Abu Utsman berkata, “ciri orang yang benar-benar mempunyai rasa takut kepada Allah swt adalah menahan diri dari dosa yang tampak dan tersembunyi. Karena itu, sejatinya seorang manusia terlebih mukmin harus selalu waspada, tidak boleh merasa aman, tidak terlena dengan kebahagiaan, dan tertipu oleh amal kebaikannya yang banyak.” Maka manusia, melalui firman-Nya Allah swt mengingatkan kita dalam Q.S. al-Mulk 67: 16-18 bahwa jangan pernah merasa aman atas kebaikan dan kemaksiatan yang telah kita perbuat.
Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang? Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan mengirimkan badai yang berbatu kepadamu? Namun kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku. Dan sungguh, orang-orang yang sebelum mereka pun telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka betapa hebatnya kemurkaan-Ku! (Q.S. al-Mulk [67]: 16-18)
Tafsir Surah Al Mulk Ayat 16-18 sbb :
Dalam ayat ini, Allah Swt memperingatkan orang-orang kafir mengenai azab yang akan menimpa mereka, apabila tetap dalam kekafiran. Peringatan ini Allah berikan karena mereka seakan-akan merasa aman, nyaman dan terhindar dari azab Allah, bahkan merasa jumawa, mengklaim telah mendapat rahmat Allah, yaitu kesenangan duniawi yang mengelilingi mereka. Sedangkan pada ayat selanjutnya (ayat 17), Kemenag RI menafsirkannya dengan kisah kaum terdahulu yang diazab oleh Allah swt, seperti azab yang menimpa kaum Nabi Luth sebab mendustakan ajarannya. Dari kisah itu pula, orang-orang kafir memperhatikan betapa menderita umat terdahulu yang mendustakan Allah Swt dan nabi-Nya. Pada saat yang bersamaan, manusia juga akan menyaksikan betapa dahsyat azab-Nya, namun pengetahuan manusia saat itu tidak ada gunanya. Mereka semua baru menyesali perbuatannya tatkala azab itu datang menimpa.
Sedangkan Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menafsiri redaksi man fis sama’ pada ayat 16 dengan sulthanihi wa qudratihi (raja dan kekuasaannya). Adapun faidza hiya tamur, ditafsirkan dengan tataharraka bikum wa tartafi’a fauqakum (bumi bergerak atau terjadi gempa dan menindih kalian). Pada ayat selanjutnya, ayat 17 tepatnya pada redaksi yursila ‘alaikum hashiban dengan riihan tarmiikum bil hashba’ (angin dahsyat yang menghujani kalian dengan batu). Sedangkan fasata’lamuna kaifa nadzir menunjukkan bahwa azab Allah itu benar adanya, tidak sekadar ancaman atau gertakan belaka.
Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas bahwa redaksi man fis sama’ bisa diartikan malaikat, dan Allah Swt. Sebab mengapa Allah Swt disebut langit di atas? Analoginya, lazimnya orang yang berada di atas menguasai yang di bawahnya. Begitu pula Allah, Ia Maha Tinggi, Ia menguasai segala sesuatu yang berada di bawah-Nya (kekuasaan-Nya). Maka kita membutuhkan rasa aman dari-Nya. Sebab ada hukum-hukum alam (sunnatullah) yang ditetapkan oleh Allah swt yang atas izin-Nya sewaktu-waktu bisa meluluhlantakkan kehidupan kita. Karenanya janganlah kemudian kita merasa aman yang menimbulkan kelengahan dan keterlenaan, bagi Allah swt mudah saja menimpakan gempa bumi, memberi azab dan sebagainya. Itulah yang dikandung dalam ayat 16 dan 17. Sedangkan pada ayat ke-18, Quraish Shihab menandaskan bahwa orang-orang sebelum kamu yakni kaum musyrik Mekah, hendaknya kalian ambil hikmahnya bagaimana Allah swt menjatuhkan sanksi kepada mereka, agar kalian tidak jatuh dalam lubang yang sama.
Jangan Pernah Merasa Aman dari Allah Swt, Orang yang dikehendaki oleh Allah Swt mendapat petunjuk dan kebaikan-Nya, di dalam hatinya diletakkan kepekaan, kehati-hatian dan selalu mawas diri. Sehingga ia tak pernah merasa aman dari azab Allah Swt. Ia tak merasa aman dari kesalahan dan kekhilafan. Ia tak pernah merasa aman dari kekurangan dan kelemahan. Karena itu, ia selalu berintrospeksi diri apakah setiap perkataan dan perbuatannya sudah benar ataukah sebaliknya. Selalu waspada dari godaan setan serta mengharap pertolongan Allah Swt.
Hatim al-Asham mengingatkan kepada kita bahwa janganlah kalian tertipu oleh kedudukan yang mulia, sebab sungguh tidak ada tempat terbaik kecuali surga dan ridha-Nya. Jangan pula tertipu dengan banyaknya ibadah, sebab iblis pun lebih banyak amal ibadah namun kini ia menjadi makhluk terlaknat. Dan jangan pula tertipu dengan banyaknya ilmu, karena sesungguhnya banyak orang yang berilmu yang melupakan ilmunya.
Hikmah yang bisa kita petik dari kisah ini adalah jangan pernah merasa aman dengan rahmat Allah Swt, sehingga menyebabkan kita enggan dan meninggalkan amal saleh. Tapi ingat, jangan pula pernah merasa ujub (berbangga diri) dengan kuantitas amalan. Sebab, tidak ada keimanan dan ketaatan yang menyebabkan seseorang masuk surga melainkan karena rahmat Allah Swt, Wallahu A’lam.
Referensi sebagai berikut ini :