling memerlukan sharing, saling membantu, serta saling menolong satu dengan yang lain.
Allah juga menjamin, hidup yang seperti ini jauh lebih mampu menjaga stabilitas masyarakat luas dibandingkan hidup egoistis yang bakal melahirkan kecemburuan dan gesekan sosial yang sulit diurai dengan teori apa pun. Subanallah, sungguh Allah Maha Penyayang atas semua mahluk-Nya dan Dia Maha Bijaksana.
Referensi sebagai berikut ini ;