Sebagaimana kita tahu, zina adalah perbuatan yang dilarang dalam agama. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita saling mengingatkan akan bahaya zina dan berusaha menghindarinya.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra:32).
Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam
Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla menjelaskan, anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya. Jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya. Tidak dinasabkan kepada lelakinya. Karena itu, Imam Ibnu Nujaim berpendapat bahwa anak hasil zina dan lian hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu.
Nasab anak lahir di luar nikah dari pihak bapak telah terputus, sehingga anak ini tidak mendapatkan hak waris apapun dari pihak bapak.
Sementara itu, kejelasan nasab anak lahir di luar nikah hanya melalui pihak ibu. Ia pun memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu. Ia mendapatkan bagian fardh (tertentu) tidak dengan jalan lain.
Meski demikian, anak lahir di luar nikah ini tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan kedua orang tuanya. Pezina dikenakan hukum an hadd oleh pihak berwenang untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh an-nasl).
“Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian, kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.” (QS al- Anam: 64).
pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman tazir kepada pezina yang mengakibatkan anak lahir di luar nikah. Pelaku zina diwajibkan mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut.
Memberikan harta setelah ia meninggal melalui washiyyah wajibah. Hukuman ini bertujuan untuk melindungi anak. Bukan untuk mengesahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Pendapat mayoritas mazhab fikih Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, tidak ada akibat hukum hubungan nasab.
Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam
Dan yang disyaratkan untuk sahnya kurban dan akikah adalah penentuan niat, bahwa hewan yang akan disembelih ini adalah diniatkan untuk berkurban, atau pun menunaikan akikah, tidak disembelih begitu saja tanpa niat. (Lihat: Al-Majmu’, karya An-Nawawi, Bab Sembelihan dan Bab Akikah).
Adapun penyebutan nama tertentu saat akikah, maka hukumnya hanyalah mustahab, dan tidak mempengaruhi keabsahan akikah tersebut, sebagaimana para ulama’ juga tidak pernah menaskan bahwa penyebutan nama merupakan syarat sah kurban atau pun akikah.
An-Nawawi –rahimahullah– mengatakan:
يُسْتَحَبُّ أَنْ يُسَمِّيَ اللهَ عِنْدَ ذَبْحِ العَقِيْقَةِ، ثُمَّ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ لَكَ وَإِلَيْكَ عَقِيْقَةُ فُلَانٍ.
“Dan di-mustahab-kan agar ia menyebut nama Allah ketika hendak menyembelih hewan untuk akikah, sembari mengatakan: Ya Allah, ini kupersembahkan akikahnya si fulan hanya diniatkan tulus untukMu.”
Adapun anak yang lahir di luar nikah, maka ada perincian dalam penisbahan nasabnya, apakah kepada sang ayah ataukah sang ibu. Perincian tersebut ditinjau dari status si wanita saat melahirkan si anak tersebut.
Jika si wanita dalam keadaan sudah menikah, maka para ulama sepakat bahwa si anak dinisbahkan kepada sang suami. Konsensus ini dinukil oleh beberapa ulama, di antaranya Ibn Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni. Dan ijmak ini berdasarkan sabda Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam– dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحَجْرُ
“Si anak dinisbahkan kepada (pemilik) ranjang/kasur (si suami), dan si pezina tidak mendapatkan apa-apa melainkan celaan dan kerugian.” Adapun jika si wanita saat itu belum menikah, maka ada silang pendapat dalam kondisi ini, namun yang kuat adalah bahwa si anak –baik anak laki-laki maupun anak perempuan- dinisbahkan kepada si ibu, bukan kepada si lelaki. Ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama, di antara mereka adalah Ibn Qudamah, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, dan Syaikh Al-Utsaimin.
Jadi kesimpulannya, akikah tersebut sah, dan tidak perlu diulang kembali. Dan jika terjadi pada kasus lainnya –wa-l iyaadzu billaah-, dan ingin diakikahkan dengan penyebutan nama si anak beserta nasabnya, maka ketentuannya seperti yang telah dijelaskan di atas.
Sebagai tambahan faidah, tidak diperkenankan menyebut anak yang lahir di luar nikah dengan “anak zina”, dan ia memiliki hak yang sama seperti anak-anak muslim lainnya yang lahir dengan ikatan pernikahan.
Referensi : Anak Lahir di Luar Nikah dalam Islam