“Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (H. R. Tirmidzi dan Ahmad)
Kejujuran, sekali pun menyakitkan, pada akhirnya akan menenangkan jiwa kita. Pun sebaliknya. Ketika mendusta mungkin mudah dilakukan, pada akhirnya akan mengotori jiwa dan menghilangkan keberkahan. Ketika kita menipu, berbuat curang, menzalimi orang lain, meninggalkan salat dengan sengaja, atau menyakiti hati orangtua, jantung pasti berdetak lebih cepat dan muncul rasa panas di dada. Terasa sungguh tidak nyaman.
Rasa tidak nyaman itu adalah bagian dari rasa takut kita kepada Allah. Dan setelahnya akan muncul penyesalan besar yang menghimpit dada. Rasa yang bisa jadi tidak akan pernah hilang sepanjang usia kita. Maka bersyukurlah jika kita masih merasakan kegelisahan saat kita ingin berbuat dosa. Hingga kita mengurungkan niat jelek itu lalu mengucap istighfar.
Bersyukur pulalah kita jika terlanjur berbuat kemunkaran namun di akhirnya kita menangis. Menumpahkan air mata dengan tersedu-sedu. Memohon pada Allah untuk berkenan mengampuni kebodohan yang kita lakukan. Bertobat atas kekhilafan yang terlanjur terjadi.
Kita tentu pernah berada dalam kebimbangan menyikapi sesuatu hal. Bolehkah kita melakukannya? Bukankah tak ada larangan mengerjakannya? Tak ada seorang pun yang menyadari perbuatan kita, kan? Begitu tanya hati kita berulang-ulang.
Kita tahu ada hal-hal yang dilarang dalam agama, tapi kita mencari celah agar kita tak merasa berdosa saat mengerjakannya. Atau, kita merasa ragu tentang hukum sesuatu, tapi kita memaksakan diri untuk mengatakan bahwa sesuatu itu mungkin diperbolehkan dalam Islam. Bahkan dalam banyak kesempatan kita merasa tidak yakin terhadap sesuatu tapi tidak berusaha mencari tahu kebenarannya, hingga akhirnya kita memilih melakukan hal syubhat (sesuatu yang meragukan) tersebut.
Dalam hadits di atas, Rasulullah menyuruh umatnya untuk meninggalkan apa yang meragukan hati dan berpegang pada ketetapan syariah. Tujuannya agar hati tidak tergelincir untuk melakukan kebohongan, kecurangan, juga kejahatan. Agar hati tidak tergoda untuk mencoba-coba. Agar hati tidak dikalahkan oleh rasa ‘solidaritas’ untuk melakukan sebuah perbuatan tercela bersama-sama.
Maka takutlah kita jika tidak gelisah saat bermaksiat. Celakalah kita. Celakalah kita. Celakalah kita. Sungguh celaka. Karena itu pertanda hati mulai mengeras. Hati mulai tertutup debu. Nurani mulai jauh dari hidayah Allah. Jika kita sempat menyadarinya, kita tak boleh membuang waktu untuk bertobat. Kita mesti segera memohon dengan penuh iba kepada Allah, agar hati kembali disesaki kegelisahan bila keinginan berbuat dosa terlintas di benak kita. Karena kita harus gelisah untuk bisa terbebas dari neraka.
Referensi sebagai berikut ini ;