Rabu, 27 Juli 2022

Mencegah Maksiat, Mendekatkan Diri kepada Allah Swt

Mencegah Maksiat, Mendekatkan Diri kepada Allah Swt. Kekuatan hati dalam diri seseorang yang mencegah dan melarangnya untuk berbuat segala bentuk kesalahan dan kemaksiatan disebut 'ismah. Para nabi dan rasul mempunyai keberpihakan kepada kebenaran yang sangat kuat sehingga mereka jarang berbuat maksiat.

Akan tetapi, sebagai manusia, mereka tidak terbebas dari kekhilafan. Nabi Adam, misalnya, tergoda bujuk rayu iblis untuk mencicipi buah khuldi atau Nabi Yunus yang tercela karena lari meninggalkan kaumnya seperti diinformasikan oleh Allah SWT dalam surah Assaffaat ayat 142: ''Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela.''

Mencegah kemaksiatan bisa diasah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berusaha sungguh-sungguh untuk selalu melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Manusia dikaruniai oleh Allah akal budi dan hati nurani. Kecenderungan setiap orang atau fitrah seseorang adalah berpihak kepada hati nurani karena hati nurani akan memberikan tanda yang selalu berkiblat pada kebenaran.

Ini adalah fitrah yang dimiliki oleh setiap insan ciptaan Allah. Jadi, sejatinya setiap manusia mempunyai kecenderungan kepada kebenaran yang diwakili oleh hati nurani.

Persoalannya sekarang adalah seberapa kuat komitmen seseorang untuk jujur dan berpihak kepada hati nuraninya, sehingga apa yang dilakukannya selalu yang diridhai oleh Allah SWT? Di sinilah perlunya tuntunan agama dalam kehidupan seseorang.

Salah dan khilaf adalah ciri manusia ciptaan Allah. Hanya Allah yang Mahasempurna. Oleh sebab itu, ampunan dan kasih sayang Allah melebihi salah dan khilaf yang diperbuat manusia.

Kecenderungan untuk selalu berjalan di atas rel yang telah Allah tentukan harus secara terus-menerus dipelihara, dikokohkan, dan diimplementasikan dalam segala jenis aktivitas walau tanpa disadari kesalahan-kesalahan kecil sering terjadi.

Sesaat saja manusia tidak ingat akan Allah, itu sudah kekhilafan, apalagi sampai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan fitrah dan hati nuraninya.

''Yaitu, orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas Ampunan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang keadaanmu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.'' (QS An-Najm [53]: 32).


Pertama, muhasabah atau introspeksi diri dengan mohon petunjuk dan ampunan kepada Sang Pencipta. Adakalanya musibah dan kesulitan yang terjadi akibat perbuatan manusia itu sendiri, karena kita memang tempatnya salah dan lupa, kesalahan bukanlah suatu aib yang harus di tutupi, akan tetapi jika itu berhubungan dengan hablum min naas maka kita harus minta maaf secara langsung, dan apabila berbuat dosa kepada Allah maka bermunajat mohon ampunan serta tidak mengulangi lagi perbuatan dosa, Insyaallah pengampunan dan kasih sayang Allah SWT Maha Luas. Allah SWT berfirman:

فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62)

Artinya : “Maka Bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna“” (QS. an-Nisaa’[4] : 62).

Kedua, menyadari bahwa kami milik Allah SWT6 dengan demikian apa saja yang kita lakukan dengan niat semata-mata karena lillahi ta’ala. Hakikat kehidupan dunia adalah ditandai dengan adanya cobaan dan ujian yang beraneka ragam. Sebagian ada yang berhasil dan ada pula yang gagal melewatinya. Proses perjuangan untuk menaklukkkan cobaan dan ujian inilah yang kemudian disebut dengan hidup. Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156)

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun””(QS. al-Baqarah [2]: 156)

Ketiga, menyadari bahwa musibah dan kesulitan milik semua orang, semua orang pasti akan mengalami dan menemui musibah dan kesulitan sebagai ujian dalam kehidupannya dengan bentuk dan kadar yang berbeda-beda, tidak perlu iri dengan kemudahan dan kesenangan yang didapat oleh orang lain. Kadangkala sebagian orang harus menjadi korban demi sebagian orang yang lain. Harus ada yang sakit agar manusia mengetahui nikmatnya sehat, harus ada yang menakutkan agar diketahui nilai keberanian,  harus  ada  petaka  agar  dirasakan  makna  kesabaran.7 Allah SWT berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155)

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. al-Baqarah [2]:155).

Musibah dan kesulitan bisa diartikan sebagai alat untuk menguji tingkat keimanan dan kesabaran manusia. Terlalu naif jika dalam kehidupan ini memimpikan suasana dan keadaan yang serba enak dan mudah. Namun, bukan berarti kita tidak boleh untuk hidup bahagia dan senang, kita hanya diingatkan bahwa kebahagiaan yang sejati dan abadi adalah kebahagiaan di alam akhirat kelak. Allah SWT berfirman:

وَأَكِيدُ كَيْدًا (16) فَمَهِّلِ الْكَافِرِينَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا (17)

Artinya: “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’la [87]: 16-17).

Keempat, menyadari bahwa musibah dan kesulitan yang menimpa setiap orang setara dengan kemampuan dan kesanggupan untuk memikulnya. Allah tidak akan membebani di luar batas kemapuan seorang hamba untuk memikulnya. Allah SWT berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya” (QS. al-Baqarah [2]:286)

Ini adalah bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hambanya, dibalik musibah dan kesulitan mengandung hikmah dan kebaikan, selain itu tidak akan melampaui batas kemampuan manusia.

Kelima, menyadari dan yakin bahwa dalam setiap musibah dan kesulitan ada kemudahan, Islam mengajarkan, bahwa letak kemudahan itu ada di balik kesulitan, karena sesunggunya bersama kesulitan ada kemudahan. Allah SWT berfirman:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)

Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. al-Insyirah [94]: 5 – 6).

Dari setiap musibah dan kesulitan ini akan memberikan gambaran yang jelas tentang siapa diri kita. Karena ia adalah representasi yang mampu memberikan gambaran utuh tentang kepribadian dan karakter kita. Musibah dan kesulitan akan menjadi bayangan yang akan terus melekat kepada manusia. Keniscayaan bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput darinya,8 bisa datang kapan dan dimana saja. Tahapan-tahapan ujian diciptakan oleh Allah SWT untuk mengetahui siapa-siapa dari hambaNya yang sabar dan syukur dan juga menjelaskan siapa saja dari hambaNya yang kufur. Ketika semua usaha telah dikerahkan dan tidak mampu teratasi, maka secara alami manusia akan bersimpuh dan menyebut Tuhannya agar diturunkan pertolongan. Itulah hikmah di balik musibah dan kesulitan. Maka janganlah kita membenci musibah dan kesulitan, karena terkadang melalui kehadirannya kita menjadi dekat dan bersyukur kepada Sang Kholiq.

Inilah realita kehidupan, musibah dan kesulitan jika dipahami dengan bijaksana akan menumbuhkan kesadaran alamiah bahwa itu merupakan bagian dari lembaran hidup yang harus dijalani. Jika demikian, maka tidak akan ada lagi perasaan takut, sedih berlebihan, putus asa untuk menghadapinya.

Referensi sebagai Berikut ini ;