Kerap kali umat Islam mengira bahwa orang yang bertakwa tidak melakukan dosa dan maksiat sama sekali. Demikian pula halnya, tidak sedikit orang yang mengidentikkan orang alim atau saleh sebagai manusia suci dari goresan-goresan dosa atau kesalahan. Padahal kemuliaan yang ada pada orang bertakwa, hakikatnya tumbuh berkat kebaikan dan rahmat Allah SWT. Karena Dialah yang menutupi dan menjaga segala rupa aib dan khilaf hamba-Nya.
Dalam buku Oase Al-Qur’an karangan Dr KH Ahsin Sakho Muhammad, beliau mengatakan bahwa petikan ayat di paruh surat Ali ‘Imran (QS. 3 : 133-135) telah cukup menjelaskan karakteristik luhur orang bertakwa. Setidaknya, melekat pada diri mereka empat sifat mulia: Pertama, senang berinfak di kala lapang atau susah. Kedua, sanggup menahan amarah dan emosi. Ketiga, suka memaafkan orang lain. Keempat, jika berbuat keji atau menzalimi diri sendiri, mengingat Allah, memohon ampunan kepada-Nya serta tidak mengulanginya.
Sifat terakhir inilah yang jarang kita sadari sepenuhnya. Pada dasarnya, orang yang bertakwa merupakan manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. Artinya, mereka tetaplah manusia yang diciptakan Tuhan dengan potensi melakukan kesalahan (HR. Tirmidzi : 2423).
Imam Ibnu Katsir menyempurnakan penafsiran ayat tersebut, dengan riwayat Imam Ahmad, “Seandainya kalian semua tidak ada yang berbuat dosa, niscaya Allah akan mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa agar Dia mengampuni mereka.” (Al-Musnad: 7983).
Bahkan, para Nabi dan Rasul pun tak luput dari salah dan dosa (kecil). Namun, mereka mendapat kemuliaan yakni terjaga dari dosa dan maksiat (ma’shuum). Artinya, ketika melakukan kesalahan, seketika itu pula ditegur oleh Allah SWT, lalu memperbaikinya.
Karakter orang bertakwa yang keempat pada Surah Ali Imran ayat 135 di atas, merefleksikan keadaan manusia seutuhnya, yaitu disadari atau tidak, besar atau kecil, pasti pernah melakukan dosa. Oleh karenanya, Allah ‘Azza Wa Jalla menyuguhkan tiga tuntunan kepada orang bertakwa ketika ia berdosa.
Pertama, mengingat-Nya (dzikrullah). Syeikh Mutawalli Sya’rowi, dalam Tafsir As-Sya’rowi, menuturkan bahwa sejatinya orang yang berbuat maksiat, dialah yang lupa kepada Rabb-nya. Dosa yang dia lakukan pun sebenarnya terlahir dari kelemahannya sebagai manusia, yang penuh dengan keterbatasan. Hatinya menjerit dari dosa itu. Tapi kelemahannya sebagai manusia membuat dia tidak bisa mengelak. Marilah senantiasa mengingat-Nya, nisacaya Dia akan mengingat kita (QS. 2 : 152).
Kedua, memohon ampunan-Nya (istighfar). “Permohonan ampunan yang disertai dengan penyesalan dan taubat.” Demikan ditegaskan oleh Imam Nashiruddin al-Baidhawi dalam tafsirnya, Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil.
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, mengutip sebuah Hadis Nabi SAW akan keagungan dan kasih sayang Allah yang luas tak bertepi.
Seorang hamba yang selalu berbuat dosa, tapi konsekuen memohon ampunan, maka Allah SWT berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa. Ia tahu bahwa ia punya Rabb yang mengampuni dosadan menyiksa karenanya. Aku jadikan kalian sebagai saksi bahwa aku telah mengampuni hamba-Ku maka silahkan ia berbuat apa yang ia inginkan.” (Al-Musnad: 7888).
Ketiga, tidak mengulangi kembali kesalahannya. Artinya, tidak diam apalagi bangga dalam kubangan dosa tanpa beristighfar dan berusaha meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Bukanlah orang yang terus berbuat dosa orang yang meminta ampunan walaupun ia kembali melakukan dosa dalam sehari sebanyak tujuh puluh kali.” (HR. Imam Abu Daud: 1293).
Perlu kita renungi kembali, bahwa salah dan dosa tidak hanya menyelimuti orang-orang biasa/awam. Bahkan ustadz, kyai, para habaib dan ulama pun pernah berdosa. Tapi karakter keempat inilah yang inheren dengan kehidupan mereka.
Orang bertakwa bukan orang yang terlepas dari salah dan dosa. Namun, tak sampai membuat mereka lupa kepada Allah SWT dan putus asa. Sebab, rahmat dan ampunan Rabb-nya jauh lebih luas dari hamparan dosa yang ia kerjakan. Semoga kita menjadi bagian dari mereka. Aaminn ya robbal "alamin.
Referensi sebagai berikut ini :