Rabu, 20 Juli 2022

Murtad Sebagai Alasan Perceraian Dalam Putusan Hakim

Murtad Sebagai Alasan Perceraian Dalam Putusan Hakim Mahkamah Syar’iyah dalam penelitian ini mengkaji tentang kepastian hukum mengenai ketentuan murtad di dalam Kompilasi Hukum Islam harus diperoleh agar benar-benar dapat menjadi pedoman bagi setiap subjek hukum dalam melakukan perbuatan hukum dan dapat pula menjadi pedoman bagi para Hakim Pengadilan Agama yang memutus perkara perceraian dengan alasan murtad. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan analisis data deskriptif analisis.

Ketentuan hukum dengan murtad sebagai alasan perceraian sebagaimana termaktub dalam Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam, haruslah memenuhi ketiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Selanjutnya pertimbangan hakim menerapkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa alasan perceraian yang diajukan pemohon/penggugat telah dapat dikwalifikasikan kedalam maksud penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jis. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991, dengan demikian gugatan pemohon/penggugat agar Majelis Hakim menjatuhkan talak satu ba’in sughra pemohon/penggugat terhadap termohon/tergugat telah beralasan menurut hukum.

Para hakim di Mahkamah Syar’iyah pada umumnya dalam memberikan putusan mengambil dasar hukum pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Terhadap gugatan Pemohon/Penggugat baik yang diakui oleh Termohon/Tergugat maupun yang dibantah, karena perkara aquo mengenai perceraian maka kepada Pemohon/Penggugat tetap dibebankan untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 angka (4) huruf (e).

Alat bukti (P) merupakan akta otentik yang berdaya bukti sempurna dan mengikat yang memberi bukti bahwa Pemohon/Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah.

Apabila kesaksian yang diberikan oleh minimal dua orang saksi Pemohon/Penggugat didasarkan pengetahuan, penglihatan dan pendengaran langsung saksi dan keterangannya saling terkait satu dengan yang lain, maka berdasarkan ketentuan Pasal 309 R.Bg jo. Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, saksi-saksi tersebut dipandang telah memenuhi syarat materil dan formil suatu kesaksian, maka keterangan saksi-saksi tersebut merupakan alat bukti yang mempunyai nilai pembuktian.

Menurut pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa untuk melakukan suatu perceraian harus ada cukup alasan di mana suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri dan pengadilan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum lslam (KHl) menegaskan salah satu alasan perceraian yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami isteri dan tidak ada harapan lagi untuk kembali rukun.

Majelis Hakim berpendapat Berdasarkan fakta sebagaimana diuraikan, bahwa antara Pemohon/Penggugat dan Termohon/Tergugat sudah tidak ada lagi ketentraman dan keharmonisan dalam membina rumah tangga karena telah terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang menunjukkan tidak adanya keinginan dari Pemohon/Penggugat untuk menerima Termohon/Tergugat lagi, sehingga melanjutkan rumah tangga yang seperti ini justru akan menimbulkan mudharat yang lebih besar dari pada mashlahatnyakarena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, saling mencintai dan saling menghormati sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 33 Undang Undang  Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 77 ayat (1), (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam sudah tidak terwujud sebagaimana diisyaratkan dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 21:

وَمِن ءَايَٰتِهِۦٓ أَن خَلَقَ لَكُم مِّن أَنفُسِكُم أَزوَٰجا لِّتَسكُنُواْ إِلَيهَا وَجَعَلَ بَينَكُم مَّوَدَّة وَرَحمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأيَٰت لِّقَوم يَتَفَكَّرُونَ .

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

Kemudian Apabila berpisahnya Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat memang merupakan sebuah kerusakan (mafsadah) bagi kehidupan rumah tangga Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat. Akan tetapi, bila perkawinan mereka tetap dipertahankan, juga merupakan sebuah kerusakan (mafsadah). Karena, didalam rumah tangga Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugattidak terwujud lagi keharmonisan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan dikarenakan dalam rumah tangga Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat selalu terjadi perselisihan dan pertengkaran. Oleh karena itu, Majelis Hakim berkesimpulan bila dua mafsadah (kerusakan) saling berhadapan, maka solusi hukumnya adalah melihat mafsadah (kerusakan) mana yang lebih sedikit akibat bahaya yang ditimbulkan dari keduanya. Hal ini, sesuai dengan kaedah fiqh yang berbunyi:

اذا تعارض المفسدتان ارتكب اخف بهما ضررين

Artinya: “Bila terjadi pertentangan di antara dua mafsadah/kerusakan, maka jalan keluarnya adalah melihat bahaya mana yang lebih sedikit akibat yang ditimbulkan dari keduanya”.

Selainitu, bila Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat disatukan kembali dan kemudian menjalankan kehidupan rumah tangga sebagaimana biasanya memang ada kemaslahatan di dalamnya karena dapat menjaga mempertahan kankeutuhan rumah tangga dan menjaga martabat keluarga baik dari pihak Pemohon/Penggugat dengan Termohon/Tergugat. Menurut ajaran Islam, walaupun ada kemaslahatan tetapi juga disitu ada mafsadah (kerusakan), maka meninggalkan kerusakan lebih utama daripada mengambil kemaslahatan. Hal ini, sesuai dengan kaedah fiqh yang berbunyi:

ترك المفاسدمقدم على جلب المصالح 

Artinya: “Meninggalkan kerusakan lebih utama daripada mengambil kemaslahatan”.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa alasan perceraian yang diajukan Pemohon/Penggugat telah dapat dikwalifikasikan kedalam maksud penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jis. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (k) Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991, dengan demikian gugatan Pemohon/Penggugat agar Majelis Hakim menjatuhkan talak satu ba’insughra Pemohon/Penggugat terhadap Termohon/Tergugat telah beralasan menurut hukum.

Dengan beralasannya gugatan Pemohon/Penggugat, maka berdasarkan Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, gugatan Pemohon/Penggugat patut dikabulkan.

Adapun murtad menurut teori hukum antar tata hukum belum mempunyai dampak yuridis jika tidak disertai dengan adanya suatu perpindahan sosial dari mereka yang murtad itu. Artinya, orang yang pindah agama itu benar-benar telah meninggalkan syariat agamanya semula beserta kewajiban-kewajibannya, sudah diterima oleh masyarakat agamanya yang baru dan benar-benar melaksanakan ajaran agama yang baru itu. Peralihan agama bukan sekedar persoalan pribadi dan persoalan keagamaan, tetapi harus merupakan peralihan sosial yuridis agar mempunyai akibat hukum di bidang status sosial seseorang.

Yang dimaksud dengan murtad dalam kaitannya dengan perceraian berdasarkan hukum positif di Indonesia, adalah murtad yang dilakukan dengan resmi, dengan alat-alat bukti yang dapat menimbulkan kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan Surat Mahkamah Islam Tinggi tanggal 7 Januari 1939 No. A/6/9 yang menyatakan bahwa murtad itu harus terbukti di hadapan sidang Pengadilan Agama. Dan murtad yang dilakukan tanpa ada paksaan, sehingga akibat dari murtad tersebut perkawinan tidak mungkin dapat berjalan dengan langgeng.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, segala macam bentuk perceraian, termasuk perceraian dengan alasan murtad, harus melalui proses pengadilan dan perceraian baru sah  setelah mendapat keputusan dari Pengadilan. Bahkan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perceraian dengan alasan murtad hanya dapat dikabulkan jika murtad tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Inilah yang menjadi inti yang membedakan antara fasakhnya (batal) perkawinan akibat murtad menurut hukum Islam dengan perceraian dengan alasan murtad menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Dalam hukum positif di Indonesia, Pengadilan tidak berwenang untuk memutuskan suatu perkawinan akibat murtad (pindah agama) apabila tidak terjadi permasalahan rumah tangga, meskipun secara agama khususnya hukum Islam perbuatan tersebut menyebabkan perkawinan menjadi terfasakh (batal). Hakim hanya berwenang mengadili sebatas apa yang menjadi isi gugatan sehingga diluar isi gugatan hakim tidak berwenang untuk mengadili dan memutuskannya.

Berdasarkan kedua dalil ini dapatlah dipahami alasan perumusan redaksi Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam mengenai murtad sebagai alasan perceraian di pengadilan, yaitu peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Ketentuan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas bukan hanya menggantungkan syarat perceraian kepada alasan “telah terjadinya peralihan agama (murtad) oleh salah satu pihak dalam perkawinan”, tetapi secara terikat digantungkan pula kepada syarat “terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga akibat murtad tersebut”.

Artinya, alasan perceraian menurut Pasal 116 huruf (h) haruslah memenuhi 2 (dua) kualifikasi hukum yang tak terpisahkan, yaitu:

Adanya peralihan agama (murtad) oleh salah satu pihak dalam perkawinan, yaitu suami atau istri;

Adanya ketidakrukunan dalam rumah tangga akibat peralihan agama (murtad) tersebut.

Kualifikasi ini mengandung konsekuensi hukum bahwa peralihan agama (murtad) oleh satu pihak dalam perkawinan yang tidak mengakibatkan ketidakrukunan dalam rumah tangga, tidaklah dapat menjadi alasan perceraian. Jika rumah tangga tetap rukun setelah suami atau istri murtad, maka pihak yang tetap beragama Islam tidak mempunyai alasan apapun untuk mengajukan tuntutan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dengan demikian, ketentuan Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam haruslah dibaca sebagai berikut: “Murtad (peralihan agama) dapat menjadi alasan perceraian, hanyalah jika kondisi setelah terjadinya murtad itu berdampak pada terjadinya suatu bentuk ketidakrukunan dalam rumah tangga pihak yang mengajukan perceraian”.

Bukan hanya murtadnya suami atau istri yang harus dibuktikan di Pengadilan. Ketidakrukunan dalam rumah tangga akibat murtad tersebut harus pula dibuktikan di Pengadilan oleh pihak yang mengajukan tuntutan perceraian. Pembuktian ketidakrukunan dalam rumah tangga para pihak berperkara harus dinilai Majelis Hakim di Pengadilan dengan terlebih dahulu menentukan kualitas perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri yang didalilkan oleh pihak yang mengajukan perkara dengan penilaian dan pertimbangan sebagai berikut :

Para pihak sudah tidak dapat didamaikan.

Ketika persidangan dibuka untuk pertama kalinya dalam perkara perceraian, Hakim berusaha mendamaikan pihak yang berpekara dengan cara menasehati mereka untuk hidup rukun kembali dalam kehidupan rumah tangga.

Usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dalam sidang terbuka untuk umum sebelum memasuki pemeriksaan terhadap pokok perkara permohonan cerai talak atau cerai gugat, bahkan dapat dilakukan secara intensif pada setiap persidangan.

Selain usaha mendamaikan yang dilakukan hakim di persidangan, kedua belah pihak juga harus menjalani proses mediasi yang dibantu oleh mediator.

Apabila para pihak tidak sepakat untuk berdamai maka dilanjutkan acara berikutnya yaitu pembacaan surat gugatan, mendengar jawaban tergugat dan penggugat dipersidangan, pemeriksaan alat bukti dan saksi-saksi dan pembacaan putusan.

Penilaian hakim mengenai telah terjadi perselisihan dapat dilakukan oleh hakim selama proses persidangan berlangsung, jika para pihak yang berperkara ternyata masih dapat rukun kembali atau apabila terlihat nyata dalam sikap para pihak rumah tangga mereka masih rukun, maka majelis hakim akan menilai bahwa kondisi yang demikian itu belum dapat dijadikan alasan perceraian.

Hakim dalam mengadili suatu perkara perceraian yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa mengenai ketidakrukunan tersebut, baik berupa perselisihan dan pertengkaran terus menerus maupun berupa ketidakharmonisan dalam rumah tangga tersebut. Fakta dan peristiwa tersebut harus dibuktikan dengan saksi saksi dan alat bukti yang diajukan para pihak.

Ketidakrukunan dalam rumah tangga bukanlah merupakan sebab utama, akan tetapi merupakan akibat dari sebab lain yang mendahuluinya, yaitu perbedaan agama akibat murtad yang menimbulkan perbedaan dan perselisihan antara suami dan istri. Murtadnya suami atau istri tersebut haruslah merupakan fakta dan peristiwa yang mengganggu keharmonisan rumah tangga sehingga menyebabkan keretakan rumah tangga dan keadaan tersebut tidak dapat dipulihkan kembali.

Jika murtadnya suami atau istri tersebut dapat dimaklumi oleh istri atau suaminya, atau jika suami istri secara bersama-sama dapat mengatur rumah tangga dengan baik dan rukun, maka tidak ada masalah dalam rumah tangga, dan karenanya perkawinan tersebut tidak dapat diputuskan dengan perceraian, karena perkawinan antara suami isteri dapat dipulihkan kembali.

Referensi sebagai berikut ini ;