Kamis, 18 Agustus 2022

Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Tantangan Abad 21

Ilustrasi : Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Tantangan Abad 21

Membicarakan “Pendidikan Karakter untuk Menjawab Tantangan Abad ke-21” ini  sangat penting, dengan beberapa alasan sebagai berikut.  Pertama, abad  ke-21 yang kini tengah kita alami, sebagaiman telah dikaji para ahli telah menimbulkan tantangan yang berdampak pada terjadinya krisis di bidang karakter. Daniel Bell sebagaimana dikutip Mochtar Buchori menyebutkan adanya enam tantangan di abad ke-21; yaitu integration of economy, fragmentation of politic, interdependence, high technologi, dan new colonization in culture. Keenam tantangan yang ditimbulkan abad ke-21 ini baik langsung atau tidak langsung berdampak pada terjadinya krisis di bidang karakter. Integration of economy (penyatuan dalam perdagangan), menyebabkan timbulnya free market (pasar bebas) yang penuh dengan persaingan yang  tidak sehat. Dalam rangka memperebutkan pasar, perilaku ekonomi bisa menghalalkan segala cara, seperti riba (membungakan uang secara tidak wajar), ghurur (menipu), maysir (judi-spekulasi), penguasaan atas aset dan kesempatan  (monopoli) yang mematikan kelompok pengusaha kecil;  menimbun barang agar terjadi ketimpangan antara suplay dan demand yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan jasa secara tidak wajar, dan sebagainya. Selanjutnya fragmentation of  politic dalam rangka menuntut perlakuan yang lebih demokratis, adil, manusiawi dan egaliter, terkadang menimbulkan demokrasi yang kebablasan dan tindakan anarkhisme. Sementara itu interdependence (kesaling-tergantungan) dalam rangka mendapatkan pengakuan dari negara lain (social recognition), terkadang menimbulkan dampak terjadinya hegemoni negara yang kuat atas negara yang lemah. Dalam pada itu, penggunaan high technology  berupa komputer dan digital technologi terkadang disalah-gunakan untuk memprovokasi, memfitnah, adu domba, membunuh karakter, dan sebagainya. Sementara itu,  adanya new colonization in culture (penjajahan baru di bidang kebudayaan) menyebabkan terjadinya dekadensi moral atau schock culture, terutama di kalangan young generation (generasi muda). Pola dan pandangan hidup yang pragmatis, transaksional, hedonistik, materialistik dan sekularistik, menyebabkan masyarakat hatinya menjadi keras, kurang tertarik pada nilai-nilai spiritual dan cenderung mengikuti gaya dan selera hidup yang menggumbar syahwat, dan untuk mendapatkan semua itu bisa menghalalkan segala cara seperti menjual diri, dan sebagainya.

Kedua, adanya tanda-tanda zaman yang dapat menghancurkan masa depan bangsa. Thomas Lickona, Profesor dari Cortland University, sebagaimana dikutip Masnur Muslich mengatakan, adanya 10 (sepuluh) tanda sebuah bangsa menuju kehancuran, yaitu: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; (2)penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; (3)pengaruh peer-group yang kuat dalam tindakan kekerasan; (4)meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; (5)semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6)menurunnya etos kerja; (7)semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; (8)rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; (9)membudayanya ketidakjujuran, dan (10)adanya rasa saling curiga dan kekerasan di antara sesama. Jika dicerna, ternyata sepuluh tanda zaman tersebut sudah ada di Indonesia.

Ketiga, adanya sebagian masyarakat yang memiliki mental block (penyakit mental), yaitu cara cara berfikir dan berperasaan yang terhalang oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya membuat kita terhambat untuk melangkah menuju kesuksesan. Gejala-gejala mental block tersebut antara lain: (1)suka mengeluh; (2)memiliki virus perusak; (3)konflik batin; (4)tidak ada perubahan kehidupan, dan (5)tidak mau mengambil resiko. Mental block tersebut terjadi disebabkan, antara lain: (1)karena pandangan yang buruk terhadap kemampuan diri sendiri (bad self image); (2)pengalaman yang buruk (bad experience); (3)lingkungan yang buruk (bad environment); (4)rujukan yang buruk (bad reference); dan (5)pendidikan yang buruk (bad education). Virus perusak tersebut, antara lain: suka menyalahkan orang lain, mencari-cari alasan, mencari-cari pembenaran, mengedepankan gengsi, malas, takut mengambil resiko, cenderung menunggu, tidak percaya diri dan buruk sangka.[3] Mental Block yang demikian itu gejala-gejalanya sudah merata di kalangan masyarakat, bahkan di sekolah, serta erat kaitannya dengan lahirnya sepuluh tanda zaman yang dapat menghancurkan masa depan bangsa. Hal ini antara lain dapat diselesaikan melalui pendidikan agama.

Keempat, adanya distorsi terhadap pengertian karakter atau akhlak. Karakter atau akhlak sering diartikan sikap atau perilaku yang sudah mendarah-daging, yang terdiri dari perilaku yang baik dan yang buruk. Orang yang rajin beribadah, shalat berjama’ah di masjid, berpuasa wajib dan sunnah, menunaikan ibadah haji, suka membaca atau menghafal al-Qur’an, memberikan tausiyah, tutur katanya lembut dan santun, hormat pada orang tua, tetangga dan sesama, murah senyum, dan suka berderma dan sebagainya sering disebut orang yang akhlaknya baik. Namun orang yang akhlaknya baik itu ternyata juga melakukan tindakan dan perbuatan yang tidak terpuji, seperti merusak hutan, melakukan perdagangan ilegal, membungakan uang, melakukan korupsi, menerima suap, dan bahkan suka berzina. Dengan demikian orang yang dikatakan berakhlak baik itu, tidak berbanding lurus dengan kemampuan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, etika, moral, budaya dan hukum. Orang yang demikian itu telah mampu melaksanakan perbuatan yang baik (amar ma’ruf),namun belum dapat menjauhkan atau melarang perbuatan yang buruk (nahyi al-munkar). Dengan demikian, saat ini telah terjadi semacam distorsi tentang pengertian karakter, sehingga karakter tersebut tidak berhasil mengatasi kerusakan di bidang moral, terutama yang berkaitan dengan ketidakjujuran.

Kelima,  saat ini tengah terjadi praktek hukum transaksional dalam segala bidang kehidupan,  yakni bahwa jasa atau barang yang diterima seseorang harus sebanding dengan uang yang dibayarkan. Keadaan ini bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga telah merambah ke dalam bidang politik, sosial, pendidikan, bahkan agama. Dalam bidang politik, tujuannya bukan lagi memperjuangkan cita-cita, atau idealisme yang mencerminkan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, melainkan lebih pada kepentingan pribadi, partai, kelompok atau golongan. Dalam bidang sosial, bukan lagi didasarkan pada semangat tolong menolong yang didasarkan atas kemanusiaan dan keikhlasan, melainkan lebih didorong oleh kepentingan take and gave. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam kehidupan rumah tangga sebagian artis yang kawin cerai, atau bercerai secara baik-baik, karena masing-masing pasangan tidak lagi dapat memuaskan secara ekonomi dan finansial. Hukum transaksional dalam bidang pendidikan misalnya terlihat pada sikap masyarakat yang memandang biaya pendidikan sebagai modal investasi yang harus kembali dan menguntungkan dengan cara tamatan pendidikan tersebut menjanjikan lapangan pekerjaan yang dapat memudahkan untuk mendapatkan uang. Akibat dari keadaan yang demikian itu, maka program pendidikan yang tidak markatable tidak lagi lagi diminati masyarakat. Selain itu biaya pendidikan yang dikeluarkan juga harus diimbangi dengan tersedianya fasilitas yang lengkap dan baik, pelayanan dosen dan staf administrasi yang memuaskan, dan berbagai kemudahan lainnya, sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan. Pendidikan saat ini tidak lagi mengemban misi pendidikan karakter bangsa, melainkan lebih cenderung sebagai bagian dari usaha bisnis yang mencari keuntungan, dengan tidak memperhatikan pendidikan karakter bangsa. Pendidikan saat ini, menurut Fethullah Ghulen, banyak yang melahirkan para lulusan sebagai “kalajengking yang siap menggigit dengan bisa racunnya yang membahayakan.” Itulah sebabnya tidak mengherankan jika saat ini, berbagai tindakan kriminal dan pelanggaran hukum, norma agama, dan susila banyak dilakukan di kalangan para pelajar khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Keenam, bahwa rumusan pendidikan karakter bangsa di sekolah saat ini semakin memudar. Beberapa mata pelajar yang diyakini sebagai bersentuhan dengan pembinaan karakter bangsa, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Sopan Santun semakin kurang diminati. Demikian pula pendidikan agama yang berkaitan dengan pembinaan akhlak mulia, terjebak pada pemberian pengetahuan agama yang bersifat kognitif. Berbagai mata pelajaran ini digeser oleh mata pelajaran yang berkaitan dengan pengembangan wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan yang diarahkan pada dihasilkannya manusia-manusia yang cerdas dan trampil serta kuat hard skillnya, namun kurang diimbangi dengan mata pelajaran yang terkait dengan pendidikan karakter bangsa yang mengarahkan pada penguatan soft skill, seperti kejujuran, toleransi, humanis, egaliter, santun, kerja keras, disiplin, bersahabat, dan sebagainya.

Perumusan pendidikan karakter dalam rangka menjawab tantangan abad ke-21 pada lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, baik formal maupun non-formal dengan berbagai aspeknya: visi, misi, tujuan, kurikulum, bahan ajar, metode dan pendekatan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, manajemen dan evaluasi dan lainnya, harus dirumuskan dengan bertitik tolak pada permasalahan tersebut di atas.

Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter secara harfiah dapat diartikan merubah atau membentuk watak, perilaku, perangai, tabi’at, dan kepribadian seseorang sesuai dengan kriteria yang ditentukan.Sedangkan secara esensial pendidikan karakter merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratnya menuju ke arah peradaban  manusia yang lebih baik. Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga anak/peserta didik memiliki kesadaran, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan karakter dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan. Selain itu pendidikan karakter juga diarahkan untuk mengembangkan kecerdasan moral (building moral intellegence) atau mengembangkan kemampuan moral anak-anak yang dilakukan dengan membangun kecerdasan moral, yaitu kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga orang bersikap benar dan terhormat.

Dengan demikian, pendidikan karakter terkait dengan pemahaman, penghayatan dan sikap terhadap nilai-nilai yang dianggap luhur yang diwujudkan dalam perilaku baik yang berhubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam. Untuk mewujudkan keadaan yang demikian pendidikan karakter membutuhkan dukungan pendidikan moral, pendidikan nilai (tatakrama, budi pekerti dan akhlak),pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.

Pendidikan karakter bangsa sebagaimana digambarkan tersebut di atas dewasa ini dalam keadaan mengkhawatirkan. Hal ini antara lain dapat ditujukkan dengan meningkatnya praktek pelanggaran hukum, seperti penyalahgunaan narkoba, melakukan hubungan seks di luar nikah, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, tawuran antar pelajaran, konflik sosial, premanisme,  tindakan kekeran, pembunuhan dan lain sebagainya.  Keadaan yang demikian menyebabkan kehidupan manusia semakin tidak nyaman, menimbulkan rasa cemas dan ketakutan, dan semakin mengkhawatirkan tentang masa depan bangsa.

Visi, dan Misi Pendidikan Karakter

Visi, dan misi  pendidikan karakter pada abad ke-21 ini harus diarahkan pada upaya  memperbaiki mental block (penyakit mental) sebagaimana tersebut di atas.Selain itu pendidikan karakter harus pula diarahkan pada upaya   membantu perkembangan jiwa anak didik dari sifat kodratnya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan baik. Pendidikan karakter  lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena tidak hanya berkaitan dengan masalah benar dan salah, tetapi menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan sebagai bangsa, sehingga peserta didik memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bangsa.

Pendidikan karakter pada abad ke-21 ini lebih lanjut dapat dipahami sebagai upaya menanamkan, membiasakan, menyontohkan, dan melatihkan tentang praktek pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang berkaitan dengan karakter bangsa, sehingga karakter  tersebut menjadi jati dirinya, pribadinya, pola pikir, cara pandang, identitasnya, dan sekaligus kecintaan dan kebanggaannya sebagai bangsa, serta meyakininya, bahwa nilai-nilai karakter  tersebut sebagai yang paling sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai pendidikan karakter bangsa tersebut dijabarkan dan dielaborasi dari ideologi dan falsafat hidup bangsa Indonesia, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, serta berbagai pikiran dan pandangan yang dikemukakan para tokoh nasional Indonesia yang diakui kredibelitas, loyalitas, komitmen, kecintaan dan kesungguhannya dalam memajukan bangsa Indonesia.

Melalui berbagai referensi tersebut, karakter bangsa Indonesia dapat dijabarkan, sebagai karakter yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Prikemanusiaan Yang Adil dan Beradab; berupaya menjaga dan memelihara Persatuan Indonesia, berpandangan Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Berupaya mewujudkan Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dengan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, seorang yang berkarakter bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang religious, memiliki visi transendental, mengutamakan nilai-nilai moral dan spiritual, di atas nilai-nilai yang bersifat sesaat dan profan. Dengan ber-Perikemanusiaan, ia akan berupaya mengemban misi humanisasi dan liberasi, serta menjauhkan cara-cara yang anarkis, kekerasan, dan intimidasi dalam memperjuangkan sesuatu. Dengan jiwa persatuan Indonesia, ia akan menghargai dan menghormati adanya keragaman (pluralitas) dan menganggapnya sebagai rahmat, anugerah, dan kekayaan yang harus disinergikan dan dikelola secara arif sehingga menjadi sebuah modal budaya dan kultural yang amat dahsyat. Dengan sikap Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, ia akan mengedepankan cara-cara yang demokratis, musyawarah dan pendekatan kekeluargaan yang penuh dengan kesantunan dalam memecahkan berbagai masalah, serta menjauhkan diri cara-cara yang memperlihatkan hegemonitas dan diktator dalam memecahkan masalah, dan dengan menegakkan Keadila Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, ia akan memiliki komitmen untuk mensejahterakan rayat Indonesia, serta menghindari cara-cara melakukan monopoli, atau berbagai tindakan kecurangan yang merugikan bangsa Indonesia.

Selain itu, seorang yang berkepribadian Indonesia juga adalah kepribadian yang mencintai dan bangga terhadap Indonesia dengan cara mendarma baktikan segenap kemampuannya untuk kemajuan Indonesia. Bersamaan dengan itu, ia juga akan menampilkan sikap menjagar persatuan dan kesatuan bangsa, memelihata Negara Kesatuan Indonesia, berjiwa Sumpah Pemuda, yakni cinta tanah air Indonesia, bahasa Indonesia, dan bangsa Indonesia. Upaya ini antara lain diperlihatkan dengan memajukan kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, kesehatan bangsa Indonesia dengan berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Selain itu juga ditujukan dengan bersedia mengamankan dan membela negara dan bangsa Indonesia dari infiltrasi dan hegemoni negara-negara asing, baik dalam bentuk politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Upaya ini dilakukan dengan cara menyumbangkan gagasan dan pemikiran, terjun langsung mengatasi masalah tersebut sesuai dengan bidang, profesi, jabatan, kedudukan dan wewenang yang dimiliki. Selain itu juga dilakukan dengan menunjukkan prestasi dan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan bangsa dan negara.

Pendidikan karakter di abad ke-21 ini juga terkait erat dengan upaya memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, seperti nilai gotong royong, kekeluargaan, ramah, santun, toleransi, bersahabat, saling menghargai dan saling menghormati, mengedepankan musyawarah dalam memecahkan masalah, ta’at menjalankan ajaran agama, dan berbagai nilai nilai yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah di Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan istilah kebijakan lokal (local wisdom). Berbagai nilai budaya tersebut digunakan sebagai dasar yang membentuk sikap, pola pikir, paradigma, mindset, cara pandang dan perbuatan seluru bangsa Indonesia.

Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter  sebagamaimana tersebut di atas, antara lain ditujukan pada timbulnya sikap dan kepedulian untuk memerintahkan yang baik dan menjauhi yang munkar. Pernyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pendidikan karakter terdapat pesan yang kuat untuk menghasilkan manusia yang memiliki kesadaran untuk membangun sejarah, kebudayaan dan peradaban, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para tokoh dunia, atau tokoh bangsa Indonesia di masa lalu. Dengan demikian tujuan pendidikan karakter bangsa antara lain menghasilkan orang-orang yang memiliki kesadaran historis, kultural dan civilization (peradaban). Untuk dapat mewujudkan bangsa yang demikian itu, harus disertai pula dengan upaya menciptakan karakter bangsa yang memiliki tradisi intelektual yang kuat, yaitu karakter yang: (1)mencintai kebenaran (bukan mencari pembenaran); (2)kejujuran dan orisinalitas; (3)penghormatan pada ilmu; dan (4) sikap kosmopolitan.[25] Tradisi intelektual ini pernah dipraktekkan ummat Islam di zaman klasik, saat di mana ummat Islam tampil sebagai pemandu perjalanan sejarah, budaya dan peradaban ummat manusia hampir di seluruh dunia, dalam kurun waktu lebih dari tujuh abad lamanya.

E.Berbagai Metode dan Pendekatan Pendidikan Karakter

Terdapat sejumlah pemikiran dan gagasan yang berkaitan dengan metode dan pendekatan pendidikan karakter di abad ke-21  di sekolah dan di berbagai lembaga pendidikan lainnya yang diyakini agar membawa kesuksesan. E.Mulyana. misalnya menyatakan, bahwa kunci sukses pendidikan karakter bangsa di sekolah adalah: (1)pahami hakikat pendidikan katakter bangsa; (2)sosialisasikan dengan tepat; (3)ciptakan lingkungan yang kondusif, (4)dukung dengan fasilitas dan sumber belajar yang memadai; (5)tumbuhkan disiplin peserta didik; (6)pilih kepala sekolah ang amanah; (7)wujudkan guru yang dapat digugu dan ditiru, dan (8)libatkan seluruh warga sekolah. Sedangkan model pembelajarannya adalah dengan (1)pembiasaan; (2)keteladanan; (3)pembisaan disiplin peserta didik; (4)contextual teaching learning (CTL), (5)bermain peran, dan (6)pembelajaran partisipatif.

Sejalan dengan itu, ada pula yang memberikan gagasan pendidikan karakter bangsa di sekolah dan lembga pendidikan ini dengan cara (1)mengajarkan; (2)keteladanan; (3)menentukan prioritas; (4)praksis prioritas, dan (5)refleksi. Cara ini didukung dengan menerapkan locus pendidikan karakter di sekolah, yang langkahnya adalah: (1)menjadikan sekolah sebagai wahana aktualisasi nilai; (2)setiap perjumpaan adalah momen pendidikan nilai; (3)wawasan wiyatamandala pada masa orientasi sekolah; (4)manajemen kelas; (5)penegakan kedisiplinan di sekolah; (6)pendampingan perwalian; (7)pendidikan agama bagi pembentukan karakter; (8)pendidikan jasmani; (9)pendidikan estetika, (10)menggunakan kurikulum integrated; dan (11)pendidikan kehendak dan pengalaman.

Strategi lain yang dapat dilakukan dalam pendidikan karakter  di abad ke-21 ini adalah dengan cara mencari sebab-sebab buruknya karakter bangsa tersebut. Abdul Halim Mahmud, mengatakan, bahwa selain sebab yang timbul dari diri sendiri, yakni pengaruh hawa nafsu yang tidak terkendali, juga karena dari luar, yakni dari mereka yang sengaja menanamkan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut bangsa tersebut.

Pendidikan karakter di abad ke-21 dapat pula  dilakukan dengan merubah paradigma pendidikan karakter yang lebih substantif. Yakni bukan karakter yang hanya nampak di permukaan saja, melainkan yang lebih dalam lagi, sebagai sesuatu yang lahir dari panggilan batin, mengandung dimensi spiritual dan transendental yang berbasis pada iman kepada Tuhan, serta kesadaran bahwa segala yang dilakukan manusia senantiasa diawasi oleh Tuhan, dan kelak akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Keimanan yang demikian itulah yang tercermin pada pribadi Nabi Muhammad SAW, Khalifah Umar bin Abdul Azis, Hakim Syuraih, dan seorang wanita yang bernama Ghamidiah. Mereka itu telah memiliki akhlak yang mulia, seperti murah hati, santun, toleran, adil, namun  jujur dan tegas. Semua itu terjadi, karena selama menjalankan amanah dan kehidupannya senantiasa merasa diawasi oleh Tuhan. Mereka itu memiliki iman yang efektif dan transformatif, yaitu iman yang memiliki vibrasi dan resonansi, serta selalu mempengaruhi pola pikir, tindakan dan perbuatannya.

Pembinaan karakter  pada abad ke-21 di Sekolah dapat pula dilihat dari cara-cara yang dilakukan bangsa-bangsa lain di dunia yang tergolong memiliki karakter yang baik, seperti Jepang, New Zealand, Turki, Iran dan sebagainya. Mereka itu terkenal sebagai bangsa yang saat ini memiliki akhlak dan soft skill yang baik, yang selanjutnya dapat menjaga citra bangsanya, serta membawa kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan.

Selain itu pendidikan karakter di abad ke-21 dapat pula ditempuh dengan mewujudkan pendidikan yang demokratis dengan cara memenuhi persyaratannya sebagai berikut. Pertama, praktek pendidikan senantiasa menekankan pada kesetaraan dan keadilan; Kedua, proses pembelajaran harus berujung pada pengembangan kemampuan kultural pada diri siswa. Kemampuan ini antara lain berupa kesadaran akan dirinya sendiri, memahami dan menghormati kultur lain, mampu membantu kerjasama dengan berbagai perbedaan-perbedaan kultur. Masing-masing siswa selaku individu terus diberikan kesempatan untuk mengembangkan kesadaran identitas etnisnya. 

Pendidikan karakte pada abad ke-21 di sekolah lebih lanjut diarahkan pada upaya menumbuhkan etos kerja pribadi Muslim, yang ciri-cirinya antara lain: (1)memiliki jiwa kepemimpinan (leadership), (2)senantiasa mengintrospeksi diri; (3)menghargai waktu; (4)tidak pernah merasa puas dalam berbuat kebaikan; (5)mengembangkan hidup hemat dan efisien; (6)memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship); (7)memiliki jiwa bersaing secara sehat; (8)keinginan untuk mandiri; (9) haus pada ilmu pengetahuan dan pengalaman; (10)berwawasan makro (universal); (11)memperhatikan kesehatan dan gizi; (12)ulet, pantang menyerah); (13)berorientasi pada produktivitas; dan (14)memperkaya jaringan silaturahmi.

Selanjutnya untuk dapat melaksanakan berbagai metode dan pendekatan pendidikan karakter abad ke-21 di Sekolah dan lembaga pendidikan lainya dapat pula  dilakukan dengan melakukan pembenahan karakter sekolah itu sendiri, atau pembenahan lembaga pendidikan secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui, bahwa sistem persekolahan yang ada saat ini juga sudah sulit diharapkan untuk mampu melahirkan manusia-manusia yang berkarakter, yang disebabkan karena karakter sekolah itu sendiri kurang mendukung pendidikan karakter bangsa. Beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai tidak baiknya karakter sekolah di antaranya: (1)masih adanya sekolah yang membiarkan terjadinya praktek-praktek ketidak-jujuran dalam meraih prestasi, seperti membiarkan siswa saling menyontek dalam menjawab soal-soal ujian, atau bahkan memberikan bocoran soal ujian kepada para peserta didik dengan imbalan sejumlah uang; (2)penentuan hasil evaluasi yang hanya menekankan segi kognitif, kecerdasan intelektual dan keterampilan, tanpa diimbangi dengan kecerdasan moral dan spiritual; (3)praktek suap menyuap dan katabelece dalam penerimaan siswa baru;  (4)adanya oknum guru yang melakukan pelecehan seksual dan tindakan kekerasan, (5)tidak adanya kultur dan budaya sekolah yang mendorong tumbuhnya sikap kritis, mandiri, dan bertanggung jawab, dan  (6)bahkan masih ada sejumlah kepala sekolah dan pimpinan perguruan tinggi yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi.

Karakter sekolah yang diharapkan dapat membentuk karakter bangsa tersebut juga dapat dilakukan dengan cara menerapkan dua hal sebagai berikut. Pertama, dengan menerapkan pendidikan demokrasi  dan multikultural di sekolah. Pendidikan demokrasi adalah suatu proses di mana siswa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan sekolah. Lewat partisipasi ini, para siswa akan berinteraksi dengan guru dan pendidik yang lain untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang lebih baik. Sedangkan pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memberikan perhatian, pelayanan, dan toleransi kepada peserta didik yang memiliki berbagai latar belakang, termasuk berbagai strata status sosial ekonomi. Keberagaman status sosial ekonomi ini merupakan tantangan lain bagi guru. Perhatian dan bantuan guru yang diwujudkan dalam melaksanakan pembelajaran yang penuh penghayatan akan perbedaan status sosial ekonomi yang ada, akan sangat besar artinya bagi peserta didik, khususnya peserta didik yang berada pada status sosial ekonomi yang rendah. Kedua, dengan menerapkan budaya atau kultur sekolah yang kondusif, yaitu berupa penerapan, pembiasaan dan pembudayaan nilai-nilai luhur,  seperti kejujuran, disiplin, etos kerja, berprestasi, menghargai perbedaan, toleransi[34], berorientasi pada mutu, dan ikhlas. Budaya sekolah ini selain akan menjadi identitas, juga akan menjadi sumber inspirasi, cognitive frame work (bingkai kerja pemikiran),  dan guide values (nilai yang membimbing) yang mengarahkan seluruh komunitas sekolah, agar secara keseluruhan menjadi pribadi yang berkarakter yang baik, bahkan menjadi great person (orang yang unggul).          

Pendidikan karakter dalam rangka menjawab tantangan abad 21 bangsa di  merupakan hal yang perlu dilakukan. Melalui pendidikan karakter  yang demikian itu, akan dapat dihasilkan kader-kader pemimpinan bangsa yang memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan negara, memiliki identitas yang jelas, dan tidak terbawa arus globalisasi yang cenderung lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat jangka pendek, hedonistik, individualistik, dan materialistik. Pendidikan karakter abad ke-21 ini  antara lain harus  didasarkan pada nilai-nilai luhur yang terkandung  dalam ajaran Islam,   Pancasila, Undang-undangan Dasar 1945, semangat Sumpah Pemuda,  pandangan dan pemikiran para pemimpin bangsa yang kredibel, nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di berbagai kepulauan di Indonesia.

Implementasi pendidikan karakter  yang demikian itu saat ini berada dalam keadaan yang kurang kondusif, bahkan dalam keadaan kritis. Merjalela dan membudayanya berbagai macam tindakan korupsi, konflik horizontal, tawuran antar pelajar, radikalisme, terorisme, peredaran dan penggunan narkoba, perusakan lingkungan, dan prostitusi, menunjukkan masih belum berjalannya implementasi pendidikan karakter bangsa di sekolah secara efektif. Keadaan tersebut juga menunjukkan, bahwa sekolah atau lembaga pendidikan saat ini kurang memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter yang demikian itu,  yang disebabkan karena sekolah atau lembaga pendidikan tersebut tidak lagi memiliki karakter yang baik. Selain itu pendidikan demokrasi, pendidikan multikultural, dan budaya yang unggul (great culture) yang mendukung implementasi pendidikan pada lembaga pendidikan juga belum tumbuh sebagaimana mestinya.

Guna mendukung implementasi pendidikan karakter dalam rangka menjawab tantangan abad abad 21  yang demikian itu, maka diperlukan hal-hal sebagai berikut. Pertama, menerapkan pendekatan belajar mengajar yang humanis emanisipatoris, yaitu  metode dan pendekatan yang lebih menekankan  pada pemberian contoh (modeling), refleksi, problem solving, pengembangan wawasan, dan penilaian yang objektif; Kedua dengan melibatkan seluruh unsur yang ada pada lembaga pendidikan; Ketiga, memperbaiki karakter lembaga pendidikan; Keempat,  menerapkan pendidikan demokrasi yang Islami dan Indonesiawi pada lembaga pendidikan; Kelima, menerapkan pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan, dan dan keenam menciptakan budaya sekolah dan lembaga pendidikan yang mengarah pada dihasilkannya manusia yang unggul  (great person) baik secara fisik (hand), intelektual (head) moral, emosional, sosial dan spiritual (heart) yang didasarkan pada nilai-nilai luhur ajaran Islam budaya bangsa.

Dengan cara demikian, implementasi pendidikan karakter bangsa di sekoah dan lembaga pendidikan dalam rangka menjawab tantangan abad ke-21 akan terlihat dalam realitas kehidupan, dan bukan sesuatu yang bersifat teoritis belaka. Untuk itu pembiasaan, bimbingan, dan teladan merupakan bagian dari strategi implementasi pendidikan karakter  di abad ke-21 pada lembaga pendidikan harus mendapatkan prioritas.

Referensi :