Anak-anak dan filsuf punya kesamaan: keduanya memiliki rasa ingin tahu yang besar. Sebuah penelitian di Inggris menyebut seorang anak dapat mengajukan 73 pertanyaan dalam sehari. Namun demikian, kepolosan dan sikap ingin tahu pada anak-anak tak jarang menjadi boomerang rentan dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa yang oportunis.
Rasa penasaran anak-anak terhadap ilmu kebal, misalnya, dimanfaatkan WS (50) untuk menyalurkan nafsunya. Di Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang, WS alias Babeh mencabuli 41 bocah laki-laki dengan modus mengajarkan ajian semar mesem yang bertuah mengobati penyakit. Sebelum melancarkan aksinya, Babeh kerap meminta korban-korbannya menelan gotri sebagai syarat.
Sementara di Cilodong, Depok, 15 bocah laki-laki yang dicabuli WAR alias AR (44tahun) biasa diberi jajanan atau mainan sebelum dicekoki video porno. Dua hal di atas adalah bukti bahwa 84,4 juta anak-anak di Indonesia (32,24% dari total jumlah penduduk) berada di tengah bayang-bayang kekerasan. “2 dari 3 anak perempuan dan anak laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya,” kata Valentina Ginting, Asdep Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Selain di lingkungan bermain, kekerasan terhadap anak juga sangat mungkin terjadi di sekolah. “Sekolah menengah bukanlah tempat yang penting…kecuali bagi orang-orang yang pernah kenal pukul,” kata Steven King dalam novel Carrie (1974) yang jalan ceritanya bertolak dari kasus kekerasan terhadap anak. Pernyataan sarkastik di atas dapat dipahami sebab alih-alih tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, di sekolah, aneka ragam kekerasan juga rentan menghampiri anak. Selain perisakan (bullying), kekerasan seksual adalah bahaya lain yang kerap mengintai anak-anak di tempat belajar.
Sebagai contoh, AI, 45 tahun, dan MY, 26 tahun, ditangkap polisi pada Senin (8/7) lalu lantaran diduga sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap belasan santri di salah satu pesantren di Lhokseumawe, Aceh. Ironisnya, AI tercatat sebagai Ketua Yayasan sementara MY adalah guru mengaji. Menurut Kapolres Lhokseumawe AKBP Ari Lasta Irawan, dari 15 anak yang menjadi korban—sebagaimana hasil pemeriksaan—baru 5 orang yang melapor secara resmi ke kepolisian. "Saat akan menjalankan aksinya, tersangka tidak melakukan pengancaman, tapi memberikan doktrin-doktrin agama, sehingga para santri merasa takut apabila menolak keinginan para tersangka,” terang Ari.
Bila kasus-kasus di atas menempatkan anak-anak sebagai korban, pada kasus lain semisal kasus “Neko-neko dikeroyok” (Geng Nero) di Pati dan sepatu Nabila di Batujajar, anak-anak justru berperan sebagai pelaku. Terbaru, video seorang anak tengah memukuli sejumlah temannya di dalam ruangan viral di media sosial. Anak-anak yang dipukuli itu hanya diam, seolah merelakan dirinya menjadi samsak. Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty menyatakan video yang juga dibagikan oleh Nikita Mirzani tersebut berlokasi di pesantren Darul Huffaz, Lampung.