Dalam ajaran Islam, perceraian adalah sesuatu yang diperbolehkan tetapi tidak disukai oleh Allah SWT. Oleh karena itu menurut Imam al-Ghazali, hukum mubah pada perceraian itu jika tidak ada unsur menyakiti. Tetapi jika ada unsur menyakiti salah satu pasangan dengan jalan yang batil maka hukumnya tidak lagi mubah, karena dalam ajaran agama tidak diperbolehkan menyakiti orang lain.
Untuk mengurangi risiko saling menyakiti dalam sebuah perceraian, ada etika yang sebaiknya dipatuhi oleh setiap pasangan yang hendak melakukan perceraian. Etika ini disampaikan oleh hujjatul Islam dalam Ihya Ulumuddin terbitan Dar Ibnu Hazam, halaman: 496-497.
Artinya: Kemudian ada empat hal yang sebaiknya dijaga oleh laki-laki ketika menjatuhkan talak: Pertama, seorang suami menceraikan istri dalam keadaan suci dan tidak menggaulinya.
Secara hukum, tidak diperbolehkan menceraikan istri dalam keadaan haid, atau keadaan suci tetapi telah melakukan hubungan suami istri. Ada riwayat yang menceritakan bahwa ketika Ibnu Umar menceraikan istrinya dalam keadaan haid, kemudian Umar bi Khattab menayakan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian berkata kepada Umar: Perintahkanlah dia untuk rujuk kepada istrinya, kemudian tunggulah sampai dia suci, lalu haid lagi, kemudian suci kembali. Setelah itu jika masih ingin bersamanya, ia boleh bersamanya atau jika berkehendak, boleh menceraikannya sebelum menggauli. Itulah yang dimaksud iddah yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla dalam menceraikan perempuan.
Hal ini dikarenakan ketika menjatuhkan talak satu masih ada kesempatan untuk rujuk kembali jika masih dalam masa iddah, atau melakukan akad ulang jika telah habis masa iddah. Berbeda jika menjatuhkan talak tiga, maka kesempatan untuk kembali menjadi sangat kecil karena harus ada muhallil terlebih dahulu. Artinya perempuan yang ditalak tiga, jika suaminya menghendaki untuk menikahinya kembali, maka perempuan tersebut harus terlebih dahulu menikah dengan laki-laki lain. Berikutnya sudah berhubungan layaknya suami istri, dan telah diceraikan suami kedua.
Etika kedua ini untuk menjalankan prinsip kehati-hatian. Setiap pasangan ketika bercerai seringkali dalam keadaan emosional sehingga tidak bisa berpikir secara jernih. Setelah perceraian itu terjadi ada kemungkinan timbul penyesalan di antara kedua belah pihak sehingga timbul keinginan untuk rujuk kembali. Oleh karena itu, jika talak yang dijatuhkan adalah talak satu, maka masih ada kesempatan untuk rujuk kembali.
Artinya: Ketiga, memperhalus alasan perceraian tanpa mencela dan menganggap rendah istri, mengobati hati istri dengan memberikan hadiah sebagai ganti rasa sakit yang diakibatkan oleh perceraian.
Dalam proses perceraian, seringkali terjadi perselisihan atau bahkan permusuhan di antara suami dan istri. Akibat perselisihan tersebut, suami menjatuhkan telak dalam keadaan marah dan dengan kata-kata yang kasar sehingga menyakiti hati istri. Padahal menurut Imam al-Ghazali, dalam menjatuhkan talak, suami sebaiknya mencari alasan yang tidak sampai menyakiti hati istri, atau istri merasa direndahkan atau dilecehkan.
Bahkan tidak cukup dengan memperhalus alasan perceraian, suami juga harus memberikan hadiah sebagai ganti rasa sakit akibat perceraian. Hadiah ini dalam fiqih disebut sebagai nafkah mut’ah yaitu sebuah pemberian materi mantan suami kepada mantan istri ketika terjadi perceraian.
Artinya: Keempat, tidak menyebarkan rahasia istri, baik ketika terjadi perceraian atau pada saat di dalam ikatan pernikahan.
Yang dimaksud dengan rahasia dalam konteks ini adalah rahasia dalam urusan hubungan badan antara suami istri. Ada hadits yang mengancam bagi seseorang yang menceritakan hubungan badan dengan pasangannya. Di dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim meriwayatkan hadits tentang larangan menyebarkan rahasia istri.
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Said al-Khudriy bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya manusia yang paling buruk tempatnya di hadapan Allah SWT adalah laki-laki yang menggauli istrinya, dan istrinya menggaulinya, kemudian ia meyebarkan rahasia tersebut. (Imam Abi Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, halaman: 1060)
Dengan demikian, pada dasarnya ajaran agama memperbolehkan terjadi perceraian. Tetapi sebaiknya perceraian dilakukan dengan baik, tidak menyakiti satu sama lain dan mengikuti ketentuan yang ditetapkan agama.
Referansi : Berikut Etika yang Harus Diperhatikan (Terpaksa Bercerai )