Sabtu, 23 Juli 2022

Hukum Bersedekah Dengan Uang Haram


Kita sering menjumpai orang-orang tidak lagi memperdulikan dari mana hartanya berasal, apakah dari yang haram ataukah dari yang halal. Selama ia memuaskan keluarga, mengenyangkan perut, itu sudah cukup dan menyenangkan bagi dirinya sendiri. Padahal harta haram jika digunakan akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan seorang muslim, baik dalam sosialnya, ibadahnya, dan keberkahan hidupnya. Mengetahui hukum tentang sumber harta kemudian menjadi penting bagi muslim. 

Lalu bagaimana jika seorang memberi sedekah menggunakan harta haram, dengan tujuan meringankan beban orang yang disedekahi, dan membantu sesama? Dalam hal ini, apakah sedekahnya sah atau tidak? Keutamaan Bersedekah Bersedekah adalah salah satu amalan yang mulia di sisi Allah SWT. Orang yang bersedekah juga dijanjikan keberkahan dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. 

Allah menyiapkan pahala untuk mereka dan tempat kembali yang baik. Setiap pagi dan sore terdapat dua malaikat yang turun ke bumi, mereka bertugas untuk mendoakan hamba Allah yang selalu mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Salah satu dari dua malaikat tersebut berdoa, ‘Ya Allah berilah ganti untuk orang yang berinfaq.” Harta orang yang berinfaq akan Allah SWT ganti dengan kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. 

Sebaliknya, orang-orang yang kikir akan hartanya akan didoakan keburukan untuknya oleh malaikat. Di antara malaikat berkata, “Ya Allah, berilah kebinasaan bagi orang yang kikir.” Maksud kebinasaan di sini yaitu kebinasaan pada hartanya, baik yang nampak maupun tidak nampak. 

Adapun kebinasaan yang nampak yaitu saat hartanya tertimpa musibah. Bisa jadi hartanya hilang, terbakar, dirampok, dan diambil dengan cara zalim. Sedangkan yang tidak nampak, hartanya tetap utuh tapi sama sekali tidak ada berkahnya. Dia tidak bisa mengambil manfaat terhadap harta tersebut. Itulah yang dinamakan kebinasaan dalam harta.. 

Hukum Bersedekah Dengan Uang Haram Seorang bersedekah dengan harta hasil riba, korupsi, curian, judi, menipu, dan dengan cara haram lainya. Pada esensinya ia tidak bisa disebut dengan sedekah, karena itu perbuatan yang batil. Allah tidak menerima suatu amalan dari yang haram. Ia sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thayyib (baik). 

Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thayyib (baik).” (HR. Muslim No. 1015). Hadis lainnya, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu.” (HR. Muslim No. 1014). 

Dari hadis ini menjelaskan, Allah akan memberi ganjaran pahala kepada anak Adam yang menginfakkan harta thayyib (yang baik) di jalan Allah. Walaupun ia bersedekah dengan nilai yang kecil, sebutir kurma, seteguk air minum, yang terpenting ia berasal dari hasil jerih payahnya sendiri. Maka tidaklah Allah melihat sedekahnya, kecuali Allah melipatgandakan pahala kepadanya. 

Salah Kaprah Muslim tentang Sedekah Banyak dari kalangan umat muslim menganggap bahwa bersedekah dapat mensucikan harta haram. Sejatinya tidak, hal ini merupakan salah kaprah, sebab harta haram tetaplah haram, sebagaimana kaidah fikih “Segala sesuatu yang diawali dengan perbuatan haram, maka itu juga haram”. Walaupun disedekahkan, ia tidak dapat mengubah esensi nilai dari harta tersebut. 

Justru hal ini bukan malah membaik, tapi membuat harta itu semakin kotor di hadapan Allah. Dan Allah tidak mungkin menerima pemberiannya sebagai sedekah, sebagaimana Rasulullah bersabda “Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim No. 224).  

Bersedekah dengan harta haram ulama mengibaratkan seseorang menaruh satu tetes kapur ke dalam sebotol air minum. Menurut hukum akal, kapur sedikit itu tidak akan tercemar. Akan tetapi kalau dilihat secara makna gaibnya, kapur itu ibarat najis walaupun satu tetes, pasti air tersebut tercemari oleh najis dan tidak mungkin digunakan. 

Kedua, sedekah dengan harta haram ibaratnya seorang mencuci pakaiannya dengan air kencing. Bukannya bersih, justru semakin kotor. Maka segala sesuatu yang haram jika tercampur dengan yang halal, maka yang haram pasti menang. Pendapat Para Ulama Terkait hukum harta haram, beberapa ulama berbeda pendapat. 

Ada yang mengatakan harta haram tidak boleh disedekahkan dan ada juga yang mengatakan harta haram tidak boleh disimpan, harus diberikan kepada yang membutuhkan. Dalam sumber harta haram, para ulama membaginya dalam hukum menjadi dua. Pertama, harta haram yang didapatkan dengan cara menzolimi seperti menipu, korupsi, mencuri, merampok, dan lainnya. 

Kedua, harta yang didapatkan dari akad yang saling ridho antar kedua pihak, seperti riba, jual beli barang haram, judi, dan sebagainya. Dari kalangan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa jika harta didapat dari mencuri, menipu, dan korupsi, maka harus dikembalikan kepada pemilik asalnya. Ia tidak boleh digunakan secara pribadi. Jika pemilik asalnya tidak ditemukan atau sudah meninggal maka harus dikembalikan kepada ahli warisnya. 

Akan tetapi, di sini ulama berbeda pendapat. Seadainya ahli warisnya tidak ada dan pemilik asalnya sudah meninggal, maka pelaku dianjurkan untuk bertaubat dan berbuat baik sebanyak-banyaknya agar pahalanya dapat menutupi dosa-dosanya ketika diadili oleh Allah kelak di akhirat. 

Pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur ulama. Bagi yang membawa harta hasil curian, menipu, dan korupsi, pelaku boleh menyedekahkannya dengan syarat sedekah diniatkan atas nama pemilik harta tersebut. Allah SWT Maha Mengetahui ke mana pahala itu akan disalurkan. 

Seandainya pemilik sahnya diketahui, hendaknya pelaku pilihan padanya: antara merelakan uangnya yang telah disedekahkan, atau pelaku harus menggantinya.. 

Adapun harta yang didapatkan dari akad yang saling ridho seperti riba dan judi, ada dua pendapat hukum. Pertama, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa harta tersebut tidak boleh disedekahkan, karena harta kotor lebih baik disimpan. 

Kedua, Dr. Muhammad Ali Fardus berpendapat, harta riba sebaiknya disedekahkan atas nama shohibulhaqi majhul, atau pemilik harta yang tidak diketahui. Ketiga, harta haram tidak boleh disimpan. Ia sebaiknya diberikan kepada fakir miskin, kaum dhuafa, pembangunan fasilitas umum, kegiatan sosial keagamaan, pembangunan masjid, dan orang-orang yang membutuhkannya. 

Tapi ia tidak boleh diniatkan untuk sedekah, karena harta kotor tidak boleh disedekahkan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bila harta haram diberikan kepada orang miskin, maka harta itu tidak menjadi haram lagi di tangannya. Status harta itu ditangannya halal lagi baik.”