Menjadi orang tua adalah kontrak seumur hidup, 24 jam sehari dan 7 hari dalam sepekan. Tak ada cutinya. Sejak mereka dalam kandungan hingga terlahir dan dapat mendengar, melihat atau memikirkan dan merasakan..... dan selamanya sampai ajal menjemput. Mereka belajar cepat setiap harinya, mencerna dan menyimpulkan. Oleh karenanya jangan lewatkan satu hari saja, atau bahkan satu jam saja dengan mengabaikan anak kita. Apalah lagi memberi contoh buruk, memberinya beban di luar kesanggupannya... Godaan era gadget sekarang bukan hanya anak tersisihkan oleh pekerjaan orang tua, tapi juga sosialita orang tuanya. “Mamah pilih aku apa Facebook?” “Papah pilih aku apa HP?” Kira-kira itu pertanyaan anak sekarang. Segera letakkan gadget Anda, peluk dan cium dia. Temani bermain dan belajar, sebelum Anda menyesal 10 atau 15 tahun lagi.
Belum lama kami terkaget-kaget dengan beberapa peristiwa tentang ‘anak yang belum sebagaimana yang diharapkan’.
Eh apaan sih?
Iyah, ini penting buat Anda yang baru menapaki kehidupan rumah tangga, baru punya anak kecil-kecil atau bahkan Anda yang baru merencanakan berumah tangga.
Lah, buat orang tua yang anaknya sudah gede apa enggak penting?
Ya penting juga, cuma sudah agak telat.
Ceritanya ini adalah curhatan beberapa bunda yang anaknya telah menapaki jenjang SMA dan perguruan tinggi. Beberapa bunda mengeluhkan anak pertama yang terasa agak ‘jauh’ dengan keluarga. Baik secara kejiwaan maupun ideologis.
Orang tuanya menjalani kehidupan yang cukup religius dan si anak mengambil jarak untuk memiliki pandangan sendiri tentang keyakinan hidup. Hmm.
Tentu saja yang demikian berdampak pada cara hidup dan takaran yang berbeda. Misal ibunya sejak kecil membiasakan berjilbab, dan setelah si anak jauh dari orang tua, membuka jilbabnya.
Kasus lain, orang tua melarang pacaran, dan si anak justru memilih pergaulan bebas.
Ada lagi anak yang ‘bersembunyi’ dari jati diri orang tuanya karena ia merasa tak ‘sesolih’ bapak ibunya.
Yang lebih ekstrem adalah anak yang memilih murtad karena bujukan pacarnya. Ia memilih kawin lari meninggalkan keluarganya.
Ada lagi anak yang stres dan harus mendapat perawatan medis dan psikis untuk memulihkan. Ada yang kecanduan game, rokok dan narkoba... duuh!
Ternyata tidak mudah ya membersamai anak kita, membesarkan, mendidik dan mengarahkan.
Duuh saya tidak sedang menakuti, jadi jangan takut punya anak.
Curhatan dan diskusi para bunda ini berujung pada mengenang masa lalu. Masing-masing mencoba memutar ulang bagaimana dulu si anak yang dianggap ‘bermasalah’ ini terlahir, tumbuh dan berkembang dalam keluarganya. Sampailah kami pada beberapa kesimpulan yang mirip.
Para bunda mengakui betapa sibuknya mereka dulu ketika anak-anak ini memasuki masa emas, 0-7 tahun. Anak-anak ini ‘disambi’ beraktivitas, berorganisasi, bekerja dan ada pula yang berdakwah. Terkadang mereka harus dititipkan kepada nenek, pembantu atau tetangga. Terkadang anak-anak ini ‘terlantar’ di sekolah dan telat menjemputnya.
Sebagian dari mereka bahkan telah diberi ‘beban’ menjaga adik pada usia mereka yang sangat muda.
Mungkin saat itu tak pernah ditanya, apa yang mereka rasakan. Apa yang mereka pikirkan tentang ‘kesibukan orang tuanya’. Atau kosakata mereka belum sampai pada satu kata: terabaikan.
Yah, mungkin mereka belum bisa mengenali perasaan terabaikan atau tersisihkan.
Setelah mereka besar, mereka baru bisa berkata:
“Orang tuaku lebih mementingkan pekerjaan daripada aku”
“Orang tuaku lebih mementingkan teman-temannya daripada aku”
“Orang tuaku lebih mementingkan organisasi dan kegiatannya daripada aku”
Lalu mereka mungkin mengatakan:
“Aku tak ingin menjadi seperti orang tuaku”
“Aku mau kebebasanku untuk menjadi diriku sendiri”
“Tak masalah aku berbeda dengan orang tuaku”
Terbentanglah jarak psikologis, jarak ideologis dan jarak-jarak yang lain, sekalipun mereka tetap satu rumah.
Para orang tua ini butuh energi besar untuk mengarungi jarak tersebut. Mereka bahkan harus rela banyak ‘mengalah' untuk meraih kembali masa-masa yang tak dapat diputar ulang.
Memang hidayah milik Allah. Memang sejarah anak kita belum selesai. Demikian pula sejarah kita. Jadi semoga masih ada harapan.
Bersyukur jika ada orang tua yang mau memulai ulang menuliskan sejarah baru bersama anaknya.
Bukan sekadar
blaming dengan mengatakan:
“Saya sudah berusaha, namun anaknya memang susah diatur...”
“Memang anakku wataknya keras begitu..”
“Itu terpengaruh teman-temannya...”
Orang tua hanyalah manusia biasa. Bukan nabi ataupun rasul. Mungkin dalam sikap kondisionalnya ada salah, khilaf dan ketidaksengajaan, serta juga ketidaktahuan. Namun tak ada kata terlambat untuki memperbaiki.
Saya selalu mengajak diri sendiri untuk memulai dengan taubat. Saat seseorang merasa punya masalah dengan anak atau suami atau orang lain, mulai saja dengan taubat.
Mohon ampun pada Allah dan meminta maaf pada si anak. Itu yang disebut restart, memulai dari nol.
Mohon ampun pada Allah disertai muhasabah, apakah kita telah sempurnakan kewajiban ibadah kepada Allah dengan sepenuhnya? Terus tambah taqarrub dengan ibadah wajib dan raih cinta Allah dengan ibadah sunah. Hiasi dengan kemuliaan akhlak.
Lalu kepada anak, mulailah dengan meminta maaf.
“Maafkan bunda ya nak. Sebagai manusia pastilah bunda punya salah padamu. Bahkan mungkin banyak. Bunda ingin memulai dengan benar. Memulai lagi menjadi sahabatmu. Maafkan bunda untuk semua keterlanjuran...”
Permintaan maaf yang disertai perubahan sikap kita.
Biarlah anak heran dan mencerna. Mungkin butuh beberapa waktu baginya untuk menyambut itu. Tapi bersabarlah untuk terus mendekat meraih hatinya.
Sebagian orang mungkin punya pendapat sebaliknya:
"Mengapa aku yang harus minta maaf? Bukankah aku telah berusaha menjadi orang tua yang baik. Dan kini kenyataannnya anakku yang banyak berbuat salah dan menyakiti hatiku...?"
Huff.
Kalau pernah dengar istilah orang tua yang durhaka kepada anak, ya kira-kira inilah contohnya.
Mengubah orang lain haruslah dimulai dengan mengubah diri kita menjadi lebih baik. Mustahil memaksa anak menjadi lebih baik jika orang tua tak merusaha menginsyafi dirinya.
Duuh panjang banget, apa hubungannya dengan judul di atas?
Mengingatkan saja, bahwa menjadi orang tua adalah kontrak seumur hidup, 24 jam sehari dan 7 hari dalam sepekan. Tak ada cutinya. Sejak mereka dalam kandungan hingga terlahir dan dapat mendengar, melihat atau memikirkan dan merasakan..... dan selamanya sampai ajal menjemput.
Mereka belajar cepat setiap harinya, mencerna dan menyimpulkan.
Oleh karenanya jangan lewatkan satu hari saja, atau bahkan satu jam saja dengan mengabaikan anak kita. Apalah lagi memberi contoh buruk, memberinya beban di luar kesanggupannya...
Godaan era gadget sekarang bukan hanya anak tersisihkan oleh pekerjaan orang tua, tapi juga sosialita orang tuanya.
“Mamah pilih aku apa Facebook?”
“Papah pilih aku apa HP?”
Kira-kira itu pertanyaan anak sekarang.
Segera letakkan gadget Anda, peluk dan cium dia. Temani bermain dan belajar, sebelum Anda menyesal 10 atau 15 tahun lagi.
Referensi : Yang Tak Kan Terulang