Cara bertaubat dari uang/barang jenis ini adalah dengan cara mengembalikan barang/uang kepada pemiliknya. Maka uang hasil korupsi wajib dikembalikan kepada pihak yang dirugikan, uang hasil jual beli dengan cara penipuan wajib dikembalikan selisih antara harga normal dengan harga yang dijual kepada pembelinya, begitu juga dengan jual beli barang dengan cara terpaksa.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
"Siapa yang menzalimi kehormatan atau harta saudaranya maka hendaklah di hari ini ia minta saudaranya merelakan hal tersebut sebelum datang suatu hari yang tidak ada dinar dan dirham. Jika ia mempunyai amal sholeh maka diambil amalan tersebut seukuran kezalimannya dan jika ia tidak mempunyai kebaikan diambil dosa dosa orang yang dizalimi lalu dipikulkan kepadanya." (HR Bukhari).
Seseorang membuka rekening di bank yang ada saat ini (bank ribawi). Dan menjadi jelas baginya setelah itu bahwa bunga ditambahkan ke rekeningnya. Dan kita tahu bahwa Allah SWT berfirman dalam wahyunya yang bersifat muhkam:
﴿وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ﴾
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (TQS al-Baqarah 2: 279)
Ada para syaikh dan ulama kontemporer yang memperbolehkan mengambil harta ini dan tidak meninggalkannya untuk bank dengan dalih tidak membantu bank atas keharaman dan tidak melakukan keharaman lain dengan meninggalkan bunga tersebut untuk bank.
Pertanyaannya: apa yang harus dia lakukan dengan harta yang ditambahkan kepada harta pokoknya itu? Apakah boleh ia mengambil harta bunga itu dan membelanjakannya terhadap orang-orang fakir atau membayar utangnya? Dan apakah ia mendapat pahala atas pembelanjaan harta itu kepada orang-orang fakir? Berilah jawaban kepada kami. Semoga Alah memberikan berkah-Nya kepada Anda dan menguatkan langkah Anda.
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah w barakatuhu.
Sebelum menjawab tentang (apa yang harus dia lakukan dengan harta riba…)… maka yang wajib bagi orang yang melakukan transaksi (muamalah) ribawi dengan bank adalah menghentikan muamalah ribawinya segera, dan bertaubat kepada Allah SWT dengan taubat nashuha. Allah SWT berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha (taubat yang semurni-murninya).”(TQS at-Tahrim [66]: 8)
Allah juga berfirman:
﴿إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا﴾
“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (TQS an-Nisa’ [4]: 146)
Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Anas bahwa Nabi saw bersabda:
«كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ»
“Setiap Anak Adam bisa berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertaubat.”
Sehingga taubat itu sah dan Allah mengampuni orang yang bertaubat itu dari dosa tersebut, maka wajib bagi orang yang bertaubat itu melepaskan diri dari kemaksiyatan itu, menyesal karena telah melakukannya, dan bertekad bulat untuk tidak mengulangi semisalnya. Dan jika kemaksiyatan itu berkaitan dengan hak adami, maka disyaratkan mengembalikan kezaliman itu kepada yang berhak atau mendapatkan pembebasan dari mereka. Jika ia memiliki harta yang dia ambil dari mereka dengan jalan mencuri atau ghashab maka wajib harta itu dikembalikan kepada pemiliknya. Dan ia harus melepaskan diri dari pendapatan haram itu menurut ketentuan syara’. Jika ia mendapatkan harta dengan jalan haram maka kesudahannya adalah keburukan. Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«…وَلَا يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالًا مِنْ حَرَامٍ… إِلَّا كَانَ زَادَهُ إِلَى النَّارِ»
“… dan tidaklah seorang hamba memperoleh harta dari jalan haram … kecuali harta itu menjadi bekalnya ke neraka.”
Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Ka’ab bin Ujrah bahwa Rasulullah saw bersabda kepadanya:
«يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ»
“Ya Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidaklah suatu daging tumbuh dari harta haram kecuali neraka lebih layak dengannya.”
Adapun berkaitan dengan riba bank atas hartanya dan bagaimana melepaskan diri darinya, maka jawabannya sebagai berikut:
Jika dia berkata kepada bank, saya ingin harta pokok saya saja, dan aturan bank memperbolehkannya mengambil harta pokoknya saja maka cukup seperti itu, dan ia mengambil harta pokoknya saja…
Adapun jika aturan bank tidak memperbolehkannya… tetapi aturan tersebut mewajibkannya mengambil riba beserta harta pokoknya sekaligus dan jika tidak maka bank tidak akan memberikan harta pokoknya, dalam kondisi ini ia mengambil harta pokoknya dan riba tersebut dan dia melepaskan diri dari riba, dan dia letakkan di tempat-tempat kebaikan secara diam-diam (rahasia) tanpa menampakkan bahwa ia bersedekah dengannya, sebab itu adalah harta haram, akan tetapi yang dituntut adalah ia melepaskan diri dari harta haram itu… Misalnya, bisa saja ia mengirimkannya ke masjid tanpa seorang pun tahu atau mengirimkannya kepada keluarga fakir tanpa mereka tahu siapa pengirimnya, dan dengan cara yang di dalamnya tidak tampak bahwa ia bersedekah… atau semacam itu.
Adapun pahala atas infaknya itu, maka tidak ada pahala atas infak harta haram. Pembelanjaannya di jalan kebaikan itu bukanlah shadaqah sebab bukan merupakan harta halal yang ia miliki… Akan tetapi, in syâ’a Allâh, ia mendapat pahala karena meninggalkan keharaman, yakni menghapus muamalah ribawinya dengan bank dan melepaskan diri dari harta haram. Allah SWT menerima taubat dari hamba-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amal (melakukan amal dengan ihsan).
Referensi sebagai berikut ini ;