Salah satu yang menjadi pertimbangan utama dalam suatu perceraian adalah mendapatkan hak asuh anak. Orang tua yang mempermasalahkan hak asuh anak kerap bermusuhan. Orang tua yang bercerai sayangnya tak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tersebut berdampak ada aspek psikologis anak.
Tidak semua orang tua ingin memperebutkan hak asuh anak. Di Indonesia biasanya hak asuh anak diberikan kepada ibu. Akan tetapi dalam keadaan tertentu misalnya ayah tidak dapat memercayakan perawatan anak kepada ibu, ayah akan berusaha memperebutkan hak asuh anak.
Menurut data di luar negeri, 60% pasangan yang bercerai memutuskan untuk merawat anak bersama, sementara 40% lainnya memutuskan untuk merawat anak sendiri. Akar permasalahan utamanya adalah keegoisan masing-masing pihak. Kedua pihak merasa lebih superior dan mampu merawat anak dengan baik.
Padahal, anak membutuhkan sosok ayah maupun ibu dalam kehidupannya. Itulah sebabnya hak asuh bersama merupakan pilihan terbaik pada kasus perceraian.
Dalam memperebutkan hak asuh anak, salah satu orang tua harus memenangkan hati anak dan memenangkan pengadilan. Untuk itu, semua jalan ditempuh oleh orang tua. Tak jarang jika orang tua ingin merebut hati anak dengan menjelekkan dan membeberkan kejelekan pasangannya.
Begitu pula dalam pengadilan, orang tua mengumpulkan berbagai hal yang dapat menguatkan posisinya untuk mendapatkan hak asuh anak. Keadaan ini sebenarnya membuat kondisi perceraian semakin menegangkan. Bagi anak, hal ini merupakan suatu yang sangat tidak menyenangkan.
Bayangkan, menghadapi perceraian orang tua saja sudah menjadi tekanan batin bagi anak, apalagi ditambah dengan ‘perang’ perebutan hak asuh anak.
Dampak psikologis yang didapat oleh anak dari perebutan hak asuh bisa bermacam-macam. Berikut ini adalah ulasannya.
- Kebingungan. Kebingungan dapat dialami oleh anak yang diperebutkan oleh orang tua yang bercerai. Setiap anak memiliki momen indah bersama ayah dan ibunya. Saat dihadapkan dalam pilihan, anak pasti akan bingung ingin memilih yang mana. Karena pada dasarnya anak ingin memiliki keduanya, yaitu ayah dan ibunya.
- Ketakutan. Perseteruan yang terjadi antara ayah dan ibu sebenarnya membuat anak merasa ketakutan. Sebab anak jadi merasa kehilangan sosok pelindung ketika kedua orang tuanya sedang sibuk berperang memperebutkan hak asuh.
- Kurang rasa percaya diri. Anak korban perceraian biasanya memiliki rasa percaya diri yang lebih rendah karena bisa saja isu perceraian orang tuanya menjadi buah bibir di sekolah atau lingkungan pergaulan teman-temannya.
- Kurangnya rasa percaya terhadap orang tua. Kurangnya rasa percaya terhadap orang tua disebabkan oleh kebiasaan orang tua yang berusaha menarik hati saat memperebutkan hak asuh dengan cara membeberkan kekurangan masing-masing pasangan. Berharap mendapatkan kepercayaan dari anak, cara ini justru dapat menurunkan rasa kepercayaan anak kepada orang tuanya.
- Depresi. Saat kondisi mental anak belum siap menerima perceraian dan ditambah lagi dengan perang perebutan hak asuh, terkadang anak dapat menjadi depresi. Hal yang dikhawatirkan adalah pelarian negatif dari depresi yang terjadi pada anak.