Menurut ajaran Islam, perkawinan adalah ikatan suci, agung dan kokoh, antara seorang pria dan wanita sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, untuk hidup bersama sebagai suami-isteri. Al-Qur’an menyebutkan dengan kata-kata “Mitsaaqan ghaliza” yakni perjanjian yang suci dan mulia, yang setara dengan perjanjian Allah dengan para Nabi. Hanya tiga kali Allah memakai kata tersebut dalam Al-Qur’an, yaitu:
Dalam surah Al-Ahzab ayat 7: Artinya : “Dan (ingatlah) ketika kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”
Maksudnya: perjanjian yang teguh ialah kesanggupan menyampaikan agama kepada umatnya masing-masing.
Dalam surah An-Nisa’ ayat 154 yaitu ketika Allah SWT berjanji dengan Bani Israil untuk mengangkat Bukit Tursina di atas pundak mereka yang siap untuk memusnahkannya.
Dalam surah An-Nisa’ ayat 21, ketika Allah mengabadikan perjanjian perkawinan.
Sedangkan menurut hukum pernikahan Kristen Protestan dan Katolik, perkawinan itu lembaga suci yang asalnya dari Tuhan dan ditetapkan olehnya untuk kebahagiaan masyarakat.
Pemahaman makna perkawinan dalam konteks religius ini diadopsi secara yuridis menurut peraturan perundang-undangan yang ada. Perkawinan bukanlah perjanjian dan kontrak perdata biasa, tetapi suatu ikatan lahir batin antar seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pemahaman lembaga perkawinan, baik yang disebutkan dalam ajaran agama maupun dalam konteks yuridis ini, menunjukkan bukti betapa dimensi kedalaman dan sucinya ikatan perkawinan. Sehingga atas dasar itu “Marie Van Ebner Escenbach” sampai menyatakan: “Bila di dunia ini ada sorga maka itu adalah perkawinan dan rumah tangga yang bahagia”. Ungkapan ini sebenarnya dia telah mengambil sabda Rasulullah SAW: yaitu: “Baitii Jannatii”, “Rumah tanggaku adalah sorga bagiku”.
Namun pada tataran aplikatif tidak mudah mewujudkan kerukunan, keharmonisan, ketenteraman, kedamaian dalam rumah tangga yang berujung kepada kebahagiaan. Hal ini terbukti dengan banyaknya muncul konflik dalam rumah tangga yang dilatarbelakangi oleh berbagai persoalan
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan bahwa perkawinan merupakan lembaga sakral yang harus dijaga dan dihormati. Karena sakral dan sucinya hubungan perkawinan, maka berbagai cara harus ditempuh untuk menyelamatkan sakralitas dan keutuhannya. Atas dasar itulah pada prinsipnya perceraian dilarang dalam Islam, kecuali berbagai upaya untuk menyelamatkannya itu sudah diupayakan, namun tetap tidak berhasil. Hal ini dapat dilihat dari isyarat Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya :
اَبْغَضُ الْحَلَالِ اِلَى اللهِ الطْلَاقِ (رواه ابو داود, ابن ماجه, الحاكيم)
Artinya : “Sesuatu perbuatan yang paling dibenci Allah adalah thalak” (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Al Hakim)
Berdasarkan isyarat itu, ulama sepakat mengatakan bahwa perceraian merupakan solusi terakhir sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh, manakala bahtera rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya, sifatnya sebagai alternatif terakhir. Islam menunjukkan, sebelum ditempuh jalan terakhir tersebut, tempuhlah usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui “Hakam” (Arbitrator) dari kedua belah pihak maupun melalui tindakan-tindakan tertentu yang bersifat pengajaran.
Setidaknya ada dua kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus perkawinan, yaitu:
Terjadinya “Nusyuz dari salah satu pihak.
Manakala “Nusyuz” (ketercelaan) tersebut datang dan tumbuh dari pihak isteri, maka suami berkewajiban terlebih dahulu untuk memberi pengajaran kepada isterinya dengan tindakan sebagai berikut:
Isteri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negatif dan positif (at-tarhib wa tarhib)
Apabila usaha dan langkah pertama tidak berhasil, langkah kedua adalah pisah tempat tidur suami dengan isteri, meskipun masih dalam satu rumah. Cara ini dimaksudkan agar dalam “kesendirian tidurnya” ia memikirkan untung rugi dari semua perilakunya.
Apabila langkah kedua tersebut tidak juga berubah pendirian si isteri, maka langkah ketiga adalah melakukan tindakan pemukulan, namun tidak sampai pada tataran melukai dan membahayakan.
Ketiga langkah ini diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi:
...وَالَّتِى تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَاِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا (النسآء:34)
Artinya: “Isteri-isteri yang kamu khawatirkan akan melakukan perbuatan nusyuz maka nasihatilah mereka, pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka sudah sadar, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka, sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.” (An-Nisa’ ayat 34)
Sedangkan kalau nusyuz itu muncul dari pihak suami, maka Islam memberikan solusi agar isteri melakukan pendekatan damai dengan suaminya. Menurut Ahmad Rafiq, pendekatan damai yang dilakukan isteri tersebut dapat dengan cara isteri merelakan haknya dikurangi oleh suami untuk sementara agar suami bersedia kembali kepada isterinya dengan baik.[3]
Dalil yang dijadikan dasar solusi “Nusyuz” suami adalah surah An-Nisa ayat 128 yang berbunyi :
وَ اِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوْزً أَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ... (النسآء:128)
Artinya : “Jika seorang isteri khawatir akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian. Yang sebenarnya perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia pada hakikatnya bersifat kikir.” (An-Nisa ayat 128)
2. Terjadi perselisihan dan cekcok antara suami dan isteri
Manakala terjadi percekcokan dan perselisihan rumah tangga, maka Islam memberikan jalan keluar agar masing-masing suami isteri menyediakan juru pendamai (hakam) dari kalangan keluarga untuk menyelesaikan konflik dan persengketaan rumah tangga tersebut.
Ketentuan ini diatur dalam surah An-Nisa’ ayat 35 yang berbunyi:
وَ اِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا خَبِيْرًا (النسآء:35)
Artinya : “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.” (An-Nisa’ ayat 35)
Kedua kemungkinan di atas alternatif penyelesaiannya bertujuan agar perkawinan tidak putus, kecuali apabila upaya-upaya tersebut mengalami kegagalan, maka penyelesaiannya adalah perceraian.
Upaya dan solusi yang ditawarkan Al-Qur’an di atas, sejalan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (untuk selanjutnya disingkat menjadi KHI) yang diberlakukan khusus bagi umat Islam. Dalam pasal 39 ayat (1) jo Pasal 115 KHI, dikatakan bahwa: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan[4], setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Inti dari Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 115 KHI di atas menyatakan bahwa perceraian baru diizinkan apabila upaya-upaya perdamaian untuk menyatukan suami-isteri telah dilakukan, namun tetap tidak berhasil. Untuk mengklarifikasi telah dilaksanakannya upaya tersebut harus dilakukan di depan sidang pengadilan, termasuk pemberian penilaian atas tidak berhasilnya upaya itu.
Tujuan dari keharusan penyelesaian tersebut harus di pengadilan, tidak lain agar perceraian tidak dilakukan secara gegabah dan tanpa alasan yang sah, serta mempunyai kekuatan dan mempunyai kepastian hukum yang tetap.
Hal ini dikuatkan oleh ayat (2) pasal tersebut yang berbunyi: untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri tersebut tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Adapun alasan-alasan secara yuridis dibolehkan oleh Peraturan Perundang-Undangan untuk mengajukan perceraian diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan bagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut, tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selain alasan-alasan tersebut di atas, Pasal 116 KHI menambahkan 2 (dua) alasan lain yang dapat dijadikan alasan yaitu:
Suami melanggar sighat taklik talak.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Dari sekian banyak alasan yang dijastifikasi oleh Undang-Undang, alasan ketidakharmonisan dan percekcokan rumah tangga menjadi urutan teratas sebagai alasan perceraian.
Sebagai ilustrasi penulis akan memuat data rekapitulasi perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Kelas I.A Padang berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Kelas I.A Padang, dicatat pada hari Kamis tanggal 11 Juli 2019, melalui Panitera Pengadilan Agama sebagai berikut:
Rekapitulasi Perkara tahun 2016: A. Perkara masuk : a. Gugatan : 1292, b. Permohonan : 320 ; B. Perkara putus : a. Gugatan : 1264, b. Permohonan : 313.
Rekapitulasi Perkara tahun 2017: A. Perkara masuk : a. Gugatan : 1385, b. Permohonan : 438, Cerai gugat : 942, Cerai talak : 379; B. Perkara putus : a. Gugatan : 1806, Cerai gugat : 975, Cerai talak : 350, b. Permohonan : 431.
Rekapitulasi Perkara tahun 2018: A. Perkara masuk : a. Gugatan : 1574, Cerai gugat : 1011, Cerai talak : 471, b. Permohonan : 788; B. Perkara putus : a. Gugatan : 1494, Cerai gugat : 860, Cerai talak : 372, b. Permohonan : 780.
Dari data tersebut, sesuai dengan maksud Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, c. wakaf dan shodaqah.
Kasus cerai talak yang masuk ke Pengadilan Agama Kelas I.A Padang, pada umumnya didasarkan atas tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, karena terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Perselisihan dan pertengkaran tersebut pada umumnya dipicu oleh masuknya pihak ketiga (3) dalam rumah tangga, baik dari kalangan keluarga maupun pihak lain, kurangnya saling memahami antara suami isteri, tingginya ego salah satu pihak, tidak adanya saling menghargai satu sama lain, dan tidak terpenuhi hak masing-masing suami isteri dalam rumah tangga. Dari sekian faktor penyebab perselisihan dalam cerai talak, penyebab tertinggi adalah karena masuknya pihak ketiga (3) dalam rumah tangga yaitu sekitar 40% dari perkara.
Perkara cerai talak yang dilatarbelakangi oleh masuknya pihak ketiga (3) dapat dikategorikan kepada beberapa kelompok, diantaranya:
Karena terlalu jauhnya campur tangan orang tua salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam mengatur rumah tangga, sementara isteri atau suami selalu berpihak kepada orang tua bila terjadi permasalahan.
Karena isteri berselingkuh dengan laki-laki lain.
Suami telah melakukan poligami tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (yaitu poligami liar). Ketiga faktor tersebut menempati posisi yang seimbang.
Pada kasus cerai gugat disamping karena pelanggaran taklik talak oleh suami, juga didasarkan karena terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami isteri yang membawa kepada keretakan rumah tangga. Perselisihan dan pertengkaran tersebut dilatarbelakangi oleh faktor: ekonomi, kurangnya tanggungjawab suami dan masuknya pihak ketiga. Dari ketiga faktor tersebut, faktor kurangnya tanggungjawab suami terhadap isteri menempati posisi teratas dengan perkiraan sekitar 60%. Sedangkan faktor ekonomi dan masuknya pihak ketiga menempati posisi kedua dan ketiga.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin yang paling sakral yang harus dipertahankan, berbagai usaha harus diupayakan agar keutuhan rumah tangga tersebut dapat dijaga. Namun begitu, tidak tertutup kemungkinan segala usaha untuk mempertahankannya tidak berhasil. Sebagai jalan keluar penyelesaiannya, Islam dan Peraturan Perundang-Undangan menyediakan institusi perceraian sebagai pintu terakhir.
Agar perceraian tidak dilakukan secara sembrono dan tanpa alasan, maka Peraturan Perundang-Undangan mengharuskan setiap perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Tujuan keharusan tersebut disamping karena harus adanya tuntutan alasan yang harus dibuktikan, juga mengacu kepada kesakralan perkawinan tersebut, dimana perkawinan dilakukan dengan tujuan makruf, maka penyelesaiannya pun harus dilakukan dengan cara makruf.
Referensi sebagai berikut ini ;