Rabu, 27 Juli 2022

Agar Sabar Menghadapi Gangguan

Ada beberapa hal yang bisa membantu seorang hamba untuk bersabar menghadapi gangguan dari orang lain .

Menyadari bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan perbuatan para hamba

Perbuatan hamba, baik gerak, diam, maupun keinginannya, semua adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki pasti terjadi, sedangkan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi. Tidak ada hal sekecil apa pun yang bergerak, di alam yang tinggi dan yang rendah, kecuali dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala dan kehendak-Nya. Para hamba adalah alat.

Karena itu, pandanglah kepada Dzat yang menguasakan mereka atas diri Anda, jangan Anda lihat perbuatan mereka terhadap Anda. Dengan demikian, Anda akan bisa terlepas dari kecemasan dan kesedihan.

Menyadari dosa-dosanya

Hamba mengakui dosa-dosanya dan mengakui pula bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya akibat dosa yang diperbuatnya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ ٣٠

“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura:30)

Apabila hamba mempersaksikan bahwa dia ditimpa oleh segala hal yang tidak disukai akibat dosa-dosanya, ia akan menyibukkan diri dengan bertobat dan memohon ampunan atas dosa-dosa yang menyebabkan Allah subhanahu wa ta’ala menguasakan mereka atas dirinya tersebut. Dia tidak lagi (memiliki waktu) untuk mencela, mengecam, dan mencaci maki mereka.

Apabila Anda melihat seorang hamba mencaci maki orang yang menyakitinya, tidak mau berintrospeksi dan mencela dirinya sendiri, serta tidak memohon ampunan, ketahuilah bahwa musibah yang menimpanya adalah musibah yang sejati.

Apabila si hamba bertobat dan memohon ampunan seraya berkata bahwa hal ini disebabkan dosa-dosanya, gangguan manusia tersebut berubah menjadi kenikmatan baginya.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengucapkan sebuah kalimat yang indah, “Seorang hamba hendaknya tidak berharap selain kepada Rabbnya, dan tidak khawatir kecuali terhadap dosanya.”

Diriwayatkan pula dari beliau radhiallahu ‘anhu dan yang selainnya, “Tidaklah terjadi sebuah bencana kecuali karena dosa, dan tidak akan dihilangkan bencana itu kecuali dengan tobat.”

karat-terkelupas

Menyadari pahala yang baik yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala terhadap orang yang memaafkan dan bersabar.

Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ٤٠

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim.” (asy-Syura: 40)

Dalam hal menghadapi gangguan orang lain, manusia terbagi menjadi tiga golongan:

Zalim; dia mengambil lebih banyak daripada haknya.

Pertengahan; dia mengambil sebatas haknya.

Berbuat baik; dia memaafkan dan tidak mengambil haknya.

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tiga golongan ini dalam ayat di atas. Awal ayat (Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa) untuk golongan yang pertengahan; pertengahan ayat (barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas [tanggungan] Allah) untuk golongan yang berbuat baik; dan akhir ayat (Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang lalim) untuk golongan yang zalim.

Selain itu, dia menyadari pula seruan sang penyeru pada hari kiamat,

لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ

“Berdirilah orang yang telah Allah pastikan pahalanya.”1

Tidak ada yang berdiri (menyambut seruan itu) selain orang yang memaafkan dan melakukan perbaikan.

Jika bersamaan dengan itu dia mempersaksikan bahwa pahalanya akan hilang apabila dia menyiksa dan membalas (gangguan tersebut), akan mudah baginya bersabar dan memaafkan.

Menyadari bahwa jika hamba memaafkan dan berbuat baik, hal itu akan mewariskan keselamatan kalbunya terhadap saudaranya.

Selain itu, hal ini akan membersihkan kalbu dari niat buruk, rasa dendam, ingin menuntut balas, dan berbuat jahat, sekaligus mendapatkan manisnya pemaafan.

Pemaafan tersebut berlipat ganda lebih lezat dan lebih bermanfaat di dunia dan di akhirat daripada manfaat yang didapat jika dia membalas gangguan orang. Dia pun akan masuk dalam (golongan yang disebutkan oleh) firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤

“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)

Dia akan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Keadaannya seperti seseorang yang dirampas darinya uang satu dirham lantas diganti dengan ribuan dinar. Ketika itulah dia akan sangat gembira dengan anugerah Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya. 

Mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang membalas (gangguan orang lain) karena kepentingan pribadinya kecuali akan mewariskan kehinaan dalam jiwanya.

Apabila dia memaafkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakannya. Inilah yang dikabarkan oleh ash-Shadiqul Mashduq (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dalam sabdanya,

مَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا

“Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menambah kepada hamba dengan pemaafan selain kemuliaan.”2

Kemuliaan yang didapatkan seorang hamba dengan sebab pemaafan lebih dia sukai dan lebih bermanfaat baginya daripada kemuliaan yang didapatkan dengan sebab membalas. Kemuliaan yang seperti ini hanyalah secara lahir, namun mewariskan kerendahan dalam batin. Adapun pemaafan memang terasa rendah dalam batin, tetapi mewariskan kemuliaan lahir dan batin. 

Faedah terbesar: menyadari bahwa balasan itu sesuai dengan amalan, dan bahwa dirinya sendirilah yang zalim dan berdosa.

Dia juga mempersaksikan bahwa siapa yang memaafkan orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkannya; siapa yang mengampuni (kesalahan) orang lain, Allah subhanahu wa ta’ala pun akan mengampuninya.

Apabila hamba mempersaksikan bahwa perbuatan memaafkan dan berbuat baik kepada mereka yang berbuat jelek kepadanya akan menyebabkan dirinya dibalasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana amalannya. Allah subhanahu wa ta’ala akan memaafkan, tidak mengungkit, dan berbuat baik kepada dirinya meskipun dirinya berdosa; menjadi mudah baginya memaafkan orang dan bersabar atas gangguannya.

Cukuplah faedah ini bagi orang yang berakal. 

Mengetahui bahwa apabila dirinya sibuk menuntut balas, waktunya akan sia-sia, kalbunya akan tercerai berai, dan akan luput darinya sekian banyak kebaikan yang tidak bisa dia raih.

Bisa jadi, (musibah) ini lebih berat daripada musibah yang dia dapatkan akibat gangguan orang. Apabila dia memaafkan dan tidak menolehnya lagi, kalbu dan badannya lapang untuk menggapai berbagai maslahat yang lebih penting baginya daripada membalas.

Perbuatannya membalas, mengambil haknya, dan membela, dilakukan untuk kepentingan pribadinya.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekali pun membalas karena kepentingan pribadi beliau. Demikianlah keadaan makhluk-Nya yang terbaik dan termulia, tidak pernah membalas demi kepentingan pribadinya. Padahal menyakiti beliau berarti menyakiti Allah subhanahu wa ta’ala dan terkait dengan hak-hak agama.

Di samping itu, pribadi beliau adalah jiwa yang paling mulia, paling suci, paling berbakti, paling jauh dari segala akhlak tercela, dan paling berhak memiliki segenap akhlak mulia. Meski demikian, beliau tidak pernah membalas demi kepentingan pribadi.

Lantas, bagaimana bisa salah seorang dari kita membalas demi kepentingan pribadinya, padahal dirinya paling tahu tentang jiwanya dan berbagai kejahatan serta aibnya sendiri?

Orang yang arif menganggap pribadinya tidak bernilai hingga pantas membalas. Dia pun menilai pribadinya tidaklah berharga hingga pantas untuk dibela.

Referensi sebagai Berikut ini ;