Sabtu, 16 Juli 2022

Hukumnya Menerima Sedekah dari Uang Haram

Hukumnya Menerima Sedekah dari Uang Haram.Zakat merupakan kewajiban yang termasuk dalam rukun Islam dan sedekah merupakan sunah yang sangat dianjurkan. Berzakat dan sedekah yang dikeluarkan oleh setiap muslim hendaknya diambil dari rezeki yang halal.

Lalu bagaimana jika seseorang terlanjur mendapatkan uang haram karena keterlibatan dalam bisnis yang sebetulnya dilarang oleh agama dan negara? Atau bisa saja seseorang menerima uang dari bisnis haram tersebut tanpa mengetahui asal usul dari uang tersebut.

Ustadz Dasad Latif menjelaskan kaidah terkait uang haram.

"Uang yang didapat dari menang lotre/judi, dari bisnis prostitusi, kemudian ia membangun masjid maka yang demikian itu ditolak, karena Allah Swt maha suci dan hanya menerima yang suci"

Dalam hadits yang disebutkan dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik)." (HR. Muslim no. 1015).

Lalu jika seseorang atau lembaga sebagai penerima sedekah, apakah harus meneliti terlebih dahulu runutan harta yang disedekahkan oleh seseorang tersebut, didapat dari yang haram, halal atau syubhat.

"Dalam kondisi lain, jika kita tidak tahu bahwa uang itu adalah uang panas, misalnya kita diberi hadiah atau sedekah dari orang yang ternyata berbisnis di dunia hitam. Selama kita tidak tahu menggunakan harta tersebut tidaklah sebuah dosa," papar Dasad Latif.

Selanjutnya perihal pemberi sedekah adalah orang yang sudah dikenal sebagai orang dengan citra buruk yang dekat dengan rezeki haram, apa yang harus dilakukan oleh seseorang atau lembaga penerima sedekah?

"Ada ulama mengatakan bahwa sekalipun kita tahu bahwa itu adalah uang panas, jika ada yang bersedekah, maka putuslah ke haramannya saat ia bersedekah." Ujar Dasad Latif.

"Tetapi mayoritas ulama mengatakan, jika sudah mengetahuinya, hendaknya ditolak." Imbuhnya.

Di tengah antara yang haram dan halal ada yang diistilahkan harta syubhat. Yang termasuk uang syubhat diantaranya adalah uang yang ditemukan dipinggir jalan atau di suatu tempat, uang hasil undian, uang hasil pemberian yang orang tersebut tidak meyakini bahwa ini uang halal. Apa hukumnya uang tersebut?

"Uang syubhat dapat dibersihkan dengan zakat dan sedekah," katanya.

"Tetapi jika uang hasil temuan, hendaknya diumumkan terlebih dahulu secara meluas. Jika tidak ada yang mengambil lebih baik disedekahkan semuanya, niatkan pahalanya untuk si pemilik uang, dan kita yang menemukan tentu juga mendapat pahala bersedekah." Tambahnya.

Sedangkan uang haram, Ustadz asal Makassar ini menjelaskan tidak ada toleransi untuk membersihkannya dengan zakat dan sedekah.

Uang yang peroleh secara haram tidak bisa dibersihkan dengan cara sedekah kecuali membersihkannya dengan api neraka.

Rasulullah SAW bersabda:

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ.

Artinya : "Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka." (HR. Tirmidzi No. 614).

Untuk itu Ust. Dasad Latif menganjurkan untuk segera bertaubat dengan 5 langkah berikut ini.

1- Mengucapkan istighfar (Astaghfirullah)

2- Mengakui perbuatannya

3- Tidak akan mengulanginya

4- Ganti dengan kebaikan (zakat dan sedekah)

5- Kembalikan jika berkaitan dengan harta, "contoh, jika motor yang didapat dari yang haram, walaupun kita bertaubat, tapi motornya masih digunakan, tetap saja ada dosa yang mengalir. Untuk itu segera kembalikan!" Terangnya.

Bertaubat merupakan cara yang paling benar untuk hidup tenang di kemudian hari.

"Jika kita bertaubat, harta yang sudah kita dapat dengan cara yang batil, harus kita berikan kepada orang yang berhak." 

Hukum Menggunakan Uang Haram Dalam Islam + Dalil Al Quran & Hadist

Islam mengajarkan setiap pemeluknya untuk terikat dengan hukum syariat. Termasuk juga soal penggunaan uang. Karena kehidupan saat ini tidak berlandaskan pada aturan Islam, maka uang yang haram banyak beredar di masyarakat. Seperti uang hasil riba yang tidak di inginkan dan sebagainya. Dalam artikel ini, akan dibahas bagaimana pandangan menurut islam memanfaatkan atau memakai uang haram tersebut dalam pandangan Islam. Simak penjelasannya di bawah ini.

Di tengah-tengah masyarakat beredar suatu pandangan yang membolehkan penggunaan uang riba, asalkan digunakan untuk membangun masjid, membantu anak yatim, membangun jalan umum; untuk bea siswa; untuk membantu permodalan ekonomi kecil dan menengah; untuk keperluan kaum dhuafa, dan sejenisnya. Alasan mereka, daripada bunga riba itu dimanfaatkan oleh orang non-Muslim, lebih baik diambil oleh kaum Muslim dan digunakan untuk kebaikan. Benarkah pemahaman semacam ini?

Jawab:

Dari pertanyaan tersebut tersirat dua topik terpisah. Pertama, hukum tentang perolehan uang yang berasal dari aktivitas riba dan yang sejenisnya. Kedua, apakah penggunaan harta yang berasal dari aktivitas pertama dibolehkan jika digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat?

Mengenai perolehan harta melalui aktivitas riba, keharamannya telah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Allah Swt. berfirman:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah telah menghalalkan jual-beli, dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah [2]: 275).

Transaksi riba itu lebih dari tujuh puluh macam jenisnya (sesuai penjelasan hadis Rasulullah saw.). Salah satunya adalah riba ‘bunga bank’. Allah Swt. Juga berfirman:

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil. (QS al-Baqarah [2]: 188).

Artinya, janganlah kalian mengelola dan memperoleh harta kekayaan melalui jalan yang batil, yaitu jalan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Harta yang diperoleh melalui jalan yang batil antara lain adalah harta hasil perjudian, hasil pencurian, hasil perampokan, hasil pemalakan, hasil suap, hasil korupsi, hasil penggelapan, dan sejenisnya; atau hasil dari aktivitas ekonomi/perdagangan yang di dalamnya mengandung unsur penipuan, gharar, dan ketidakjelasan (majhul). Sebab, semua perolehan itu tidak disyariatkan.

Jika banyak orang berdalih bahwa aktivitas perolehan harta tersebut syar‘î, maka ia harus memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun dari aktivitas pengelolaan dan pengembangan harta (tasharufât al-mâl) yang islami, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam kitab-kitab fikih Islam; entah itu melalui jual beli (al-bay‘), pinjaman (murâbahah atau qardh), bagi hasil (syirkah), upah dari gaji (ujrah dari akad ijârah), hasil komisian (samsarah), hasil pertukaran (sharf), hasil gadai (ar-rahn), dan seterusnya. Jika tidak, hal itu hanyalah akal-akalan agar bentuk/jenis transaksinya sama dengan transaksi jual beli, padahal hakikatnya riba. Kiranya benar sinyalemen Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan al-Awja‘i dan dikutip Ibn al-Qayyim:

يَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الرِّبَا بِاِسْمِ الْبَيْعِ

Akan datang suatu zaman di tengah-tengah manusia dimana mereka menghalalkan transaksi riba dengan nama jual beli (perdagangan). (HR Ibn Bithah).

Dengan demikian, bisa dimasukkan pula ke dalamnya adalah harta yang diperoleh dengan cara yang diharamkan, baik itu melalui menari sebagai penari latar dengan cara vulgar di depan umum, berjoget dan bernyanyi; sebagai model perempuan yang berlenggang–lenggok di cat walk dan disaksikan kaum lelaki; sebagai aktor/artis film-film yang mengumbar syahwat; demikian pula para perempuan pendamping tamu di bar, kafe, atau tempat biliar, dan sejenisnya. Semua itu adalah contoh perbuatan-perbuatan yang hasil upahnya diharamkan, karena tindakan atau transaksi yang dilakukannya tidak dibenarkan secara syar‘î.

Adanya dalih, ‘daripada dimanfaatkan oleh orang-orang non-Muslim’ juga tidak bisa diterima. Sebab,  halal atau haramnya sesuatu tidak diukur berdasarkan adanya maslahat atau adanya mafsadat pada suatu perkara menurut akal manusia, melainkan didasarkan pada teks-teks nash yang tertera pada al-Quran atau pada as-Sunnah. Yang berhak menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hanyalah Allah dan Rasul-Nya, bukan akal pikiran dan hawa nafsu manusia.

Jadi, harta perolehan dari aktivitas riba dan yang semacamnya, tetap keharamannya. Tidak boleh diambil, apa pun penggunaan dan keperluannya, karena harta tersebut adalah harta yang telah diharamkan!

Lalu, jika harta tersebut digunakan untuk amal kebaikan, apakah statusnya tidak berubah? Jawabnya, tetap haram. Artinya, niat baik tidak bisa melepaskan perkara yang jelas-jelas keharamannya.  Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ جَمَعَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ

Barangsiapa yang mengumpukan harta dari jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya. (HR Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, dan al-Hakim).

Hadis Rasul ini dengan tegas menunjukkan bahwa apa pun motivasinya, walau untuk kebaikan,  harta yang diperoleh melalui jalan yang haram tetap kedudukannya (maupun penggunaannya) haram juga!

Perbuatan baik (‘amal hasan) adalah amal perbuatan yang dilakukan hanya dengan membalut keikhlasan kepada Allah dengan kesesuaian amal perbuatan tersebut dengan ketentuan hukum syariat. Amal baik tetapi tidak dilakukan dengan keikhlasan tidak akan diterima. Sebaliknya, amal baik yang disertai dengan keikhlasan namun tidak dijalankan sesuai dengan syariat Islam juga tidak diterima.

Berbagai dalih yang disampaikan ke tengah-tengah masyarakat untuk membolehkan penggunaan ‘uang haram’ hanyalah rekaan dan buatan manusia, yang bersandar pada adanya maslahat/manfaat sekilas yang bisa dijangkau oleh akal. Tidak jarang, hawa nafsu manusia turut terlibat di dalamnya. Padahal, telah jelas pula bagi kita bahwa akal manusia tidak memiliki otoritas untuk menetapkan apakah suatu benda atau perbuatan tertentu itu halal atau haram. Mereka mengira bahwa apa yang telah dilakukannya itu adalah kebaikan di sisi Allah, meski berasal dari harta yang telah diharamkan. Mahabenar firman-Nya:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً(103)الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS al-Kahfi [18]: 103-104).

Dengan demikian, orang yang menghalalkan harta perolehan dari riba, atau yang sejenisnya untuk keperluan kebaikan, sama saja dengan menempatkan posisinya sama seperti Tuhan, yang memiliki otoritas untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Orang semacam ini menyangka bahwa apa yang dilakukannya itu bisa membawa kebaikan dan manfaat bagi dirinya, umat Islam, dan kebaikan bagi agamanya; padahal ia telah terjerumus ke dalam jurang kehancuran dan kerugian

stilah Alquran Hadits untuk Menyebutkan Uang Haram

Uang haram dalam Alquran dan hadits mempunyai istilah tersendiri. Akan tetapi, secara penggunaannya, uang haram tersebut secara garis besar memiliki persinggungan sama yaitu, uang yang dihasilkan dengan cara yang tak halal dan dari sumber yang tak halal pula.

Dalam kitab Zad al-Ma'ad, Ibn al-Qayyim al-Jauzi, menukil suatu riwayat tentang uang haram. Diceritakan, Abdullah ibn Rawahah diutus oleh Nabi untuk memungut zakat di lingkungan penduduk (Yahudi) Khaibar. Mereka bermaksud menyuap Abdullah. 

Terang saja Abdullah marah dan menolaknya, seraya berkata, ''Apakah kalian mau memberi makan saya uang haram? Janganlah kecintaanku kepada Rasul dan kebencianku kepada kalian membuatku berlaku tidak adil,'' sambungnya lagi. Mereka mngangguk dan berkata, ''Sikap adil adalah kekuatan yang membuat langit dan bumi tetap tegak.''

Dalam riwayat di atas, uang haram itu dinamai al-suht, dari kata sahata, yashut yang berarti al-haram atau sesuatu yang tak ada kebaikan di dalamnya (al-ladzi la yubarak fih). Kata al-suht, menurut pakar bahasa al-Farra' bermakna 'lapar' atau 'kelaparan' (syiddat al-ju'). 

Ungkapan rajulun mashut menunjuk pada orang yang kelaparan yang makan apa saja, ia tidak pernah kenyang. Orang yang kelaparan cenderung mengambil dan makan apa saja secara membabi buta. 

Kata al-suht, menurut pakar tafsir Ibn 'Asyur, mencakup semua uang atau pendapatan yang diperoleh secara tidak halal, seperti riba, suap, makan harta anak yatim, dan barang-barang hasil curian (al-maghshub). Yang paling besar dan paling buruk dari semua itu adalah suap (risywah). 

Rasulullah SAW pernah ditanya tentang makna al-suht. Jawabnya, ''Al-Risywah fi al-hukm (uang suap (sogokan) dalam bidang hukum atau dunia peradilan.'' (Ibn Jaririr dari Umar ra). 

Alquran juga mengingatkan bahwa uang haram itu, seperti halnya riba, tak ada kebaikan di dalamnya, yakni mamhuq (QS Al-Baqarah [2]: 276) dan mendatangkan siksa bagi tuannya. 

Dalam salah satu fatwanya, Jadul Haqq Ali Jadul Haqq, mantan Syaikh al-Azhar, mengingatkan kaum Muslim agar menjauhkan diri dari uang haram (al-suht). 

Caranya, kita mula-mula harus meninggalkan kebiasan buruk, mencari harta dengan cara-cara yang tidak halal seperti korupsi, manipulasi, dan melakukan praktik suap. ''Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian harta yang lain di antara kamu dengan cara yang batil.'' (QS al-Baqarah [2]: 188).  

Seperti diterangkan dalam Alquran dan juga dalam banyak hadis, uang haram (al-suht) dan yang sejenis itu akan diperlihatkan oleh Allah kelak di akhirat. Firman-Nya, ''Barangsiapa berkhianat (korupsi), maka ia akan datang (menghadap Tuhan) membawa hasil korupsinya itu di hari kiamat.'' (QS Ali Imran [3]: 161)  


Referensi sebagai berikut ini ;