Rabu, 20 Juli 2022

Ahkhak Mulia tanda Kesempurnaan Iman

Ahkhak Mulia tanda Kesempurnaan Iman, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR Tirmidzi). Berdasarkan hadist tersebut terlihat bahwa akhlak mulia muncul dari iman yang sempurna. Agar individu memiliki akhlak yang baik, maka ia harus memiliki keimanan yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah manusia yang paling sempurna akhlaknya karena beliau adalah manusia yang paling sempurna keimanannya.

Kesempurnaan keimanan seorang muslim dapat dilihat dari enam rukun iman, yaitu iman pada Swt, iman pada malaikat Swt, iman pada kitab-kitab Swt, Iman pada rasul-rasul Swt, iman pada hari akhir,dan iman pada takdir. Muslim yang beriman pada Swt memiliki keyakinan kuat pada Swt karena ia mengenal Swt dengan sangat baik, setidaknya ia mengenal 20 sifat wajib Swt beserta maknanya. Misalnya dengan mengenal sifat iradat Swt, maka ia akan meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah. Saat ia dicaci maki oleh orang lain, dia akan memandang cacian tersebut sebagai perbuatan Swt, atas kehendak Allahlah orang tersebut mencaci, sehingga ia tidak akan sakit hati dan kemudian mendendam pada orang tersebut. Pada sisi yang lain ia memandang cacian tersebut sebagai bentuk kasih sayang Swt dimana Swt mungkin ingin menegurnya melalui orang atau bentuk kasih sayang Allah agar ia mendapatkan banyak pahala dengan bersabar dan memaafkan orang yang mencacinya.

Kemudian, keimanan pada Swt mengantarkan seorang muslim untuk iman kepada malaikat Swt. Dengan mengenal para malaikat sebagai makhluk ciptaan Swt yang masing-masing mendapatkan tugas dari Allah Subhanahu Wa Swt , seorang muslim akan termotivasi untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Misalnya, dengan meyakini bahwa ada malaikat yang bertugas untuk senantiasa mengawasi manusia, mencatat amal baik dan amal buruk maka seorang muslim akan berhati-hati dalam berperilaku. Contoh yang lain, seorang muslim tidak akan mendoakan hal buruk kepada orang lain karena ia paham dan yakin bahwa ketika ia mendoakan hal buruk untuk orang lain maka ada malaikat yang akan mendoakan hal yang sama untuk dirinya.

Rukun iman yang selanjutnya adalah iman kepada kitab-kitab Swt. Dengan memahami dan mempelajari Al Qur’an sebagai kitab Allah yang masih dijaga kemurniannya sampai akhir zaman, maka seorang muslim akan memiliki keyakinan yang kuat terhadap isi ajaran dalam Al Qur’an. Keyakinan tersebut menjadikannya bersungguh-sungguh berusaha mengamalkan kandungan Al Qur’an dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya, seorang muslim akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk berbakti pada kedua orangtuanya karena dalam Al Qur’an ada perintah untuk berbakti pada kedua orangtua. Berkaitan dengan Al Qur’an, ketika Ibunda Aisyah Radhiyallahu’anha ditanya mengenai akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau menjawab: “Akhlak Rasulullah adalah Al Quran” (HR Ahmad).

Dengan mengimani rasul-rasul Swt sebagai rukun iman yang keempat, seorang muslim akan terbimbing untuk berakhlak mulia karena ia akan menjadikan rasul Allah Subhanahu Wa Swt  sebagai teladan dalam kehidupannya. Untuk itu seorang muslim perlu mengenal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai nabi dan rasul terakhir yang diutus untuk umat manusia. Seorang muslim perlu mempelajari dan mengenal kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui banyak hal, misalnya dengan membaca buku shiroh nabawiyah, mendengarkan pengajian yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ataupun dengan banyak bersholawat seperti yang diperintahkan oleh Swt dalam Al Qur’an. Insya Allah akan Swt tumbuhkan perasaan mencintai Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui hal tersebut. Kecintaan seorang muslim pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akan menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai idola yang akan diteladani dalam setiap aspek kehidupannya.

Iman kepada hari akhir menjadikan seorang muslim senantiasa mengorientasikan hidupnya untuk akhirat. Orientasi hidup kepada akhirat ini tentu saja akan membimbingnya untuk selalu berperilaku baik karena ia benar-benar faham bahwa perilaku baik akan mengantarkannya pada kebahagiaan di akhirat sedangkan perilaku yang buruk hanya akan memberikan kesengsaraan pada hari kiamat. Dahsyatnya peristiwa di padang mahsyar akan senantiasa membuatnya mengendalikan diri dari perilaku buruk, demikian juga dengan panasnya api neraka. Sedangkan kenikmatan di surga memotivasi seorang muslim untuk berperilaku baik.

Rukun iman yang terakhir adalah iman kepada takdir. Keyakinan pada takdir juga membimbing seorang muslim untuk memeliharanya dari perilaku buruk. Misalnya, seorang muslim yang yakin bahwa setiap orang sudah ditentukan rezekinya masing-masing, maka mustahil dirinya akan iri pada kelebihan atau rizki yang diterima oleh orang lain. Hal itu terjadi karena ia memahami bila dirinya iri terhadap rizki yang diterima oleh orang lain berarti dirinya tidak menerima takdir yang Allah tetapkan pada orang tersebut. Orang yang yakin pada takdir tentu juga tidak akan sombong dengan kelebihan yang dimilikinya karena dia faham bahwa hal tersebut hanya karena Allah mentakdirkan demikian. Dia juga tidak akan rendah diri dengan apa yang ada pada dirinya karena dia menyakini hal tersebut merupakan takdir dari Allah. Demikian juga dia tidak akan menghina orang lain dengan kekurangan orang tersebut karena bila dia menghina kekurangan orang lain maka sama saja dirinya menghina Allah yang mentakdirkan orang tersebut memiliki kekurangan.

Demikianlah, apabila seorang muslim telah memiliki keimanan yang baik pada ke-6 rukum iman, maka tentu ia akan memiliki akhlak yang mulia. Semoga kita senantiasa diberi rahmat dan taufik oleh Swt untuk terus menerus memperbaharui keimanan kita yang akan mendorong kita untuk terus menerus memperbaiki perilaku kita menuju akhlak mulia. Astaghfirullahal’adzim

Termasuk di antara keindahan ajaran agama Islam adalah agama ini mendorong umatnya untuk memiliki akhlak yang mulia dan akhlak yang luhur. Dan sebaliknya, agama ini melarang umatnya dari akhlak-akhlak rendahan dan akhlak yang buruk. Hal ini ditunjukkan oleh banyak hadits tentang akhlak dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits tentang akhlak tersebut di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 2201.)

Bahkan dengan akhlak mulia, seseorang bisa menyamai kedudukan (derajat) orang yang rajin berpuasa dan rajin shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

“Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (HR. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhiib no. 2643.)

Oleh karena itu, akhlak yang luhur dan mulia termasuk perkara yang ditekankan dalam agama ini. Agama ini menekankan dan mendorong kita untuk berhias dengan akhlak yang sempurna terhadap Allah Swt, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga terhadap hamba-hambaNya. Dengan akhlak yang mulia, akan tampaklah kesempurnaan dan ketinggian agama Islam ini, yaitu agama yang indah dan sempurna, baik dari sisi ‘aqidah, ibadah, adab dan akhlak.

Dengan semakin kokoh ‘aqidah dan keimanan seseorang, seharusnya semakin baik pula akhlaknya. Dengan bertambahnya ilmu ‘aqidah dan imannya, bertambah luhur pula akhlaknya. Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284.)

Oleh karena itu, jika ada di antara kita yang semakin bertambah ilmu agama dan imannya, namun akhlaknya tidak semakin baik, maka waspadalah, mungkin ada yang salah dalam diri kita dalam belajar agama dan mengamalkannya.

Jika kaum muslimin berhias dengan akhlak mulia serta menunaikan hak-hak saudaranya yang itu menjadi kewajibannya, maka hal itu merupakan pintu gerbang utama masuknya manusia ke dalam agama ini. Hal ini sebagaimana yang telah kita saksikan pada zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum, ketika manusia berbondong-bondong masuk Islam disebabkan keindahan akhlak dan keluhuran mereka dalam bermuamalah dan interaksi dengan sesama manusia.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullahu Swt berkata,

“Kaum muslimin pada hari ini, bahkan manusia seluruhnya, sangat membutuhkan penjelasan tentang agama Allah, tentang keindahan dan hakikat agama-Nya. Demi Allah, seandainya manusia dan dunia pada hari ini mengetahui  hakikat agama ini, niscaya mereka akan masuk Islam dengan berbondong-bondong sebagaimana mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah Allah menaklukkan kota Mekah untuk Nabi-Nya ‘alaihish shalaatu was salaam.” (Majmuu’ Fataawa, 2/338)

Terahir yang sangat penting diperhatikan bahwa tujuan utama kita berhias dengan akhlak mulia dan menunaikan kewajiban kita terhadap sesama manusia adalah dalam rangka taat kepada Allah Swt dan dalam rangka mengharap pahala dari-Nya. Bukan semata-mata keinginan untuk mendapatkan perlakuan (balasan) yang semisal dari orang lain. Allah Swt berfirman,

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan [76]: 9)

Oleh karena itu, janganlah kita berhias dengan akhlak yang mulia dengan selalu mengharapkan mendapatkan perlakuan yang semisal dan sebanding dari orang lain. Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau,

يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ

“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku memiliki kerabat. Aku berusaha menyambung silaturahmi dengan mereka, namun mereka memutusnya. Aku berbuat baik kepada mereka, namun mereka tidak berbuat baik kepadaku. Aku bersabar dengan gangguan mereka, namun mereka menyakitiku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Jika benar apa yang Engkau katakan, maka seakan-akan Engkau masukkan bara api ke mulut mereka. Dan pertolongan Allah akan terus-menerus bersamamu untuk mengalahkan mereka, selama Engkau bersikap seperti itu.” (HR. Muslim no. 6440)

Dalam hadits tentang akhlak di atas, lihatlah bagaimana petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat beliau tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk memutus hubungan dengan kerabatnya, meskipun kerabatnya memutus hubungan dengannya. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ingatkan dengan pahala dan anugerah yang besar dari Allah Swt.

Sebagai makhluk sosial, tentu tidak lepas dari berinteraksi dengan orang lain. Akhlak dan perilaku yang dimiliki seseorang sangat dipengaruh oleh akhlak dan perilaku lingkungan sekitarnya. Dalam Islam, agama yang kita imani sebagai nafas kehidupan seorang muslim, memberikan panduan untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih agar akhlak dan perilaku orang-orang tersebut dapat mempengaruhi kita menjadi pribadi yang lebih baik. Dengan bersama orang-orang shalih, kita akan senantiasa termotivasi untuk melakukan hal-hal yang baik. Begitu juga ketika dalam keadaan lemah atau ingin berbuat sesuatu yang buruk, maka setidaknya ada pengingat yang selalu mengembalikan diri ke jalan yang benar. Rasulullah bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ketika sering melihat kebaikan-kebaikan orang shalih, maka dapat memicu adanya rasa cemburu. Sehingga hal ini menumbuhkan motivasi untuk bisa melakukan amal shalih seperti yang mereka lakukan. Karena salah satu kecemburuan yang diperbolehkan dalam agama ini adalah cemburu pada amalan kebaikan. Rasulullah SAW bersabda

,لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقْرَؤُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ

“Tidak boleh hasad kecuali dalam dua perkara: kepada seseorang yang Allah berikan harta kemudian dia menginfakannya di sebagian malam dan siangnya, dan kepada seseorang yang Allah berikan Al-Qur’ an dan dia membacanya di sebagian besar malam dan siangnya” (H.R. Muslim).

Terkadang sedikit banyak dapat menilai kebaikan seseorang dengan melihat pergaulan antar sesama temannya, karena kebaikan seseorang memberikan pengaruh baik lingkungan sekitarnya. Begitupun sebaliknya, keburukan seseorang juga bisa memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan disekitarnya. Oleh karena itu, seorang muslim haruslah senantiasa berusaha untuk bergaul dengan orang baik dan orang shalih, dengan harapan kebaikan itu akan mempengaruhi dirinya. Rasulullah memberikan teladan dengan menjadikan pergaulan sebagai salah satu faktor yang digunakan dalam menilai seseorang. Rasulullah SAW bersabda;

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang bisa dilihat dari perilaku beragama sahabatnya. Hendaklah kalian memperhatikan bagaimana sahabatmu dalam beragama. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Di sisi lain, Allah menjelaskan bahwa memiliki hubungan pertemanan di dunia menjadi sangat penting, karena menjadi salah satu langkah dan ikhtiar yang seharusnya dilakukan dalam rangka mempersiapkan kehidupan di akhirat. Ketika masih di dunia dan salah dalam memilih teman yang justru mengajak pada keburukan dan semakin menjauhkan diri dari Allah, maka hanya akan menjadikan penyesalan di akhirat nanti. Allah berfirman:

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَالَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَاوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا (29)

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul”. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. (Q.S. al-Furqan [25] : 27-29).

Para mufasir menjelaskan kalimat “menggigit dua tangannya” diartikan sebagai penyesalan yang amat sangat dalam, tetapi sia-sia karena sudah tidak mungkin lagi untuk bisa kembali. Karena saat di dunia sebenarnya sudah diingatkan dan diperintahkan. Namun justru tidak mengikuti anjuran kebenaran tersebut. Salah memilih teman justru semakin menjauhkan diri dari pedoman hidup yang hakiki yaitu Al Qur’ an, dan menjauhkan dari kebaikan dan petunjuk hidup yang lurus dan benar. Artinya manusia akan terpisah semakin jauh dari rombongan Rasulullah SAW yang melewati jalan kebenaran menuju kearah kebaikan yang haq yaitu Allah SWT.

Mengapa kita harus selektif dalam memilih teman di dunia? Karena di dunia ada golongan manusia yang terlihat baik kepada seseorang, tetapi justru semakin menjauhkan dan menyesatkan dari jalan kebenaran yang lurus. Oleh karena itu, seseorang perlu untuk senantiasa membekali diri dengan ilmu. Sehingga ketika dalam beramal memiliki dasar dan prinsip dalam menjalani kehidupan di dunia. Mempelajari ilmu menjadi penting dan tidak ada batasan waktunya, baik anak-anak maupun orangtua, pria maupun wanita. Hal tersebut berguna untuk membedakan dalam memilih golongan dan teman yang sesuai untuk kehidupan di akhirat.

Hasan Al-Bashri dalam Kitab Ma’alimut Tanzil berkata, “Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari kiamat.”[2] Rasulullah SAW bersabda terkait dengan syafaat yang diberikan diantara para sahabat dihari kiamat, “Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon: “Wahai Tuhan kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.” Dijawab: ”Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka. Para mukminin inipun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya. Kemudian orang mukmin itu lapor kepada Allah, ”Ya Tuhan kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.” Allah berfirman, ”Kembali lagi, keluarkanlah yang masih memiliki iman seberat dinar.” Maka dikeluarkanlah orang mukmin banyak sekali yang disiksa di neraka. Kemudian mereka melapor, ”Wahai Tuhan kami, kami tidak meninggalkan seorangpun orang yang Engkau perintahkan untuk dientas.” (H.R. Muslim).

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesempatan untuk dapat berteman, berinteraksi, dan menjalani hidup bersama dengan golongan orang-orang shalih. Harapannya supaya saling mendukung dan memotivasi untuk beramal baik karena Allah semata. Dan juga saling menjaga agar meninggalkan segala sesuatu yang buruk dan dilarang oleh Allah. Sehingga nantinya dapat kembali berkumpul di akhirat bersama-sama dengan golongan orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, yang berada di dalam barisan Rasulullah Muhammad SAW, yang merupakan pewaris dan penghuni surga yang kekal. 

Referensi sebagai berikut ini ;