Keberanian Salit bin Qais tidak kurang dari Musanna. Dengan demikian pasukan Muslimin yang masih ada dapat menyeberang ke Marwahah. Musanna tidak beranjak di tempatnya tanpa menghiraukan luka-luka yang dideritanya.
Banyak yang Terbunuh
Musanna tetap waspada adanya kemungkinan pasukan Bahman Jadhuweh, komandan perang tentara Persia, masih akan membuntutinya. Oleh karenanya, cepat-cepat ia dan pasukannya meluncur turun dari Marwahah ke Hirah, kemudian terus menyusur ke selatan menuju Ullais. Pengejarannya ini sudah diperhitungkannya seribu kali.
Tetapi mata Abu Ubaid yang sudah tertutup oleh kedudukan dan oleh besarnya jumlah orang, sehingga ia terdorong ingin menyeberangi sungai itu sampai akhirnya dia sendiri menemui ajalnya dan sekaligus menjerumuskan Muslimin ke dalam malapetaka, rupanya masih akan melindungi Musanna.
Kedua pasukan inilah yang mengejar Musanna dengan anggapan bahwa mereka mampu menghadapinya. Mengenai berita-berita sekitar Persia oleh penduduk Ullais disampaikan kepada Musanna. la dan pasukannya disertai sejumlah besar penduduk Ullais segera bergerak, dan berhasil menawan Javan dan Mardan Syah. Mereka semua akhirnya dibunuh.
Dengan demikian Javan menemui ajalnya sebagai akibat pengkhianatannya kepada Abu Ubaid ketika ditawan di Namariq, ia pun dilindungi setelah meminta perlindungan kepada yang menawannya. Bahwa kemudian Javan berkhianat dan menyalahi janji
dengan memerangi kembali pihak Muslimin, maka hukuman mati ini sungguh adil sekali.
Sikap Umar
Pertama sekali pasukan Muslimin yang terlibat Perang Jembatan memasuki Madinah ialah Abdullah bin Zaid. Khalifah Umar bin Khattab melihatnya ketika ia memasuki Masjid. "Ada apa, Abdullah?" tanya Khalifah Umar kemudian. Abdullah melaporkan semua berita itu kepada Umar, tetapi Umar menerima berita itu dengan sikap tenang, tidak tampak sedih.
Kemudian menyusul datang mereka yang lari dari medan pertempuran itu ke Madinah dengan kepala menekur karena rasa malu atas kekalahan yang mereka alami sampai mereka melarikan diri itu. Yang lain, yang juga lari, mereka turun ke lembah-lembah karena malu akan menemui keluarga, yang akan menganggap mereka pengecut.
Melihat keadaan mereka Umar merasa kasihan. Ia berusaha menghibur dan membela mereka dari kritik dan kemarahan orang, dengan mengatakan: "Setiap Muslim sudah dibebaskan dari sumpahnya kepadaku. Saya adalah pasukan setiap Muslim. Barang siapa menjumpai musuh lalu merasa ngeri maka sayalah pasukannya. Saudara-saudara Muslimin, janganlah kalian bersedih hati! Saya termasuk pasukanmu dan kalian telah bergabung kembali kepada saya. Semoga Allah mengampuni Abu Ubaid! Sekiranya dia bergabung kepada saya niscaya sayalah pasukannya."
Ketika itu Mu'az penghafal Qur'an dari Banu Najjar termasuk yang melarikan diri ke Madinah dari pertempuran di jembatan itu. Dia menangis setiap membaca firman Allah ini: Barang siapa berbalik ke belakang hari itu kecuali untuk suatu muslihat perang atau mundur ke pasukan sendiri ia akan mendapat kemurkaan Allah, dan tempatnya adalah neraka, tempat kembali yang terburuk.
Untuk itu Umar berkata: "Mu'az, janganlah menangis. Saya pasukan Anda, Anda mundur berarti kembali kepada saya."
Sikap Umar terhadap mereka yang lari dan kembali ke Madinah sesudah mengalami kekalahan di jembatan, mengingatkan kita kepada sikap Rasulullah terhadap pasukan Muslimin yang kembali dari ekspedisi Mu'tah setelah perwira-perwira mereka terbunuh. Khalid bin Walid mulai menyusun siasat perangnya dengan anggota pasukan yang masih ada, -kemudian kembali ke Madinah tanpa dapat mengalahkan musuh. Penduduk Madinah berdatangan menaburkan tanah kepada pasukan itu seraya mengatakan: "Hai orang-orang pelarian! Kamu lari dari jalan Allah!"
Tetapi Rasulullah berkata: "Mereka bukan pelarian, tetapi orang-orang yang akan tampil kembali, insya Allah."
Tetapi mundurnya Muslimin di Mu'tah tidak seperti kehancuran Muslimin di jembatan itu, sangat mengerikan dan akibatnya buruk sekali. Juga sikap Umar tidak seperti sikap Rasulullah yang penuh kasih sayang dan lembah lembut. Sungguhpun begitu, Umar cukup belas kasihan kepada yang sudah mengalami malapetaka di jembatan itu, bahkan ia menempatkan diri sebagai pasukan mereka, di pihak mereka dan membela mereka.
Menurut Haekal, dengan memperlihatkan sikap kasih sayang itu, mereka dapat dibuat lebih tenang dan beban aib karena kekalahan itu terasa lebih ringan. Tidak heran, dia sudah menjadi pemimpin mereka, menjadi Amirulmukminin, ia harus bersikap penuh kasih dan lebih menyantuni mereka. Lebih-lebih belas kasihannya kepada kaum yang lemah, kendati terhadap kaum yang kuat ia tetap tegar dan keras, dan memperlihatkan tangan besi terhadap orang-orang yang zalim.
Demikian keadaan Umar dan mereka yang berbalik dari pertempuran Jembatan itu. Tetapi Musanna selama beberapa waktu masih bertahan di Ullais setelah Javan, Mardan Syah dan pasukannya dihancurkan. Sesudah beristirahat dan mengumpulkan pasukannya, pikirannya tercurah mengenai posisinya terhadap Irak dan nasib umat Islam di sana. Sudah tentu ini merupakan hal yang sungguh rumit.