Memahami Akibat Hukum Perceraian Qabla Al-Dukhul, Fenomena perceraian sebelum hubungan badan suami-istri atau qabla al-dukhul semakin marak terjadi di masyarakat. Terdapat berbagai penyebab perceraian tersebut, seperti kawin paksa, hamil di luar nikah, pertengkaran pengantin baru hingga kematian suami sebelum terjadinya percampuran pengantin. Pembahasan qabla al-dukhul mendapat bagian tersendiri dalam hukum perceraian. Dari sisi persyaratan serta akibat hukum khususnya hak dan kewajiban suami-istri berbeda dibandingkan dengan perceraian secara umum.
Jadi apabila dihubungkan, kata qabla dan kata al-dukhūl dapat dipahami bahwa qabla al-dukhūl merupakan keadaan dalam ikatan perkawinan suami istri yang belum melakukan pencampuran suami-istri. Lalu, bagaimana syarat-syarat perceraian qabla al-dukhul dapat sah dilakukan? apabila perceraian qabla al-dukhul terjadi karena suami meninggal dunia sebelum terjadi hubungan intim suami-istri, maka proses putusnya perkawinan sama seperti putusnya perkawinan karena kematian, artinya persyaratan yang dibutuhkan hanya bukti akta kematian suami dan tidak melalui proses persidangan perceraian.
Tetapi apabila perceraian qabla al-dukhul terjadi karena permohonan talak suami ke Pengadilan Agama, maka syarat-syaratnya sama seperti syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama, yaitu dengan mengajukan permohonan talak baik secara tertulis maupun secara lisan dengan menyertakan alasan-alasan Perceraian.
Prosedur/Tata Cara perceraian diatur dalam Pasal 39-41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Pasal 14-36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan. Sedangkan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), prosedur dan tata cara perceraian diatur dalam Pasal 129-148 KHI.
Hal yang menjadi catatan bahwa perceraian qabla al-dukhul ini harus dilaksanakan dalam persidangan dan didasarkan pada Putusan Pengadilan Agama kecuali perceraian di mana salah satu pasangan meninggal dunia atau cerai mati. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 8 jo Pasal 115 KHI, dan Pasal 39 UU Perkawinan.
Catatan Tersendiri di Pengadilan Agama
Berdasarkan penulusuran Hukumonline pada direktori putusan Mahkamah Agung, perceraian qabla al-dukhul menjadi catatan tersendiri di Pengadilan Agama. Dalam putusan-putusan tersebut terdapat berbagai alasan terjadinya perceraian qabla al-dukhul seperti kawin paksa, dan pertengkaran. Ada juga, perceraian terjadi karena istri menolak berhubungan badan dengan suami barunya karena masih teringat dengan mantan suami.
Fenomena perceraian qabla al dukhul yang diajukan ke Pengadilan Agama memang menjadi catatan tersendiri, sebagian besar hakim di Pengadilan Agama menyayangkan hal ini bisa terjadi, dan secara pribadi pun saya juga menyayangkan jika hal ini terjadi. Persoalan perkawinan bukan persoalan sepele, hal ini sebagai bukti bahwa persoalan itikad baik dan kesepakatan dalam perkawinan merupakan hal utama dan pertama harus diimplementasikan oleh pasangan suami-istri maupun oleh orang tua atau wali dari pasangan tersebut.
Adanya kawin paksa atau pernikahan di mana salah satu calon pengantin menyembunyikan sesuatu yang dianggap hal sepeleh tetapi pada akhirnya dapat memicu terjadinya keributan yang berujung pada ketidak percayaan dan perceraian, merupakan alasan mengapa perceraian qabla al-dukhul ini diajukan ke Pengadilan Agama.
Perlu penguatan dalam pemaknaan perkawinan sebagai ikatan suci yang menghendaki hubungan keluarga yang kekal tidak hanya ditekankan kepada pasangan pengantin tetapi juga kepada keluarga atau wali dari kedua mempelai.
Perceraian qabla al-dukhul tentunya memiliki dampak negatif, baik bagi pasangan maupun bagi anak yang ada dalam kandungan istri. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan terlindunginya hak-hak istri yang diceraikan, karena berdasarkan Pasal 149 KHI perceraian qabla al-dukhul tidak mewajibkan suami untuk memberikan mut’ah, dan nafkah, maskan dan kiswah.
Belum lagi persoalan nama baik keluarga tentunya menjadi persoalan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan khususnya pada daerah-daerah yang masih memegang teguh sistem adat istiadat. Akibat perceraian qabla al-dukhul memang hanya berimbas pada persoalan pemberian mas kawin dan nafkah dari suami kepada istri dan anak dari luar pernikahan. Mengenai harta perkawinan atau pembagian harta gono gini tidak menjadi pembahasan karena rata-rata usia perkawinan belum lama terjadi dan belum ada harta pencarian bersama yang dihasilkan.
Perceraian qabla al-dukhul ini dapat terjadi karena suami meninggal sebelum melakukan hubungan intim suami-istri atau terjadi karena suami mengajukan permohonan talak ke pengadilan. Kedua perbedaan kondisi ini juga memiliki dampak yang berbeda, maka dari itu pembahasan dampaknya akan dipisahkan.
Akibat hukum perceraian qabla al-dukhul apabila suami meninggal dunia sebelum melakukan hubungan intim sebagai suami-istri, maka mengenai mas kawin atau mahar, nafkah, dan mewaris, istri tersebut tetap memperoleh haknya sebagaimana hak istri yang telah dicampuri suaminya. Hal ini didasarkan pada penghormatan sebagai wanita dan kondisi tersebut terjadi bukan karena kehendak tetapi takdir dari Ilahi. Pernyataan ini dikuatkan berdasarkan mazhab dari imam Maliki dan Syafi’i. Sedangkan terhadap anak di luar pernikahan tidak mendapatkan hak nafkah maupun hak mewaris dari suami ibunya tersebut.
Sementara itu, akibat hukum perceraian qabla al-dukhul apabila suami mengajukan permohonan talak ke Pengadilan Agama, maka akibat hukum terhadap mas kawin atau mahar dari suami apabila mahar tersebut telah dilunasi pada saat perkawinan dilangsungkan maka mahar tersebut tetap menjadi hak bagi istri. Sedangkan, apabila mahar tersebut belum lunas alias masih ditangguhkan atau dihutang, maka berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa apabila suami yang menalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
Bagaimana dengan nafkah dan mewaris? Berdasarkan ketentuan Pasal 149 KHI, istri yang diceraikan qabla al-dukhul tidak berhak atas mut’ah, nafkah maupun atas warisan dari suami, tetapi apabila suami dengan alasan kemanusiaan mau memberikan tidak dilarang.
Lalu, bagaimana anak di luar pernikahan? Anak di luar pernikahan tidak berhak atas nafkah maupun warisan dari suami ibunya. Hal ini didasari dengan ketentuan Pasal 43 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 100 KHI, bahwa anak yang tidak sah atau lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.
Putusan Pengadilan
Berbagai putusan perceraian qabla al-dukhul yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, memang rata-rata memberikan putusan pembebasan kewajiban suami untuk memberikan mut’ah (uang atau benda berharga), nafkah, dan waris kepada istri yang diceraikan. Hal ini dilakukan dengan mendasarkan putusan pada ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya ketentuan yang terdapat dalam KHI.
Dari tiga putusan yang dikutip soal perceraian qabla al-dukhul yaitu putusan Nomor 968/Pdt.G/2021/PA.Lmj, putusan 258/Pdt.G/2020/MS.Jth dan putusan Nomor 258/Pdt.G/2020/MS.Jth, memang mewajibkan suami memberi mut’ah, nafkah dan waris kepada istri yang diceraikan. Kondisi tersebut dianggap belum memberi rasa keadilan.
Putu berpendapat seharusnya hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya didasarkan pada aturan yang berlaku saja, baiknya juga pertimbangan hati nurani dapat dilibatkan dalam kasus perceraian qabla al-dukhul, namun tidak semua kasus rata diterapkan, masih dilihat dan dipertimbangkan kasus demi kasus.
Apabila memungkinkan untuk kasus perceraian qabla al-dukhul yang tidak berkaitan dengan alasan perzinaan, hakim dapat memberikan tambahan putusan mengenai mut’ah kepada istri yang diceraikan.
Hal yang dapat menjadi pertimbangan adalah sebagai bentuk penghargaan dari sisi kemanusiaan, terutama jika diketahui si-istri tidak memiliki penghasilan atau tidak berkecukupan. Bagaimanapun juga wanita yang diceraikan akan sakit hatinya dan memperoleh stigma negatif di dalam masyarakat, bukan hanya si-wanita tetapi juga keluarganya, maka pemberian mut’ah sebagai bentuk hadiah pelipur hati dan memelihara jalinan hubungan baik meskipun sudah bercerai.
Menurutnya, pemberian mut’ah ini akan dapat menghilangkan prasangka atau fitnah yang berkembang di masyarakat, serta akan memberikan perasaan kasih sayang dan saling memaafan satu sama lain. Pemberian mut’ah ini juga dapat menjauhkan rasa penyesalan dan kekecewaan atas perceraian yang terjadi, sehingga mut’ah dapat berfungsi sebagai bentuk kemanusiaan dan kenang-kenangan yang memberi penghargaan kepada perempuan.
Putu menyampaikan pada dasarnya suatu perceraian yang diajukan ke pengadilan terjadi dalam kondisi suami-istri bertikai, artinya ada keterlibatan emosional dan bahkan mengarah kepada kemarahan atau dendam. Hal yang teramat sulit untuk meminta suami memenuhi kewajibannya saat terjadi perceraian qabla al-dukhul, apalagi didukung dengan perangkat hukum yang membebaskan suami dari pemenuhan mutah, nafkah, dan waris atas perceraian qabla ql-dukhul tersebut.
Sehingga, dia menilai hal yang dapat dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan. Suami perlu diingatkan bagaimana ia saat meminta ke keluarga wanita untuk menjadikannya sebagai istri, maka pada saat mengembalikannya pun harus dilakukan secara baik-baik dengan pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan. Persoalan pemberian mut’ah dan pemenuhan nafkah kepada istri yang diceraikan memang menjadi keikhlasan dari suami untuk memenuhinya atau tidak.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan mengenai pemulihan nama baik istri yang diceraikan dan keluarganya, persoalan ini yang kadang tidak dihiraukan pihak suami dan keluarganya. “Bentuk penguatan untuk suami melaksanakan kewajibannya memang harus ditetapkan oleh hakim dalam amar putusannya, tanpa adanya suatu ketetapan maka jaminan kepastian untuk dapat dilakukan pemenuhan kewajiban suami atas pemenuhan hak-hak istri sulit untuk dilakukan,
Referensi sebagai berikut ;