Dalam kehidupan modern yang serba kompleks ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi begitu canggih dan mengelaborasi ke hampir seluruh kawasan dunia (global). Pada saat mana manusia harus berkelit dengan problem kehidupan yang serba materialistis dan pada gilirannya sangat egois dan individual. Hubungan antara manusia pada zaman modern juga cenderung “impersonal”, sedemikian rupa sehingga hubungan mereka sudah tidak terlalu akrab lagi. Masyarakat tradisional yang guyub dikikis oleh gelombang masyarakat modern yang tembayan. Fenomena-fenomena tersebut membuat manusia semakin kehilangan jati dirinya. Kondisi demikian juga mengharuskan manusia untuk benar-benar mampu bertahan mengendalikan dirinya, untuk kemudian tetapi tegar dalam kepribadian.
Seperti yang diakui oleh Zakiah Darajat (1990: 15-16) bahwa ketenangan hidup, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin tidak banyak tergantung kepada faktor-faktor luar; sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya, malainkan lebih tergantung kepada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap para pasien yang terganggu kesehatan mentalnya, ia menyimpulkan bahwa kesehatan mental yang terganggu dapat mempengaruhi keseluruhan hidup seseorang. Pengaruh itu adalah perasaan, pikiran, kelakuan, kesehatan badan, sedang yang tergolong penyakit jiwa (psychoses) adalah lebih berat lagi.
Manusia yang serasi, selaras dan seimbang adalah merupakan jargon hidup bangsa Indonesia. Sejalan dengan ini adalah usaha untuk memperoleh hidup sehat dan layak: jiwa yang seimbang, pribadi yang “integrated” dan kemampuan memecahkan segala problema hidup dengan percaya diri dan kepribadian yang solid. Sebab kesehatan adalah kondisi normal bagi seseorang dari terhindarnya gangguan jiwa (neorosis) dan penyakit jiwa (psychoses). Manusia demikian adalah manusia yang sehat secara jasmani maupun rohani lahir maupun batin.
Penyakit jiwa (psichoses) adalah kelainan kepribadian yang ditandai oleh mental dalam (profound-mental) dan gangguan emosional. Penyakit tersebut dapat mengubah individu normal menjadi tidak mampu menyesuaikan dirinya dalam masyarakat (abnormal). Dua istilah yang dapat diidentifikasikan dengan psychoses ini adalah insanity dan dementia. Insanity adalah istilah resmi yang menunjukkan bahwa individu itu kacau dan terganggu akibat tindakannya. Pada saat lain istilah demenia digunakan untuk kebanyakan kelainan mental, tetapi secara umum kini diinterpretasikan sebagai sinonim dengan kekacauan mental (mental disorder) yang menyolok. Kebanyakan semua penyakit jiwa ini disertai dementia (James D, Page. 1978:209).
Pada masyarakat umum, penyakit jiwa ini biasanya diistilahkan dengan gila atau penyakit gila. Sebab mereka sering melakukan tingkah laku yang semaunya sendiri, tidak wajar dan abnormal.
Seseorang yang terserang penyakit jiwa, kepribadiannya terganggu dan selanjutnya menyebabkan kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar dan tidak sanggup memahami problemanya. Seringkali orang yang sakit jiwa tidak merasa bahwa dirinya sakit, sebaliknya ia menganggap dirinya normal, bahkan lebih baik, lebih unggul, dan lebih penting dari yang lain (Zakiah Darajat, 1990:56).
Jenis-jenis Penyakit Jiwa :
Penyakit jiwa biasanya dibedakan menjadi dua katagori umum, yaitu: Pertama, adalah kelainan mental yang dicirikan oleh gangguan fungsional. Warisan keturunan yang tidak menyenangkan (unfavovorable heredity) dilengkapi faktor-faktor konstitusional dan pengalaman hidup yang merugikan adalah merupakan sebab utama dari penyakit tersebut, termasuk dalam kategori ini adalah: schizopharenia, paranoia, manic-depressive dan involution melancolia. Kedua, terdiri dari penyakit mental yang dikelompokkan dengan pertanda atau bukti organik (toxis-organic psychoses) termasuk dalam kelompok ini adalah senile dementia, psychoses with cerebral arteriosclerosis, general presis, alcoholic psychoses (James D, 1978:212)
Seperti juga Zakiah sebutkan (Zakiah Darajat, 1990:56), bahwa penyakit itu terdiri dari dua macam: pertama, adalah penyakit jiwa yang disebabkan oleh gangguan-gangguan kejiwaan telah berlarut-larut, sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian yang wajar, atau dengan kata lain disebabkan oleh hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh akibat kondisi lingkungan yang sangat menekan, ketegangan batin dan sebagainya: kedua, penyakit jiwa yang disebabkan oleh adanya kerusakan anggota tubuh, misalnya: otak, sentral saraf atau anggota fisik lain untuk menjalankan tugasnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena keracunan akibat minum-minuman keras, obat-obat perangsang atau narkotik akibat penyakit kotor (sifilis), dan sebagainya.
Pandangan Islam tentang Penyakit Jiwa
Dalam perspektif Islam, penyakit jiwa sering diidentikkan dengan beberapa sifat buruk atau tingkah laku tercela (al-akhlaq al-mazmumah), seperti sifat tamak, dengki, iri hati, arogan, emosional dan seterusnya.
Hasan Muhammad as-Syarqawi dalam kitabnya Nahw ‘Ilmiah Nafsi (1970), membagi penyakit jiwa dalam sembilan bagian, yaitu: pamer (riya’), marah (al-ghadhab), lalai dan lupa (al-ghaflah wan nisyah), was-was (al-was-wasah), frustrasi (al-ya’s), rakus (tama’), terperdaya (al-ghurur), sombong (al-ujub), dengki dan iri hati (al-hasd wal hiqd).
Beberapa sifat tercela di atas ada relevansinya jika dianggap sebagai penyakit jiwa, sebab dalam kesehatan mental (mental hygiene) sifat-sifat tersebut merupakan indikasi dari penyakit kejiwaan manusia (psychoses). Jadi pada penderitanya sakit jiwa salah satunya ditandai oleh sifat-sifat buruk tersebut.
Riya’ :
Seperti yang dijelaskan oleh As-Sarqawi (1979:69), bahwa dalam penyakit riya’ terdapat unsur penipuan terhadap dirinya sendiri dan juga orang lain, karena hakikatnya ia mengungkapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Penyakit riya’ merasuk dalam jiwa seseorang dengan halus dan tidak terasa sehingga hampir tidak ada orang yang selamat dari serangan penyakit ini kecuali orang arif yang ikhlas dan taat.
Dalam riya’ terhdap unsur-unsur kepura-puraan, penipuan, munafik, seluruh tingkah-lakunya cenderung mengharap pujian orang lain, senang kepada kebesaran dan kekuasaan. Over acting, menutup-nutupi kejelekannya dan seterusnya. Sifat yang demikian ini digambarkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’: 142 dan at-Taubah:67 dan juga hadits nabi:
“Yang paling aku kuatirkan terhadap umatku adalah riya’ dan syahwat yang tersembunyi’.
Islam memberikan terapi riya’ ini dengan cara mengikis nafsu syahwat sedikit demi sedikit dan menanamkan sifat merendahkan diri (tawadu’) dengan melihat kebesaran Allah SWT (As-Syarqawi: 73).
Emosi/Marah :
Marah pada hakikatnya adalah memuncaknya kepanikan di kepala, lalu menguasai otak atau pikiran dan akhirnya kepada perasaan. Kondisi semacam ini seringkali sulit untuk dikendalikan (Ibid: 73).
Lebih lanjut As-Syarqawi mengungkapkan, bahwa emosi marah akan menimbulkan beberapa pelampiasan, misalnya secara lisan akan memunculkan caci-makian, kata-kata kotor/keji dan secara fisik akan menimbulkan tindakan-tindakan destruktif. Dan jika orang marah tidak mampu melampiaskan tindakan-tindakannya di atas, maka dia akan berkompensasi pada dirinya sendiri dengan cara misalnya: merobek-robek pakaian, menampar mukanya sendiri, mencakar-cakar tanah, membanting perabot rumah tangga dan seterusnya seperti tindakan orang gila. Marah juga dapat berpengaruh pada hati seseorang, yaitu sifat dengki dan iri hati, menyembunyikan kejahatan, rela melihat orang lain menderita, cemburu, suka membuka aib orang lain dan seterusnya. (Ibid: 79).
Atas dasar inilah maka nabi melarang orang yang sedang marah untuk melakukan putusan atau memutuskan sesuatu perkara sebagaimana sabdanya:
“Seseorang jangan membuat keputusan diantara dua orang (yang berselisih) sementara ia dalam keadaan marah”.
Al-Ghazali berpendapat, bahwa cara untuk menanggulangi kemarahan sampai batas yang seimbang dengan jalan mujahadah untuk kemudian menanamkan jiwa sabar dan kasih sayang (Ibid:81)
Berkaitan dengan hal di atas, Usman Najati ((1985:125-126) berpendapat bahwa emosi marah yang menguasai seseorang dapat membuat kemandegan berpikir. Di samping itu energi tubuh selama marah berlangsung akan membuat orang siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang akan disesali di kemudian hari, dengan jalan mengendalikan diri, sebab mengendalikan diri dari marah itu mempunyai beberapa manfaat:
1. Dapat memelihara kemampuan berpikir dan pengambilan keputusan yang benar.
2. Dapat memelihara keseimbangan fisik, karena mampu melindungi dari ketegangan fisik yang timbul akibat meningkatnya energi.
3. Dapat menghindarkan seseorang dari sikap memusuhi orang lain, baik fisik maupun umpatan, sikap tersebut juga dapat menyadarkan diri untuk selalu berintrospeksi.
4. Dari segi kesehatan, pengendalian marah dapat menghindarkan seseorang dari berbagai penyakit fisik pada umumnya.
Dalam hal ini Nabi juga sangat memuji tindakan pengendalian diri terhadap emosi marah ini dan menganggapnya sebagai orang yang kuat, sebagaimana sabdanya:
“Tidaklah orang dikatakan kuat itu adalah orang yang pandai bergulat, tetapi orang kuat adalah orang yang mampu menahan amarahnya”. (Lihat juga Q.S. 3:134).
Lalai dan Lupa : Lalai dan lupa termasuk salah satu dari penyakit mental. Lupa oleh sebagian psikolog juga digambarkan sebagai persoalan yang telah dilalaui sebelumnya. Dan berdasarkan penelitian para ahli, bahwa penyebabnya antara lain adalah:
a. Perbedaan kadar kemampuan seseorang di dalam menangkan dan mengingat sesuatu yang telah diketahui sebelumnya.
b. Bahwa pda mulanya proses kelupaan akan terjadi secara drastis dan berangsur-angsur (As-Syarqawi:83).
c. Banyaknya informasi yang diterima akibatnya terjadi inferensi informasi (Usman Najati: 29).
Proses kelupaan juga sangat erat kaitannya dengan waktu dan konsentrasi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sebagian psikolog berpendapat, bahwa seseorang yang terlalu banyak mengurusi persoalan-persoalan yang rumit, maka akan menyebabkan terjadinya proses kelupaan terhadap sesuatu yang telah diketahui sebelumnya. Oleh karena itu dianjurkan seseorang tidak terlalu memforsir diri. Dan hendaknya menyisihkan sebagian waktunya untuk beristirahat (rekreasi, refresing). Daya tangkap seseorang, tidak selmanya menjamin kemampuan ingatan seseorang, sebab secara internal terdapat faktor-faktor yang dapat menghalangi seseorang untuk mengingat sesuatu, seperti rasa takut yang mencekam dan adanya interferensi dan seterusnya. (As-Syarqawi:84).
Banyaknya informasi dan kegiatan yang menumpuk sebelumnya membuat seseorang semakin sulit untuk mengingat materi-materi yang dipelajari kemudian. Sementara jika informasi terhadap materi yang baru relatif lebih baik jika informasi dan kegiatan lebih sedikit. Hal ini terbukti pada anak yang lebih mampu mengingat secara mendetail berbagai peristiwa pada masa lalu daripada orang dewasa (Usman Najati:229).
Di sisi lain lupa merupakan sifat asal (tabiat) manusia. Tabiat inilah yang kadang-kadang membuat manusia lupa akan hal-hal yang penting, lalai akan Allah swt, dan perintah-Nya, sementara setan selalu menggodanya. Dari aspek ini kita melihat keberhasilan iblis dalam menggoda Adam As. (Ibid:232).