Semua orang, anak-anak maupun orang dewasa, pasti pernah mengalami kecemasan atau rasa takut. Merasa cemas dalam sebuah situasi adalah kondisi yang sangat tidak menyenangkan. Namun, pada anak-anak, merasa cemas adalah sesuatu yang wajar. Rasa cemas dibutuhkan agar mereka dapat belajar mengatasi beragam situasi di dalam hidup. Cemas atau takut adalah hal alami yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan diri. Beberapa anak bisa mengatasinya dengan baik, namun ada sebagian pula yang tidak.
Kecemasan sering disebut sebagai “ketakutan tanpa sebab yang jelas”. Perasaan itu biasanya muncul walau ketika tidak ada ancaman langsung terhadap dirinya, namun yang bersangkutan merasa ancaman itu nyata. Kecemasan membuat seseorang ingin segera lari dari situasi yang sedang ia hadapi. Jantung berdegup kencang, muncul keringat dingin, dan perut terasa berkecamuk. Tapi, tak selamanya kecemasan berdampak negatif. Manfaat rasa cemas antara lain membantu kita tetap waspada dan fokus. Memiliki rasa takut atau cemas terhadap suatu hal dapat membantu Si Kecil untuk tetap pada jalurnya, misalnya Si Kecil yang takut dengan api tentu secara alami akan menghindari bermain dengan korek api.
Menurut situs childanxiety.net, 90% anak usia 2 hingga 14 tahun mempunyai setidaknya satu ketakutan terhadap hal tertentu. Bayi hingga balita usia 2 tahun umumnya memiliki ketakutan terhadap suara keras, orang asing, dan terpisah dari orangtua. Anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) terutama takut kepada monster, hantu, kegelapan, dan halilintar. Sementara itu, anak usia sekolah (7 hingga 16 tahun) memiliki ketakutan terhadap hal yang lebih realistis, seperti kecelakaan, penyakit, performa di sekolah, kematian, dan bencana alam.
Rasa takut dapat disebabkan oleh berbagai hal, bahkan yang sepele sekalipun. Beberapa hal yang dapat membangkitkan rasa takut pada anak di antaranya pengalaman traumatik seperti dikejar anjing atau tenggelam di kolam renang.
Sebagian anak bisa merasa takut hanya dengan melihat ekspresi orang lain yang sedang ketakutan terhadap hal tertentu. Imajinasi anak yang berkembang “liar” pun dapat berkontribusi terhadap rasa takut ini. Namun demikian, ada pula anak yang merasa takut tanpa penyebab yang jelas sekalipun.
Biasanya rasa takut pada anak akan hilang dengan sendirinya pada usia tertentu. Namun jika rasa takut tersebut terus menetap, bahkan mengganggu aktivitas kesehariannya termasuk tidur, hal tersebut sudah berubah menjadi fobia.
Fobia adalah rasa takut berlebihan terhadap objek atau situasi tertentu akibat suatu trauma atau peristiwa yang sangat membekas pada benak anak-anak. Ketakutan berlebihan ini tidak jarang dapat menyebabkan depresi, kecemasan, serta kepanikan yang parah. Fobia dapat muncul karena ketidaktahuan dan imajinasi berlebihan, terlalu banyak menyerap informasi yang tidak mampu dicerna dengan baik, ataupun melihat reaksi orang lain terhadap suatu hal.
Berdasarkan jenis ketakutannya, fobia dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Fobia spesifik, yang merupakan ketakutan berlebihan terhadap objek tertentu, seperti binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain-lain.
- Fobia sosial, yang muncul bila anak berada di tempat ramai, atau takut menjadi pusat perhatian.
- Fobia kompleks, yang merupakan gabungan dari fobia spesifik dan sosial secara bersamaan.
Apabila fobia dibiarkan berlarut-larut maka Si Kecil berisiko mengalami gangguan perkembangan mental, oleh karena itu fobia harus segera ditangani. Ayah dan Bunda dapat membawanya ke psikolog atau psikiater anak untuk penanganan lebih lanjut.
Ayah dan Bunda dapat membantu Si Kecil mengatasi rasa takutnya sehingga rasa tersebut tidak berevolusi menjadi reaksi fobia. Lakukan kiat-kiat berikut ini:
Kenalkan pada hal yang membuatnya takut
Rasa takut bisa terjadi karena Si Kecil belum mengenal objek yang ia takuti. Oleh karena itu, kenalkanlah ia pada hal yang membuatnya takut. Misalnya, jika ia takut kucing, berikan informasi yang lengkap dan menarik seputar hewan tersebut, disertai dengan gambar-gambar lucu dari televisi atau buku cerita.
Hadapkan Si Kecil pada ketakutannya
Si Kecil tidak akan bisa mengatasi ketakutannya apabila ia tidak mencoba untuk menghadapinya. Pastikan ia tidak menghindari sumber ketakutannya. Misalnya, Si Kecil takut menjadi pusat perhatian. Ayah dan Bunda bisa melatihnya untuk lebih sering bersosialisasi (memasukkannya ke kursus atau lebih sering mengajaknya bermain dengan teman-teman (playdate) dan lainnya). Menghindari sumber ketakutan hanya akan menjadi solusi sementara, namun cara tersebut tidak akan membantu Si Kecil mengatasi ketakutannya dengan efektif.
Jangan menertawakan Si Kecil
Penyebab rasa takut muncul berbeda untuk tiap orang. Mungkin Ayah dan Bunda menganggap penyebab ketakutan Si Kecil adalah sesuatu yang lucu. Namun, rasa takutnya adalah hal yang serius bagi Si Kecil. Tunjukkan padanya bahwa Ayah dan Bunda bersimpati sekaligus siap membantunya. Ia perlu tahu bahwa Bunda dan Ayah selalu berada di sisinya untuk memberikan dukungan yang ia butuhkan.
Kunci untuk mengatasi rasa takut dan cemas adalah dengan menghadapinya, bukan menghindarinya. Pastikan Ayah dan Bunda menyampaikan pada Si Kecil bahwa tidak ada yang harus ia takuti, ia dalam keadaan aman, dan semuanya akan baik-baik saja. Rasa nyaman lama kelamaan akan meningkatkan pertahanan mentalnya dan ia pun akan bisa mengalahkan ketakutannya.
Pernahkah Anda meninggalkan anak hanya beberapa saat ke dapur atau kamar mandi, tapi anak sudah menangis kencang? Hal ini sebenarnya sangat wajar terjadi, khususnya pada bayi atau balita. Namun, pada tingkatan yang sudah parah, kondisi ini dikenal sebagai separation anxiety disorder. Simak penjelasan mengenai kondisi tersebut di bawah ini.
Apa yang dimaksud dengan separation anxiety disorder?
Separation anxiety disorder (SAD) adalah salah satu gangguan kecemasan yang umumnya terjadi pada anak-anak. Sebenarnya, wajar jika anak merasa sedih saat harus berpisah dengan orangtua, khususnya saat masih bayi atau balita.
Namun, seiring berjalannya waktu, sebagian besar anak sudah mulai terbiasa jika harus berpisah dengan orangtua dan bisa menyesuaikan diri dengan kondisi. Biasanya, kondisi ini sudah tidak lagi terjadi saat anak memasuki usia tiga tahun.
Oleh sebab itu, jika sudah berusia tiga tahun atau lebih dan anak masih merasa sedih hingga menangis meraung-raung setiap kali harus berpisah dengan orangtua, mungkin ia mengalami separation anxiety disorder.
Jenis gangguan kecemasan yang satu ini ditandai dengan anak yang cemas, gelisah, hingga merasa sedih dan menangis jika harus berpisah dengan orangtuanya. Bahkan, kondisi ini bisa mengganggu aktivitasnya di sekolah dan berbagai aktivitas sehari-hari lainnya. Anak juga berpotensi mengalami serangan panik akibat SAD.
Meski sering kali terjadi pada anak-anak, bukan berarti remaja dan orang dewasa tidak bisa mengalaminya. Maka itu, segera periksakan kondisi kesehatan ke dokter jika mengalami beberapa gejala dari separation anxiety disorder.
Gejala separation anxiety disorder yang sering muncul
Saat mengalami SAD, anak biasanya merasakan kecemasan yang berlebihan jika harus berpisah dengan orangtua atau pengasuh yang sangat dekat dengannya. Meski kondisi ini mungkin tergolong wajar pada bayi dan balita, bukan berarti kondisi ini harus dibiarkan begitu saja.
Oleh karena itu, ada beberapa gejala SAD pada anak yang mungkin perlu Anda perhatikan agar bisa lebih waspada, seperti:
- Tidak bisa berpisah dengan orangtua dan selalu menangis jika ditinggal pergi.
- Takut dan khawatir akan ada hal buruk yang akan terjadi pada anggota keluarganya jika berpisah.
- Selain menangis, anak mungkin akan marah dan tantrum setiap berpisah dengan orangtua.
- Selalu ingin tahu ke mana orangtuanya akan pergi, dan selalu menelpon dan mengirim pesan singkat setiap berpisah.
- Ikut ke mana pun salah satu orangtuanya pergi, meski sama-sama berada di dalam rumah.
- Sering mengalami mimpi buruk yang berkaitan dengan hal buruk yang terjadi pada keluarga.
- Muncul gejala fisik seperti sakit perut, sakit kepala, hingga pusing.
- Sering bolos sekolah dan tidak mau diajak bermain dengan teman.
Apa penyebab dari separation anxiety disorder?
Ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab terjadinya separation anxiety disorder pada anak seperti berikut:
1. Perubahan pada lingkungan di sekitarnya
Saat Anda membawa anak pindah ke rumah yang baru atau memindahkannya ke sekolah lain yang baru, anak mungkin merasa tidak familiar dengan suasana dan lingkungannya. Hal ini bisa memicu timbulnya SAD.
2. Stres akibat kondisi tertentu
Pada kondisi-kondisi tertentu, anak juga bisa merasa stres dan tertekan. Sebagai contoh, saat anak harus mengikuti Anda sekeluarga pindah keluar kota sehingga ia harus pindah sekolah.
Selain itu, perceraian orangtua atau anggota keluarga terdekat yang meninggal dunia juga bisa menyebabkan stres pada anak, sehingga memicu terjadinya separation anxiety disorder.
3. Orangtua yang terlalu protektif
Sebagai orangtua, Anda tentu ingin melindungi dan mengawasi anak 24 jam dalam sehari. Namun, sikap overprotektif seperti ini bisa memengaruhi rasa cemas dan takut berlebihan yang dirasakannya. Ya, saat terlalu khawatir berlebihan padanya, anak juga bisa merasakan hal yang sama saat harus berpisah dengan Anda.
Bagaimana cara mengatasi separation anxiety disorder?
Jangan khawatir, karena ternyata ini masih bisa diatasi, baik dengan bantuan dokter atau ahli terapi, maupun dengan bantuan Anda sebagai orangtua. Berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi separation anxiety disorder:
1. Mendengarkan dan membicarakan rasa takut yang dialami anak
Sebagai orangtua, Anda perlu menjadi pendengar yang baik untuk anak. Sebaiknya, hindari untuk meremehkan perasaan takutnya, dan alih-alih menghargai perasaan tersebut. Dengan begitu, anak akan merasa dihargai dan didengarkan. Hal tersebut bisa membantu memberikan dukungan emosional untuk sang anak.
Selain itu, cobalah untuk mengajak anak berdiskusi mengenai perasaan takut yang mereka miliki. Jadilah orangtua dengan perasaan empati terhadap anak sehingga anak tidak merasa sendiri dalam kondisi yang tidak menyenangkan baginya.
2. Mengantisipasi masalah yang muncul saat terpaksa berpisah dengan anak
Setelah beberapa kali menghadapi anak saat mengalami separation anxiety disorder, cobalah untuk mengantisipasi permasalahan yang mungkin muncul.
Sebagai contoh, saat hendak mengantarkan anak ke sekolah yang baru. Di antara Anda dan pasangan, dengan siapa anak merasa lebih mudah untuk mengalami perpisahan? Jika anak lebih susah berpisah dengan Anda, mintalah pasangan untuk mengantarkannya ke sekolah.
Selain itu, menurut HelpGuide, anak akan lebih tenang jika orangtua yang hendak berpisah dengannya juga tenang. Maka itu, hindari menangis atau terlihat sedih dan khawatir saat harus berpisah dengan anak.
3. Melakukan terapi psikologi (psikoterapi)
Kondisi ini bisa diatasi dengan menjalani terapi psikologi. Terkadang, terapi ini juga didampingi dengan penggunaan obat-obatan antidepresan seperti selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi gejala yang muncul saat anak mengalami SAD.
Salah satu jenis psikoterapi yang bisa dipilih adalah terapi kognitif dan perilaku (cognitive behavioral therapy). Saat menjalani terapi ini, anak bisa belajar bagaimana menghadapi dan mengelola rasa takut tentang perpisahan atau ketidakpastian.
Tak hanya itu, orangtua yang mendampingi dalam proses terapi juga bisa belajar bagaimana memberikan dukungan emosional pada anak secara efektif, sekaligus mendorong anak agar bisa lebih mandiri sesuai dengan usianya.
Referensi sebagai berikut ini ;