Senin, 29 Agustus 2022

Ketentuan Hukum Talak (Bagian 4)


Ketentuan Hukum Talak (Bagian 4). Ayat (2 surah al-Thalaq) ini disambung dengan kalimat: 

وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

“Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa  yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.”

Berdasarkan lanjutan ayat ini, para ahli tafsir menegaskan bahwa baik pernikahan, perceraian maupun rujuk itu memerlukan dua orang saksi, tidak cukup rujuk itu hanya dengan ucapan seorang suami atau isyarat tertentu lainnya. Persaksian ini harus ditegakkan dalam kesadaran karena Allah.

Bagi umat  Islam Indonesia, untuk mengatasi kontroversi sahnya rujuk, maka baik talak maupun rujuk harus diselesaikan di pengadilan. Tertib administrasi melalui pengadilan lebih dapat menjamin dan melindungi perbuatan hukum.

Pesan yang dapat dipetik dari ayat ini adalah agar interaksi dalam status suami-istri dilaksanakan dengan menciptakan suasana damai sebagaimana diidamkan banyak orang dalam membentuk rumah tangga yang sakinah dengan hiasan mawaddah wa rahmah. Tidak boleh ada pihak suami atau istri yang menyengaja untuk merusak rumah tangga.

Sebaliknya, bila akhirnya mereka harus bercerai atau talak, maka suasana permusuhan harus dijauhi. Untuk mewujudkan suasana damai setelah talak, al-Quran menyatakan dalam surah al-Thalaq ayat 6,

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

“Tempatkanlah  mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”

Setelah terjadinya talak hubungan antara suami istri harus tetap terjalin baik, pada masa idah  maupun  setelah  masa  idah.  Para  suami dilarang untuk menyuruh istrinya pergi dari rumah ketika masih dalam masa idah.

Bagi umat Islam di Indonesia, peluang untuk mempermainkan istri dengan cara tersebut sangat tipis karena perceraian itu hanya dapat dilakukan di pengadilan melalui proses dan pertimbangan yang cermat. Bimbingan terhadap kedua belah pihak dilakukan oleh pihak pengadilan agar iktikad tidak baik dari manapun datangnya dapat dihindari. Sehubungan dengan itu, proses perceraian terkadang memakan waktu beberapa bulan dan sering kali melalui sidang pengadilan yang berulang kali.

Tuntunan tentang talak selanjutnya dapat ditemukan pada firman Allah pada surah al-Baqarah 232,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۗ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ٢٣٢

“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara  mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah  yang  dinasehatkan kepada  orang-orang  yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ayat  ini harus dipahami secara sangat hati-hati. Dalam satu kalimat ada dua kata ‘kamu’ sekaligus. Yang pertama adalah kata ‘kamu’ dalam kalimat “Bila kamu mentalak wanita sampai masa idahnya”. Yang keduaadalah kata ‘kamu’ dalam kalimat “maka janganlah kamu menghalang-halangi wanita menikah….” Kata ‘kamu’ yang pertamamerujuk pada  suami, sedangkan ‘kamu’ yang kedua merujuk pada wali  dari perempuan. Demikian para ulama tafsir menjelaskannya. Karena itu kalimat selengkapnya “Bila kamu (suami) mentalak wanita hingga habis idahnya, maka janganlah kamu (wali dari wanita) menghalangi mereka  menikah dengan (bekas) suami (tadi) bila mereka  masing-masing  saling merelakan…”. Tentu saja talak yang dimaksud di sini adalah talak raj’i. Penafsiran ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari,

عَنْ الْحَسَنِ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ قَالَ حَدَّثَنِي مَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّهَا نَزَلَتْ فِيهِ قَالَ زَوَّجْتُ أُخْتًا لِي مِنْ رَجُلٍ فَطَلَّقَهَا حَتَّى إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهَا جَاءَ يَخْطُبُهَا فَقُلْتُ لَهُ زَوَّجْتُكَ وَفَرَشْتُكَ وَأَكْرَمْتُكَ فَطَلَّقْتَهَا ثُمَّ جِئْتَ تَخْطُبُهَا لَا وَاللّهِ لَا تَعُودُ إِلَيْكَ أَبَدًا وَكَانَ رَجُلًا لَا بَأْسَ بِهِ وَكَانَتْ الْمَرْأَةُ تُرِيدُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَيْهِ فَأَنْزَلَ اللّهُ هَذِهِ الْآيَةَ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ فَقُلْتُ الْآنَ أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللّهِ قَالَ فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ.

“Dari al-Hasan tentang firman Allah “Fa lā ta’dhulūhunna”, ia berkata, Ma’qil bin Yasar berkata  bahwa  ayat tersebut turun berkaitan dengan dia. Ia berkata, “Saya menikahkan saudara perempuan saya dengan seorang pria, kemudian ia menceraikannya hingga masa idahnya  habis. Lalu pria tadi datang meminangnya. Saya berkata padanya: Aku dulu menikahkanmu dan menghormatimu tetapi kamu menceraikannya, sekarang kamu datang meminangnya. Tidak… demi Allah… aku tidak mau mengembalikannya kepadamu selamanya. Pria itu tidak bereaksi apa-apa, sementara, wanita (saudara saya) malah ingin kembali menjadi istrinya. Maka Allah menurunkan ayat ini. Maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, saya taat akan melaksanakan (menikahkannya lagi)”.

Namun demikian, bila kata ’kamu’ pada ayat ini dipahami dengan satu makna, yaitu suami, sebenarnya tidak bertentangan dengan pemahaman di atas. Justru pemahaman yang seperti ini merupakan sisi lain yang sifatnya melengkapi pemahaman sebagaimana dijelaskan di atas.

Dengan demikian, hal lain yang ditekankan  dalam kelompok ayat ini adalah bahwa  pria  yang  menceraikan istrinya dan sudah habis masa idahnya, tidak boleh menghalang-halanginya untuk menikah dengan pria lain bila diketahui bahwa pernikahan yang baru ini dalam rangka mencari ridha Allah SWT. Sebaliknya, ia harus berani mengakui akan keterbatasannya, mau menyadari bahwa mantan istri itu tidak cocok dengan dirinya, tetapi boleh jadi cocok menjadi istri orang lain, seperti halnya ia cocok menikah dengan wanita lain, tidak cocok dengan mantan istrinya.

Agaknya inilah yang diberi label sebagai orang beriman dan  bersih  pikiran  dan  hati sebagaimana  disebutkan  dalam  ayat  232  ini.  Menghalangi  orang  lain  memperoleh  kebahagiaan  termasuk memperturutkan sifat dengki yang dimurkai oleh Allah. Egoisme  semacam  itu  dapat  menjerumuskan  seseorang  ke  dalam  neraka.