Rabu, 13 Juli 2022

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk, Cara Terbaik Menerima Takdir, Meskipun Sebenarnya Menyakitkan. Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir, mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah Swt yang baik dan yang buruk.

Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah  Swt dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)

Allah Swt telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)

Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah Swt.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ;

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi).

Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, sebagai berikut ini ;

“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.” (Shahih, riwayat Muslim).

Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sebagai berikut ini ; “Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.” (Shahih, riwayat Muslim).

Tingkatan Takdir

Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak.

Tingkatan Pertama: al-‘Ilmu (Ilmu)

Yaitu, beriman bahwa Allah Swt mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di antara keduanya. Allah Swt Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.

Allah Swt telah berfirman, yang artinya sebagai berikut ini ;

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)..

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)

Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan) Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.

Allah Swt berfirman, artinya sebegai berikut ini ;

“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya sbb ini ;

“Allah Swt telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah Swt menciptakan langit dan bumi.” (Shahih, riwayat Muslim)

Dalam sabdanya yang lain,artinya ;

“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.'”(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam ­asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)

Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.

Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)

Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya, yang artinya sbb ; “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)

Kehendak Allah Swt itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah Swt kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya..

Allah Swt berfirman, Qs. Al-An’aam: 125 artinya sbb ;

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125).

“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya sbb ini ;

“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.” (Shahih, riwayat Muslim).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad)

Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)

Yaitu, bahwa Allah Swt adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Swt, “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)

Meskipun Allah Swt telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan firman-Nya, sebagai beriku tini ;

“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)

Dan Allah Swt juga berfirman, yang artinya, “Allah Swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)

Hikmah Beriman Kepada Takdir

Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan. Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.

Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak Allah.

Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena sedikit ‘sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang akan mengurangi nikmat iman kita. Dengarlah sabda Nabi kita SAW, yang artinya sbb ini ;

“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah Swt dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ‘seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah Swt telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ‘seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.” (Shahih, riwayat Muslim)

Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena telah terangkat dan lembaran telah kering.

Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan, namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, ayng artinya ;

“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)

“Barang siapa bertawakkal kepada Allah Swt, niscaya Allah Swt akan mencukupi (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq: 3)

Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,

“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.” (Shahih li ghairih)

Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang menghadang.

Terkait dengan takdir baik dan takdir buruk, satu waktu Nabi SAW ditanya oleh Jibril mengenai rukun iman yang enam. Dengan penuh keyakinan, Nabi SAW menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir serta qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk” (HR. Muslim).

Bagi Syaikh Nawawi Banten qadha adalah kehendak Allah SWT sejak masa azali. Qadha berkaitan dengan keputusan Allah SWT yang berlaku bagi makhluk-Nya. Sementara Qadar adalah penciptaan Allah SWT terhadap segala sesuatu berdasarkan ketentuan yang sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi Qadha itu fondasi, qadar itu bangunan.

Lebih jauh, qadha itu alat untuk menakar, sedangkan qadar itu sama dengan benda yang ditakar. Ibarat lain, qadha itu sama dengan bahan yang digunakan untuk dijadikan pakaian, sementara qadar itu adalah pakaian itu sendiri yang dikenakan. Bisa juga, qadha itu ide gambar seorang pelukis dalam imajinasinya, sedangkan qadar itu gambarnya.

Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam al-Tsimar al-Yani’ah beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk adalah wajib. Maksudnya seorang muslim wajib beriman bahwa takdir telah ditentukan oleh Allah SWT sejak masa azali. Masa azali adalah masa dimana ruang dan waktu serta seluruh makhluk belum diciptakan oleh Allah SWT.

Dengan kata lain, lanjut Syaikh Nawawi Banten, apa saja yang tidak ditadirkan oleh Allah SWT, maka kejadiannya itu mustahil. Oleh karena itu, penting dipahami tiga bagian mengenai ilmu tauhid. Pertama, ilahiyyat atau ilmu tentang ketuhanan. Kedua, nabawiyyat atau kenabian. Ketiga, sam’iyyat atau berita yang didengar dari rasul.

Allah SWT menegaskan, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. al-Qamar/54: 49). Ayat ini, menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, maksudnya Allah SWT telah menentukan apa saja sejak dahulu. Selain itu, segala sesuatu yang terjadi pada waktunya diketahui Allah SWT secara gamblang.

Dalam Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi Banten menyatakan bahwa segala sesuatu baik yang kecil maupun yang besar tak lepas dari takdir, ketentuan, kepastian, ukuran yang tepat, bagian yang ditentukan, keakuratan dan ketepatan. Allah SWT berfirman, “Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” (QS. al-Qamar/54: 53).

Lebih jauh pada apa saja yang dimiliki oleh manusia, seperti kelemahan atau kekuatan, kebodohan atau kepintaran sejatinya telah ditentukan oleh Allah SWT secara tepat dan akurat. Inilah pesan Nabi SAW, “Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran” (HR. Muslim). Namun manusia wajib berusaha untuk merubah keadaannya. Orang yang bodoh lalu rajin belajar, maka tadirnya dia akan jadi pintar.

Dalam ayat lain, kembali Allah SWT tegaskan, “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS. al-Furqan/25: 2). Artinya, menurut pengarang Tafsir Jalalain, segala sesuatu itu hanya Allah SWT saja yang mampu menciptakannya dan menetapkannya secara tepat dan sempurna.

Secara lebih terang, kedua ayat di atas diulas oleh Nabi SAW, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada takdir baik dan buruk dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya” (HR. Turmudzi)


Referensi sebagai beikut ini ;