Sabtu, 23 Juli 2022

Cara Taubat Dari Modal Usaha Yang Haram

Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir setiap usaha yang dijalankan oleh para pengusaha atau bisnisman selalu membutuhkan adanya modal, sedikit maupun banyak. Akan tetapi sebagai seorang muslim yang telah menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan hari akhir, sudah seharusnya menggunakan modal yang halal dalam menjalankan usahanya, agar senantiasa mendatangkan manfaat dan berkah dari Allah.

Allah telah memerintahkan kepada kita semua agar selalu mencari rezeki dari sumber yang halal. Dan perintah ini banyak ‎terkandung dalam ayat Al-Quran, diantaranya adalah firman-Nya: “Maka makanlah yang baik dari rezki yang telah diberikan oleh Allah kepadamu, dan syukuriklah ni’mat ‎Allah jika kamu benar-benar menyembah-Nya.”‎  (QS. An-Nahl: 114)

Demikian pula di dalam banyak hadits, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menganjurkan kepada kita agar bekerja dan berusaha mencari rezeki dengan cara yang halal. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut:  

عَنْ جَدِّهِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ ، قَالَ : قِيلَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ.

Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ada seseorang bertanya, “Penghasilan apakah yang paling baik, Wahai Rasulullah?” Beliau jawab: “Penghasilan seseorang dari jerih payah tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.” [HR. Ahmad di dalam Al-Musnad no.16628] yang dimaksud dengan jual beli yang mabrur ialah jual beli yang benar menurut syariat, diterima dan diberi pahala oleh Allah, dan tidak mengandung unsur menipu atau khianat. (Lihat Faidhul Qadir Syarhu Al-Jami’I Ash-Shaghir, karya Abdur Rauf Al-Munawi II/47).

لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh salah seorang dari kalian mencari kayu bakar lalu memikulnya di atas punggungnya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, lalu ia memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari no.1470)

إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِى مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ ، فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari Khaulah Al-Anshariyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengelola dan mengambil harta kaum muslimin tanpa hak, maka bagi mereka azab neraka pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 3118)

Demikianlah perintah Allah dan rasul-Nya kepada kita semua agar bekerja dan berusaha mencari rezeki dengan cara yang halal lagi baik. Sebab yang namanya modal tidak harus berupa uang, tapi bisa juga berbentuk ketrampilan, pikiran positif, tenaga dan lain sebagainya yang dimiliki seseorang dan dimungkinkan dapat menghasilkan uang yang halal, seperti menulis atau menterjemah buku-bukuh Islam yang bermanfaat, mengajarkan ketrampilan dan keahlian kepada orang lain, sebagai pengelola usaha tertentu dengan modal dari investor yang percaya pada kita, atau sebagai kuli (jasa tenaga) dan lain sebagainya. Semua itu dapat mendatangkan penghasilan halal yang dapat kita jadikan modal usaha di kemudian hari setelah kita mengumpulkannya dengan giat dan sabar.


Akan tetapi kalau kita perhatikan di zaman sekarang, tidak sedikit pengusaha yang menjalankan usahanya dengan menggunakan modal yang haram, atau mencari rezeki dengan cara dan profesi yang haram. Mereka kurang atau bahkan tidak sabar menghadapi keadaan sulit yang menghimpit mereka. Mereka lebih suka mengambil jalan pintas dan cepat dalam mengais rezeki untuk memperkaya diri. Sehingga demi terwujudnya impian dan cita-cita menjadi orang yang kaya raya, diantara mereka ada yang menggunakan cara-cara yang diharamkan oleh syariat Islam seperti, korupsi, menipu, mengurangi takaran dan timbangan dalam jual beli, menjual barang-barang haram, bekerja di tempat-tempat maksiat dan berprofesi dengan profesi-profesi haram seperti menjadi penari latar dengan cara vulgar di depan umum, berjoget dan bernyanyi, sebagai model perempuan yang berlenggang lenggok di catwalk dan disaksikan kaum lelaki, sebagai aktor/artis film-film yang mengumbar syahwat, demikian pula para perempuan pendamping tamu di bar, kafe, atau tempat biliar dan sejenisnya. Semua itu adalah contoh perbuatan-perbuatan yang hasil upahnya diharamkan, karena tindakan atau transaksi yang dilakukannya tidak dibenarkan secara syar’i.

Kita dapatkan pula sebagian pengusaha yang lebih memilih mengambil pinjaman uang dari bank-bank, koperasi-koperasi atau lembaga-lembaga keuangan yang konvensional maupun yang berbasis syariah meskipun di dalamnya diberlakukan sistem bunga riba. Dan menjalankan usaha dengan modal dari hasil transaksi riba ini memiliki banyak bahaya dan petaka bagi pelakunya. Apalagi status keharamannya telah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Allah berfirman: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).

Transaksi riba itu lebih dari tujuh puluh macam jenisnya (sesuai penjelasan hadis

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam). Salah satunya adalah riba ‘bunga bank’.

Allah berfirman pula: “Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil” (QS. Al Baqarah: 188).

maksudnya, janganlah kita mengelola dan memperoleh harta kekayaan melalui jalan yang batil, yaitu jalan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Kiranya benar sinyalemen Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dengan sanadnya kepada al-Auza’i: “Akan datang suatu zaman di tengah -tengah manusia di mana mereka menghalalkan transaksi riba dengan nama jual beli (perdagangan)” (Hadits ini Mursal. Disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam I’lamul Muwaqqi’in III/166)

CARA BERTAUBAT DARI MODAL USAHA YANG HARAM

Lalu bagaimana bila seseorang terlanjur berusaha dan berbisnis dengan modal yang haram sedangkan ia ingin segera bertaubat kepada Allah dan membersihkan dirinya dan harta bendanya dari hal-hal yang haram?

Maka kami katakan, bahwa hal pertama yang wajib baginya sebelum melakukan hal-hal lain adalah bersegera bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha, yaitu dengan memohon ampunan kepada-Nya atas segala dosa yang telah diperbuatnya, menyesalinya dengan sebesar-besar penyesalan dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya kembali di kemudian hari. Hal ini sebagaimana firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Tahrim: 8)

Allah Ta’ala berfirman pula:

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

Selanjutnya, agar taubatnya sempurna dan diterima Allah maka hendaknya ia membersihkan kekayaannya dari segala modal dan harta yang diperolehnya dengan cara yang haram. Dan dalam hal ini ada dua permasalahan: 

Permasalahan pertama: Bertaubat dari harta benda atau modal haram yang diperoleh secara zhalim, yakni tanpa seizin atau kerelaan dari pemiliknya seperti pencurian, perampokan, penipuan/penggelapan, korupsi, dan semisalnya.

Untuk bertaubat dalam masalah ini ada dua keaadaan:

Keadaan Pertama: Memungkinkan baginya untuk mengembalikan harta benda atau modal haram tersebut kepada pemiliknya. Maka dalam keadaan seperti ini wajib baginya untuk mengembalikannya kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya jika harta benda tersebut milik individu, dan mengembalikannya kepada pemerintah jika harta benda tersebut milik negara. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ لاَعِبًا أَوْ جَادًّا فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ

“Janganlah salah seorang dari kamu mengambil harta benda saudaranya baik dengan bercanda maupun serius. Apabila salah seorang dari kamu mengambil tongkat saudaranya maka hendaknya ia mengembalikannya kepadanya.” (HR. Ahmad (no.(17262, Abu Daud (no.4350) dan At-Tirmidzi (no.2086)).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ (رواه البخاري)

Keadaan Kedua: Tidak memungkinkan baginya untuk mengembalikan harta benda atau modal haram tersebut kepada pemiliknya karena telah meninggal dunia atau tidak mengetahui keberadaannya dan keberadaan ahli warisnya padahal sudah berusaha keras mencarinya. Maka dalam keadaan ini hendaknya ia menginfakkan harta benda atau modal haram tersebut dengan mengatas-namakan pemiliknya kepada fakir miskin atau disalurkan ke jalur-jalur yang mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin secara umum. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Bertakwalah kamu kepada Allah semampu kamu.” (QS. At-Taghabun: 16)

Dan berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, bahwasanya ia pernah membeli seorang budak wanita dari seseorang, lalu ia masuk untuk mempertimbangkan harganya. Tiba-tiba tuan budak itu pergi, maka ia (Abdullah bin Mas’ud) menunggunya hingga lama sekali dan ia tak kunjung kembali. Maka ia bershodaqoh seharga budak itu seraya berkata, “Ya Allah, pahala shodaqoh ini untuk tuan budak wanita ini, jika ia ridho maka pahalanya untuknya, tetapi jika ia datang (dan meminta harganya, pen) maka pahalanya untukku dan ia memperoleh dari kebaikan-kebaikanku sesuai dengan kadarnya.” (Madariju As-Salikin, karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah I/421)

Permasalahan Kedua: Bertaubat dari harta benda atau modal haram yang diperoleh secara suka rela, yakni ia mengambilnya dengan izin dan kerelaan dari pemiliknya, seperti harta atau modal haram hasil transaksi riba, perjudian, bisnis barang-barang haram seperti khamr, narkoba dan semisalnya, upah pelacuran, hasil praktek perdukunan, hasil suap, dan semisalnya.

Untuk bertaubat dalam masalah ini ada dua keadaan pula:

Keadaan pertama: Ketika memperoleh harta benda atau modal haram tersebut ia dalam keadaan tidak mengetahui keharamannya, dikarenakan ia adalah seorang mualaf (baru masuk Islam), atau tinggal di wilayah yang belum terdengar dakwah Islam atau penjelasan tentang larangan-larangan tersebut.

Maka dalam keadaan demikian, ia wajib bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha sebagaimana telah disebutkan di atas, sedangkan harta atau modal haram yang telah ada di tangannya tersebut menjadi halal baginya, dan ia tidak berdosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 275-276)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala tidak memerintahkan untuk mengembalikan harta benda yang telah diambil melalui transaksi riba setelah bertaubat. Akan tetapi Dia memerintahkan agar mengembalikan harta hasil riba yang belum diambilnya.” (Al-Fatawa As-Sa’diyah hlm. 303)

Dan Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini: “Dari ayat yang mulia ini dapat diambil pelajaran bahwa Allah tidak menyiksa seorang manusia disebabkan melakukan suatu perkara kecuali setelah Dia mengharamkannya. Dia telah menerangkan makna ini dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah berfirman tentang orang-orang (para sahabat, pen) yang pernah minum khamr dan memakan harta hasil perjudian sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya:

“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman.” (QS. Al-Ma-idah: 93)

Demikian pula Allah berfirman tentang orang-orang yang menikahi mantan istri ayah mereka sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya, mereka tidak berdosa.

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 22-23).

Dan Allah berfirman tentang orang-orang yang membunuh hewan buruan ketika sedang ihram (haji atau umroh), mereka tidak berdosa tatkala melakukannya sebelum mengetahui keharamannya.  (baca QS. Al-Ma-idah: 95)

Dan dalil yang paling jelas adalah firman Allah:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan[663] suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah:115)

Maksud ayat ini, seorang hamba tidak akan diazab oleh Allah semata-mata karena kesesatannya, kecuali jika hamba itu melanggar perintah-perintah yang sudah dijelaskan. (Lihat Adhwa-ul Bayan I/188)

Keadaan Kedua: Ketika ia memperoleh harta benda atau modal haram tersebut dalam keadaan telah mengetahui keharamannya dan mengerti bahwa muamalah dan perbuatan-perbuatan tersebut tidak diperbolehkan dalam agama Islam.

Maka dalam keadaan seperti ini, di samping berkewajiban bertaubat kepada Allah dengan taubat nashuha, ia juga berkewajiban untuk menyalurkan semua harta atau modal haram yang ada dalam kepemilikannya tersebut kepada fakir miskin atau untuk kepentingan-kepentingan umum bagi kaum muslimin. Dan hal itu bukan termasuk shodaqoh tathawwu’ (sunnah), tetapi termasuk dari upaya menyelamatkan apa yang diharamkan Allah, sebagai sarana menyucikan dirinya dan hartanya dari penghasilan yang tidak sesuai dengan syari’at Allah.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama kita berkata: Sesungguhnya cara bertaubat bagi orang yang di tangannya terdapat harta yang haram, jika dari hasil riba, maka hendaklah dia kembalikan kepada yang telah dia ambil ribanya. Ia harus mencari orang tersebut jika dia tidak mengetahui keberadaannya. Jika ia telah putus asa (setelah berusaha keras) untuk menemukannya, maka hendaklah ia sedekahkan harta tersebut atas nama orang itu. Jika ia mengambilnya dengan cara dzalim, maka hendaklah ia melakukan hal yang sama terhadap orang yang pernah didzaliminya. Jika tersamarkan olehnya, sehingga dia tidak mengetahui berapa jumlah harta yang haram dibanding yang halal yang ada di tangannya, maka hendaklah ia berusaha mengetahui kadar apa yang ada di tangannya dari harta yang harus dikembalikannya, sampai dia tidak ragu lagi bahwa apa yang tersisa di tangannya telah bersih. Lalu dia kembalikan harta yang telah dia pisahkan dari miliknya tersebut kepada orang yang pernah dia dzalimi (hartanya) atau yang dia ambil riba darinya. Jika telah putus asa dalam mencari orang tersebut, maka dia bersedekah dengan harta tersebut atas nama orang itu.

Jika telah menumpuk kedzaliman yang ada dalam tanggungannya dan dia mengetahui bahwa dia wajib mengembalikan sesuatu yang dia tidak mampu membayar selamanya karena demikian banyak jumlahnya, maka cara bertaubatnya adalah dia melepaskan (menginfakkan) semua harta yang ada di tangannya, baik kepada orang-orang miskin atau kepada sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin. Sampai tidak ada lagi yang tertinggal di tangannya kecuali yang paling minimal berupa pakaian yang dapat menutupinya dalam shalat. Yaitu yang menutup auratnya, antara pusar sampai lututnya. Juga yang mencukupi kebutuhan makanannya dalam sehari, karena itulah yang boleh baginya untuk dia mengambil dari harta orang lain dalam kondisi darurat, walaupun orang yang diambil barangnya tersebut merasa benci.” (Lihat Tafsir Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat ini dalam permasalahan yang ke-36)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggal yang di masa hidupnya dia bermuamalah dengan cara riba. Apakah ada cara yang syar’i bagi kerabatnya yang hidup dan ingin menebus dosanya yang meninggal?

Beliau menjawab: “Disyariatkan bagi ahli warisnya agar menentukan secara teliti kadar yang masuk ke dalam hartanya dari hasil riba lalu dia sedekahkan atas nama yang meninggal dan mendoakannya dengan memohon ampunan baginya.” (Lihat Al-Fatawa Al-Islamiyyah, II/387, yang disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad)

Dan sebelum kami akhiri tulisan ini, kami sampaikan sebuah hadits yang dapat menghibur dan memotivasi kita untuk segera bertaubat dari modal usaha yang haram. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

من ترك شيئاً للّه عوضه اللّه خيراً منه

“Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena (takut azab) Allah, maka Allah akan memberinya ganti yang lebih baik.” (HR. Ahmad no.20739)

Dan imam Malik meriwayatkan dari sebagian istri salafus shalih yang selalu mengingatkan suami mereka setiap akan keluar rumah untuk mencari nafkah dengan bisikan, “kami mampu bertahan menahan kelaparan, akan tetapi kami tidak mampu bertahan memakan neraka Allah”. (Lihat Subulussalam, Ash-Shan’ani ).


Referensi sebagai berikut ini ;