Sabtu, 16 Juli 2022

Mengharap Ampunan Allah Swt

Mengharap Ampunan Allah Swt, Banyak ustadz dan banyak dari penceramah banyak dari pendakwah, kita sering mengatakan bahwa hari-hari dalam bulan Ramadan itu dibagi ke dalam tiga kelompok. Sepertiga pertama dipenuhi dengan rahmat Allah. Sepertiga kedua dipenuhi dengan ampunan Allah. Dan sepertiga terakhir adalah masa dimana kita mengharap dapat dijauhkan dari api neraka.

Dari klasifikasi itu, saat ini kita sudah memasuki tahapan kedua, yaitu mengharap ampunan dari Allah. Manusia yang memiliki kesadaran spiritual tentu sangat menyadari bahwa tidak ada satu pun manusia yang bisa lepas dari salah dan dosa. Dosa-dosa yang dilakukan bisa jadi dilakukan secara sengaja atau juga tidak disengaja. Dosa-dosa itu bisa dikategorikan sebagai dosa besar atau dosa kecil.

Namun satu hal yang pasti, dosa-dosa itu tidak boleh dibiarkan terus bersemai dalam diri manusia. Dalam salah satu hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda yang berbunyi, “Setiap anak Adam itu pasti berdosa dan sebaik-baik orang yang berdosa ialah yang memohon taubat (kepada Tuhannya).” (HR At-Tirmizi). Dengan demikian, orang yang baik bukanlah orang yang tidak memiliki dosa. Orang yang baik sesungguhnya adalah orang yang segera memohon ampun kepada Allah atas semua dosa yang dilakukan.

Dalam menghapus dosa, Islam memberikan tuntunan agar dilakukan dengan bertaubat. Ada tiga unsur penting dalam melakukan taubat. Pertama, menyadari dan mengakui telah berbuat dosa. Kedua, memohon ampunan agar dosa itu dihapuskan. Dan ketiga, berjanji sepenuh hati untuk tidak melakukan dosa seperti itu di masa yang akan datang. Ketiga unsur inilah yang dapat dijadikan sebagai parameter dalam mengukur diterima atau tidaknya taubat seseorang.

Berbeda dengan dosa yang dilakukan kepada Allah, dosa terhadap manusia memerlukan persyaratan lain agar seseorang memperoleh pengampunan. Persyaratan itu adalah permohonan maaf kepada orang yang pernah disakit dan mengakibatkan terciptanya dosa. Taubat hanya akan diterima Allah jika persoalan dengan sesama manusia sudah selesai.

Dalam kaitan ini, terlihat secara jelas relevansi antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Seseorang tidak dikatakan baik jika dia secara indvidual tidak menjaga hubungan baik dengan orang lain. Hubungan manusia dengan Allah (hablum min Allah) sangat tergantung pada hubungan manusia dengan manusia lain (hablum min al-nas).

Karena itu, momentum ibadah puasa Ramadan sudah semestinya dapat dimanfaatkan untuk mencari ampunan Allah. Dalam bulan ini, hubungan personal dengan Allah haruslah diselaraskan dengan hubungan sosial dengan orang lain. Karena itu, meminta maaf dan memberi maaf adalah dua jenis perbuatan yang terkadang sulit dilakukan tetapi memiliki makna yang sangat besar dalam pandangan Allah.

Mengharap Rahmat Allah dan Tidak Putus Asa, Di bulan suci Ramadan ini, sebagai seorang muslim, kita semua mengharap rahmat, ampunan dan pertolongan serta kemurahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan, seharusnya pula kita selalu bersyukur atas apa yang sudah Allah berikan, keselamatan yang berupa pertolongan. Ketika kita diberikan kemudahan, karena itu semua merupakan kenikmatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharap nikmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218)

“Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya Allah amat dekat kepada orang-orang berbuat baik.”  (QS. Al-Araf: 56)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mewajibkan berbaik sangka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana wajib pula takut kepadaNya. Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda: “Allah berfirman, “Aku tergantung prasangka hambaKu kepadaKu dan Aku akan bersamanya ketika ia mengingatKu.” (Mutafaq ‘alaih) 

Tidak Putus Asa dari Rahmat Allah Swt,  Haram hukumnya bagi seorang mukmin untuk berputus asa dari Rahmat Allah dan karunia-Nya. Dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata, sesungguhnya Rasulullah bersabda: Andai kata seorang mukmin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah, tentu tak ada seorang pun yang tidak mengharapkan surga dariNya. Dan andai kata orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka tak akan ada seorang pun yang putus harapan dari surga Allah.” (Mutafaq’alaih)

“Ada tiga golongan manusia yang tidak ditanya di hari kiamat, yaitu; manusia yang mencabut selendang Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya merupakan al-izzah (keperkasaan), manusia yang meragukan perintah Allah, dan manusia yang putus harapan dari nikmat Allah.” (HR. Ahmad Ath-Thabani dan al-Bazaar, al-Haitsami)

Para rasul tidak pernah putus harapan dari pertolongan dan jalan keluar dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka hanya putus  harapan dari keimanan kaumnya.

Allah berfirman: “Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdusta.”(QS. Yusuf: 110)

Maka, janganlah berputus harapan dari pertolongan Allah, tetap berprasangka baik kepada Allah. Tetap berpegang pada syar’iat Nya. (Disarikan dari kitab Muqawimat Nafsiyah Islamiyah, Bab 7, Halaman 107) Semoga kita istiqomah dalam mengharap rahmat dari Allah Swt.

“Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan & sebaik-baik yang melakukan kesalahan adalah mereka yang banyak bertaubat.” (HR Ibnu Majah).

Tidak ada yang ma’shum selain Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau saja setiap hari memohon ampun sepenuh kesungguhan, maka apakah kepantasan kita menganggap dosa diampuni dengan sendirinya tanpa menginsyafi kesalahan dan memohon ampunan penuh kesungguhan? Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan memang akan mendapat ampunan. Tetapi, termasuk kitakah itu? Mari sejenak menilik diri (introspeksi).

Renungkanlah hadis berikutnya:

“مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena keimanan & mengharap pahala (dari Allah Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari & Muslim).

Hanya mereka yang berpuasa benar-benar karena iman dan mengharap pahala Allah Ta’ala saja yang akan mendapat ampunan di bulan Ramadhan ini. Pertanyaannya, sudah benar-benar berimankah kita? Atau saat mengawali Ramadhan saja kita sudah merindukan ‘Idul Fithri?

Betapa sering hati ini risau tiap mendengar khutbah ‘Idul Fithri. Tanpa introspeksi, banyak khatib yang mengajak berbangga seakan dosa kita telah terhapus semua tanpa peduli apa upaya yang kita lakukan dalam menjalani Ramadhan.

Alangkah berbedanya kita dengan para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, orang yang paling dekat dengan Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Ujung Ramadhan mereka adalah airmata karena mengkhawatiri amal dan ‘ibadah tak diterima; mengkhawatiri kualitas ibadah dan amal shalih. Sementara banyak dari kita yang justru bergembira karena saat istimewa bernama Ramadhan segera usai

Bahkan Allah sendiri telah menawarkan kepada seluruh hamba-Nya, terutama mereka yang telah hanyut dalam berbagai macam dosa dan maksiat, agar mereka tidak berputus asa untuk mengharapkan rahmat Allah.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar: 53).

Namun untuk bisa mendapatkan rahmat dan ampunan Allah, syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah bertaubat. Karena itu, dalam lanjutan ayat, Allah menegaskan

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Bertaubatlah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS. az-Zumar: 54).

Inti taubat adalah menyesali perbuatan maksiat yang pernah dilakukan, meninggalkannya dan bertekad untuk tidak mengulangi. Yang semuanya dilakukan secara ikhlas karena Allah, bukan karena tendensi dunia

Referensi sebagai berikut ini ;