Si pria alim itu pun kesal karena keinginannya tak kunjung terpenuhi. Hingga di suatu malam, ketika ibunya tidur, ia memutuskan untuk pergi. Ia pergi diam-diam tanpa pamit kepada sang ibu.
Saat pagi tiba, si ibu tak mendapati anaknya di rumah. Ia mencarinya ke mana-mana, namun anaknya tak ditemukan. Ia tahu, anaknya telah pergi tanpa izinnya. Kekhawatirannya pun berubah menjadi sakit hati. Menengadahkan tangan, si ibu berdoa,
“Ya Allah, anakku telah pergi tanpa izinku. Sakit rasanya hati ini. Karena itu, timpakanlah musibah kepadanya.”
Allahu akbar! Doa ibu selalu terijabah, meski di dalamnya terkandung perkara buruk sekalipun. Musibah jelek benar-benar menimpa si pria alim dengan segera.
Di perjalanan, si pria alim singgah di suatu masjid untuk beribadah. Tiba-tiba seorang pencuri masuk ke dalam rumah dekat masjid tersebut. Warga berteriak maling hingga masyarakat berkumpul mengejar maling tersebut.
Tak disangka-sangka, maling itu berhasil kabur dan meninggalkan jejak di sekitar masjid. Warga pun serta merta menuduh si pria alim yang telah melakukan pencurian. Pria itu pun diseret keluar masjid dengan paksa. Masyarakat tersulut emosi hingga main hakim sendiri.
Mereka lalu memotong kedua tangan si pria alim karena menganggapnya pencuri. Tak hanya itu, seorang warga lain pun mencongkel kedua mata si pria alim. Peristiwa mengerikan itu terjadi dengan cepat. Pengeroyokan dilakukan secara massal dengan kejam.
Kondisi si pria alim begitu mengenaskan. Ia menjadi cacat tanpa tangan lagi buta. Darah mengalir di mana-mana. Si pria alim hanya merintih kesakitan. Ia menyesali kepergiannya yang tak mendapat ridha ibunda.
Beberapa saat kemudian, para warga mendapati bahwa si pria alim bukanlah pencuri. Namun eksekusi telah terjadi. Mereka pun kemudian menyesalinya lalu merawat dan mengembalikan si pria alim ke rumahnya.
Di antar lah si pria alim pulang, sampai di depan rumahnya. Namun pria itu tak mampu melihat dan tak punya tangan. Ia ragu bahwa rumah yang diinjaknya adalah rumah ibunya yang ia tinggal pergi begitu saja. Si pria alim pun tak segera masuk ataupun memanggil ibunya. Ia memilih berpura-pura sebagai fakir.
Ia mengucapkan salam seraya berkata, “Wahai ibu yang menghuni rumah ini. Saya adalah musafir yang kelaparan. Berilah saya makanan sekedarnya.”
Suara wanita tua pun terdengar dari dalam, “Ulurkan tangan ke dalam pintu. aku akan memberikan makanan.”
“Saya tidak punya tangan,” ujar pria cacat itu.
“Lalu bagaimana cara saya memberikan makanan kepadamu?” tanya si wanita yang bukan lain adalah ibu si pria alim.
“Jika saya keluar rumah, maka haram hukumnya kita saling memandang yang bukan mahram,” tambahnya. “Tak perlu risau bu, saya tak punya mata untuk melihat.”
Jawaban itu pun membuat ibunda keluar. Si pria alim pun segera berlabuh ke hadapan ibunya.
“Ibu... saya adalah anak ibu yang pergi tanpa pamit. Saya adalah anak durhaka.”
Betapa terkejutnya sang ibu. Ia pun mengamati pria di hadapannya yang tak punya tangan dan mata. Ia pun makin terkejut ketika berhasil mengenalinya.
Air mata bercucuran dari pelupuk mata ibunda. Ia begitu berduka melihat kondisi putranya. Meski anaknya telah membuatnya kesal, si ibu tetap mencintai dan menyayangi putranya.
Begitu berdukanya si ibu hingga lisannya terlepas bicara memanjatkan doa, “Ya Allah, jika begini kondisinya, lebih baik cabutlah nyawa kami berdua agar tak ada orang yang melihat aib di wajah kami.”
Begitu mengerikan balasan dari uququl walidain atau durhaka kepada kedua orang tua. Kisah di atas mengajarkan bahwasanya ridha Allah ada pada ridha orang tua.
Si pria alim tak mendapat ridha ibunya hingga Allah pun tak meridhainya. Padahal alasannya durhaka sangatlah sederhana dan nampak baik, yakni ia ingin pergi ke kota Makkah untuk ibadah. Si pria alim merasa keinginannya benar hingga mengabaikan larangan ibunda. Namun jika orang tua tidak meridhainya, maka hal ibadah dapat menjadi dosa dan musibah.