Sungguh Allah Maha Bijaksana, Pengasih lagi Penyayang. Penerimaanku atas kemungkinan menderita penyakit yang mematikan itu, Allah bayar dengan memberiku calon suami yang mau menerima diri ini bersama segala risiko menikahi wanita berpenyakit.
Pernikahan kami tanpa diawali dengan berpacaran, tentu tidak mudah berproses menyamakan frekuensi dua manusia yang menurutku sangat banyak perbedaannya. Riak-riak kecil dalam rumah tangga berhasil kami lewati, namun dua bulan belakangan ini tak lagi dapat dianggap sekedar riak, karena aku tak lagi mampu menjaga lisan bahkan meminta perceraian.
Aku kebablasan tak mampu merendahkan suara, semakin berani menyelisihi suami bahkan di depan tetanggaku. Aku seakan kehilangan rasa hormat terhadap pasangan halal. Mata, pikiran, dan hatiku tertutup dari kebaikan yang pernah suami lakukan.
Aku merasa tak dihargai, aku menuduhnya tidak pernah mencintai selama pernikahan kami, aku menuding ia zalim dan tidak pernah menjadikan aku prioritas utama dalam hidupnya. Kukatakan padanya aku tidak sanggup lagi hanya sendirian berupaya mempertahankan kelanggengan rumah tangga ini.
Aku takut upayaku mendapatkan kebebasan memilih pintu surga tidak akan terwujud, karena merasa tidak mudah menggapai rida suami. Merasa di matanya aku ini tak ada baiknya, pun aku takut kebablasan menjadi istri durhaka dan semuanya sia-sia jika tetap bersama.
"Kamu tahu, ancaman Allah terhadap istri yang meminta cerai?" tanya suamiku malam itu.
"Ya, aku tahu... tidak akan mencium wangi surga, makanya segera saja putuskan, tolong permudah perceraian ini. Aku takut malah menjadi istri durhaka, cukup sudah upayaku selama ini, hanya aku yang berusaha. Aku lelah, bersabar dan menunggu untuk kamu cintai," jawabku saat itu.
"Kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?" ulangnya memastikan.
"Iya, aku yakin. Mungkin hubungan kita akan lebih baik jika bukan sebagai pasangan suami istri, karena tidak ada penghargaan yang ku dapat sebagai istri, pun aku mulai kehilangan rasa hormat kepadamu," jelasku sembari menahan diri agar tetap terlihat tegar.
"Seperti yang kukatakan dari dulu, aku tidak akan pernah menceraikanmu, sudah separah itukah hingga kamu bersikeras meminta sesuatu yang dibenci Allah... Tunggu jam dua nanti setelah aku salat, aku akan bicara dan bertanya lagi," ujar suamiku menutup pembahasan kami malam itu.
Beberapa hari berkutat dengan pikiran negatif, insomnia mendadak pun membuat tubuh melemah dan teramat lelah, namun mendengar perkataan suami yang demikian, ada rasa lega membersit di hati. Setidaknya aku merasa didengar, dimengerti, dan kemauanku akan ia turuti.
Menunggu tibanya pukul dua dini hari seperti yang dijanjikan suami, aku ambil wudu dan salat berpasrah diri atas ketidak berdayaanku mengendalikan diri dan ketidaksanggupan untuk tetap mempertahankan rumah tangga. Memohon ampun atas kelancangan diri meminta sesuatu yang dibenci Allah mesti aku tahu beresiko tidak diberi mencium wangi surga.
Menjelang subuh suami membangunkan aku yang tertidur lelap, setelah hampir sebulan tak dapat tidur dimalam hari, tidur beberapa menit diwaktu siang, itupun jauh dari kata nyenyak. Isi kepala berkecamuk dipermainkan pikiran negatif.
Ketika kembali teringat janji suami yang akan berbicara pukul dua dini hari tadi, aku menatapnya tajam menagih janji pengabulan keinginanku. Seakan paham arti tatapanku ia berkata, "Kalau Aku tidak mencintaimu, mengapa dulu aku menikahimu dengan segala resiko atas kemungkinan penyakitmu, kurang tulus apa aku mencintaimu karena Allah?" lirih suamiku.
Astagfirullah, mengapa aku lupa akan hal itu. Ke mana rasa syukurku? Allah telah memberiku suami yang mau menerima segala kekuranganku, pun setelah menikah ia senantiasa membersamai melalui proses beberapa kali pemeriksaan, yang pada akhirnya dokter berkata, "Ini mukjizat Tuhan," setelah menyimpulkan hasil tes demi tes yang menyatakan aku terbebas dari penyakit mematikan itu.
Aku tak mampu berkata-kata lagi di hadapan suami, terpana dan bertanya pada diri, apa yang sedang merasukiku? Namun sisi lain di dalam diri ini ada yang berbisik, "Ah, bisa jadi saat memutuskan menikah, suamiku dalam kondisi keputus-asaan, atau kondisi tidak ada pilihan atas desakan berbagai hal, atau sekadar pelarian."
Usai salat subuh, pikiranku masih berkecamuk meragu, menentukan mana yang salah dan benar. Ada apa di balik semua ini?
"Ya Allah, berkahi hamba dengan engkau kembalikan jiwa yang tenang, hati yang lapang, mudah memaafkan dan senantiasa bersyukur, aku mohon ampunan Mu, dan perbaikilah takdirku. Aku percaya, tidak ada yang terjadi didunia ini yang luput dari ijin-Mu ya Allah. Aku mohon izinkan nikmat iman islam menyertaiku selamanya."
Demikian doa yang kulantunkan, dan dilanjuti dengan moroja'ah hafalan tiga ayat terakhir surat Al Baqarah, pun berulang-ulang kubaca terjemahan ayat terakhirnya. "Allah tidak akan memberi ujian melampaui batas kemampuan hamba-Nya."
Gejolak hasrat ingin berpisah tidak mereda seketika, pun tidak mudah untuk kembali mampu menahan lisan dan berupaya merendahkan suara di hadapan suami, mesti setelahnya aku sesali dan tertekan oleh perasaan bersalah. Tiada lain yang lebih baik untuk dilakukan selain menyungkur di sajadah berurai air mata, mengadu pada sang pencipta.
"Allah... Aku mohon angkatlah semua amarah dan kejengkelanku terhadap suami, aku bertakwa kepadamu namun aku tak kuasa menahan lisanku. Engkau yang Maha Mengatur Segalanya ya Allah, engkau pun Maha Mengetahui yang terucap dan tersembunyi di dalam hati manusia, sungguh hamba hanyalah manusia yang lemah tanpa rahmat-Mu ya Allah, aku mohon jangan engkau limpahkan urusanku dan orang disekitarku kepada diri hamba yang tiada daya tanpa campur tanganmu ya Allah."
Hari-hari berlalu dengan kondisi hati yang masih sering bergejolak minta diceraikan, aku kehilangan harapan mempertahankan rumah tangga, emosi yang naik turun. Hingga suatu hari tidak sengaja lisanku melukai hati tetangga yang sedang teramat dekat denganku. Ucapanku pagi itu terlalu pedas menurutnya dan membuat ia tersinggung, kalimat ini ia sampaikan dengan mata berlinang. Saat itu juga aku meminta maaf padanya.
Semenjak itu hubunganku dengan tetangga itu kian berjarak. Menurut dia, memang itulah yang terbaik sebagaimana saran dari sahabatnya. Ada sedikit rasa haru, kecewa dan aneh dengan aksi menjaga jarak diantara kami.
Menjauhnya tetanggaku itu, perlahan ketenangan jiwa kembali pulih, keharmonisan rumah tangga kembali menghangat. Aku kembali berjibaku pada rutinitas sebelum begitu dekat dengan dia yang telah membuatku tergoda.
Akhirnya kutemukan jawaban sumber badai rumah tangga yang baru saja terjadi dan hampir memporak porandakan mahligai pernikahan. Kudapati jawabannya setelah mentadaburi Alqur'an yang dibuka secara acak.
Mataku mengarah pada terjemahan surah Al-A'raf ayat 23. Hati ini berdebar mengingat sudah cukup lama tidak mendawamkan doa nabi Adam yang sudah sempat dihafal. Kucoba muroja'ah ayat tersebut, ternyata lisanku tidak lancar lagi mengucapkannya. Pun kembali kubaca terjemahan sebelum dan sesudah ayat tersebut, merenung dan berusaha menemukan makna.
Referensi : Ilustrasi : Jangan Terlalu Cepat Memutuskan Cerai dalam Pernikahan