Kamis, 11 Agustus 2022

Perkara dalam pernikaha sensifitas hakim dalam memutuskan perkara

Ilustrasi gambar : Perkara dalam pernikaha sensifitas hakim dalam memutuskan perkara

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, bertujuan  untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah .Demikian juga disebutkan  dalam  pasal  1  UU. No.1/1974  bahwa , perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara  seorang pria dengan seorang wanita  sebagai suami istri  dengan tujuan membentuk keluarga  (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa , tujuan tersebut sejalan dengan maksud firman Allah dalam surat Ar Rum ayat 21 yang artinya : Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram  kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih  dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Tentu jika masing-masing pasangan suami istri dapat mewujudkan tujuan luhur dari perkawinan tersebut maka akan terlihat dampak positif yang dirasakan masing-masing pasangan  suami istri ,anak-anak dari perkawinan orang tuanya, bahkan dalam kehidupan  bermasyarakat , berbangsa dan bernegara 

Ternyata untuk mewujudkan tujuan luhur perkawinan tersebut diatas  tidaklah mudah , padahal menegakkan  rumah tangga adalah sebuah keharusan bagi suami istri tatkala mereka telah terikat dalam ikatan perkawinan yang sah  sehingga tidak sedikit pasangan suami istri yang rumah tangganya tidak sampai ke tujuan perkawinan dan  Seharusnya sebuah rumah tangga itu dapat dibangun sampai pada tujuan  perkawinan  yang  sebenarnya  yaitu  membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang sakinah, mawaddah dan rahmah  bahkan sampai salah satu pihak ada yang meninggal dunia.

Namun faktanya perceraian semakin meningkat dari tahun ke tahun  terutama cerai gugat, dengan berbagai alasan  yang tidak diatur  dalam  peraturan perundangan, dan dengan alasan perceraian yang tidak ditemukan dalam aturan  perundangan itu Hakim dituntut sensitifitasnya untuk menginterpretasikan alasan-alasan perceraian tersebut . hanya sebagai jembatan menuju ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk mencari jalan terbaik bila  terjadi  konflik  suami  istri dalam rumah tangganya yang lazim dikenal dengan istilah terjadi “perselisihan dan pertengkaran” yang seharusnya dapat diselesaikan melalui musyawarah  untuk menuju perdamaian dan bukan membawanya ke Pengadilan, karena hasil musyawarah yang berakhir dengan damai akan lebih baik hasilnya.  Ibarat sebuah rumah yang pintunya rusak atau gentengnya bocor maka pintu tersebut harus diganti dengan yang baru atau diperbaikinya . Demikian juga dengan genteng yang bocor harus diganti dengan genteng yang masih baik , dan bukan merobohkan atau menghancurkan bangunan  rumah tersebut. Kalau yang terjadi adalah menyelessaikan masalah dengan menghancurkan rumah maka akibatnya semua barang yang ada dalam rumah tersebut menjadi rusak dan tidak berguna lagi, penyelesaian  seperti diatas dapat diterapkan pada  kasus dalam rumah tangga yang sedang dilanda konflik , termasuk anak-anak dan masa depannya akan hancur akibat ke egoisan orang tuanya.  Itulah sebuah gambaran penyelesaian yang salah dan ini banyak dilakukan oleh suami istri dalam menyelesaikan masalah rumah tangganya. Semestinya dicarikan solusinya dan diselesaikan apa yang menjadi penyebab perselisihan dan pertengkarannya . Bukan dengan cara menghancurkan bangunan rumah tangganya dengan cara mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama yang berakhir dengan perceraian.

Perceraian , kalaupun itu terjadi adalah sebagai pintu dharurat, jalan terakhir , karena perceraian  walaupun dibolehkan akan tetapi perceraian sangat dibenci oleh Allah SWT. Bahkan langit dan arsy sangat  terguncang karena ada suami istri yang bercerai. Semestinya dapat diminimalisir bibir-bibit perselisihan dan pertengkaran tanpa mengorbankan bangunan rumah tangga yang sudah dilaluinya dengan susah sama susah dan senang sama senang selama bertahun- tahun , bahkan sudah puluhan tahun. Ibarat panas setahun dihapus hujan sehari.

Permasalahan

Berpijak dari judul diatas, maka yang menjadi masalah adalah : Sejauh mana sensitifitas Hakim dalam menginterpretasikan  alasan-alasan perceraian yang telah diatur dalam Peraturan Perundangan kaitannya dengan peraturan perundangan lainnya. Dari permasalahan diatas, penulis akan berusaha menganalisa alasan –alasan perceraian yang selengkapnya dibahas dalam bab III  tulisan ini.

Cerai Talak dan Cerai Gugat.

Di Indonesia berdasarkan UU.No.1/1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9/1975 tentang pelaksanaan UU.No.1/1974 dan  Instruksi  Presiden  RI. ( Inpres  ) No. 01 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ada 2 istilah dalam perceraian yaitu cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah inisiatif yang mengajukan perkara ke Pengadilan Agama datang dari pihak suami , karenanya suami disebut sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon  , sedangkan cerai gugat adalah inisiatif yang mengajukan perkara ke Pengadilan Agama datang dari pihak istri, karenanya istri disebut sebagai  Penggugat  dan  suami  sebagai  Tergugat   dan  akibat  cerai talak maupun akibat  cerai gugat menjadi pembahasan tersendiri yang tidak mungkin termuat dalam tulisan ini.

Tatacara perceraian :

Untuk cerai talak, pasal 66 UU. No. 50 /2009 tentang perubahan kedua atas UU. No.7/1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan :

Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang  guna menyaksikan ikrar talak.

Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon , kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

Dalam hal termhon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri , maka permohonan diajukan kepda Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama  dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 diatas memuat :

Nama, umur dan tempat kediaman pemohon yaitu suami, dan termohon yaitu istri.

Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Selama proses pemeriksaan cerai talak  sebelum sidang pembuktian , istri dapat mengajukan rekonpensi mengenai nafkah anak, nakah madliyah, nafkah iddah, mut’ah, sedangkan harta bersama dan  hadlonah  sebaiknya  diajukan  dalam  perkara tersendiri.

Untuk cerai gugat, pasal 73 UU. No. 50 /2009 tentang perubahan kedua atas UU. No.7/1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan :

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsugkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Suami / istri dapat mengajukan gugat provisi

Suami dalam permohonannya dapat mengajukan permohonan provisi, demikian juga istri dalam gugatan rekonpensinya dapat mengajukan permohonan provisi tentang hal-hal yang diatur dalam pasal 24 P.P. No.9/1975 yaitu :

Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal  dalam satu rumah.

Selama berlangsungnya gugatan perceraian , atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat :

Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.

Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.

Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Suami / istri dapat mengkumulasikan gugatan cerai dengan gugatan lainnya.

Pasal 66 UU. No.50/2009 tentang   perubahan  kedua  atas UU.No.7/1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan :  Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak,  nafkah istri  dan harta bersama suami istri  dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan , demikian juga dalam pasal 86 UU. No. 50/2009  menyebutkan : Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak , nafkah istri  dan harta bersama suami istri  dapat diajukan bersama-sama  dengan gugatan perceraian  ataupun sesudah putusan perceraian  memperoleh kekuatan hukum tetap.

Agar proses perceraian  tidak  memakan  waktu yang        lama sebaiknya gugatan selain perceraian diajukan setelah perkara perceraian putus dan berkekuatan hukum tetap, kemudian gugatan –gugatan  lainnya  diajukan menjadi perkara tersendiri  seperti : tentang pembagian harta bersama, penguasaan anak dan lainnya agar tidak menghambat proses perceraiannya, pemisahan perkara perceraian dengan gugatan lainnya ini telah dibenarkan oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama sebagaimana suratnya Nomor 17/TUADA-AG/IX/2009  tanggal 29 September 2009  tentang penjelasan pasal 86 ayat (I) Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama , yang tujuannya untuk kelancaran proses perceraian tidak dihambat oleh gugatan lainnya yang bersifat gugatan kumulasi tersebut.

Gugatan harta bersama, dalam praktek peradilan  ditemukan banyak kendala yang terkait dengan rahasia Bank apabila harta bersama tersebut berupa uang dalam rekening giro, tabungan atau deposito di Bank tertentu atas nama suami atau istri. Suami atau istri yang mendalilkan istrinya atau suaminya  mempunyai rekening giro, tabungan atau deposito pada Bank tertentu akan mengalami  kesulitan dalam pembuktian, karena yang dapat mengakses saldo rekening giro, tabungan dan deposito tersebut hanya pihak suami atau istri yang memiliki rekening giro, tabungan atau deposito ( Buku II Edisi 2009 Mahkamah Agung RI. 2009 hal.221 ). Selama ini perkara yang masuk ke Pengadilan Agama terutama perceraian yang dikumulasikan dengan harta bersama sering berlarut-larut waktu, tenaga, pikiran, biaya yang tidak sedikit dan tidak tercapai asas peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan.

Alasan Perceraian

Perkawinan  dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian  dan  c.  atas keputusan Pengadilan  (  Pasal  38 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan  , untuk selanjutnya disingkat UU No.1/1974 ) .

Selanjutnya pasal 39 UU.No.1/1974 menyebutkan :

( 1 )  Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

( 2 ) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

( 3 ) Tatacara perceraian di depan siding Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Dalam penjelasan pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975  tersebut dijelaskan bahwa alasan-alasan  yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah :

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (a) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam) .

Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa ada alasan yang sah  atau karena   ada  hal  yang  lain  di  luar   kemampuannya             ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  b UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (b) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam).

Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman yang  lebih   berat  setelah  perkawinan berlangsung            ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  c UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam).

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain  ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  d UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (d) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kwajibannya sebagai suami/istri ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  e UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (e) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).

Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  f  No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam).

Alasan-alasan tersebut diatas  masih ditambah  2 lagi sebagaimana tercantum dalam pasal 116 kompilasi hukum islam  yaitu :

Suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam) .

Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam) .

Jadi untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan yang bermuara  pada  terjadinya  ketidakrukunan  dalam  rumah  tangga atau  sudah  tidak  ada  harapan  akan  hidup  rukun  lagi dalam rumah tangga, bahkan  dalam doktrin yang dibangun oleh Mahkamah Agung RI. melalui yurisprudensi nomor 38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991. yang harus diterapkan   dalam  perkara  perceraian adalah “ pecahnya rumah tangga ( broken marriage ) “ oleh karenanya tidaklah penting menitik beratkan dan mengetahui siapa yang bersalah yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan pertengkaran akan tetapi yang terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya yang terjadi dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon.

Demikian juga yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang lainnya yaitu nomor  28 PK/AG/1995, tanggal 16 Oktober 1996.yang harus diterapkan dalam perkara perceraian  bukanlah  “ matri monial guilt “ akan tetapi  broken marriage ( pecahnya rumah tangga ) oleh karenanya tidaklah penting menitikberatkan dan mengetahui siapa yang bersalah yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan pertengkaran akan tetapi yang terpenting adalah mengetahui keadaan senyatanya yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat.

Alasan  a  s/d  h  tersebut adalah bersifat alternatif , jika salah satu saja alasan telah terpenuhi maka Pengadilan Agama dapat mengabulkan perceraiannya tetapi yang  penting  dicatat   disini  bahwa alasan –alasan  a s/d h sekalipun telah terjadi namun tidak menyebabkan rumah tangganya berantakan dan masih hidup rukun maka tidak dapat dijadikan alasan perceraian . Karena itu untuk alasan – alasan  a  s/d  h hanya sebagai jembatan menuju ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga  , sehingga alasan-alasan  a  s/d  h tersebut, baru berlaku efektif  jika pada akhirnya menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga atau sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Atau dengan kata lain alasan  a  s/d  h merupakan alat bantu untuk mencapai  pasal  39 ayat  ( 2 )  UU.No. 1/1974 dan  khusus  alasan                h   ( Peralihan agama atau murtad )  penulis berpendapat bahwa rukun atau tidak rukun kalau sudah murtad tidak perlu dicari ada harapan bisa rukun atau tidak dalam rumah tangganya. Karena bertentangan dengan prinsip aqidah Islam, apalagi kalau kawin cerai-kawin cerai dan sudah beberapa kali  murtad.

BAB  III  SENSITIFITAS HAKIM DALAM MENGINTERPRETASIKAN ALASAN PERCERAIAN

Dalam Undang - Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama maupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan organic lainnya  disebutkan tentang beberapa alasan perceraian yang termuat dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo.  Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan dalam makalah  ini penulis akan menjelaskan dan mengungkap secara tuntas yang menjadi penyebab dari alasan perceraian  serta menganalisanya, dengan demikian akan dapat diketahui latar belakang penyebab perceraian yang terjadi selama ini dan juga berdasar pada pengalaman penulis sebagai praktisi hukum dalam menangani perkara-perkara perdata Islam khususnya tentang perceraian yang unik, menarik. Unik karena terkadang dari persoalan yang sepele tapi dijadikan sebab perceraian. Menarik karena dengan menganalisa yang menjadi penyebab perceraian antara satu orang dengan lainnya tidak sama, kalaupun ada yang sama itupun dari sebab yang berbeda dan alasan boleh sama tetapi dari penyebab yang berbeda.

Perceraian terjadi dengan alasan pasal 19 huruf  a  No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf  a KHI yaitu  salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a UU.No. 1/1974 , jo. Pasal 19 (a) PP. No. 9/1975, jo. Pasal 116 huruf   a  KHI).

Kalimat salah satu pihak berbuat zina dapat  menjadi alasan perceraian .Zina adalah bentuk penyaluran biologis yang dilarang dalam agama Islam dan termasuk perbuatan yang haram dimana pelakunya akan mendapat siksa jika tidak mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Dan Allah SWT. Akan mengampuninya setelah ia bertaubat dengan sebenar-benarnya ( taubatan nashuha). Berbuat zina disamping perbuatan yang hina, juga akan menurunkan martabat dan citra pelakunya ditengah masyarakat , disamping itu jika salah satu pasangan  suami istri berbuat zina akan membuat marah salah satu pasangannya dan berlanjut pada pengungkitan perbuatan zina yang berkepanjangan, barang kali dalam benak suami yang istrinya berzina atau istri yang suaminya berbuat zina dengan orang lain  akan bertanya -tanya, mengapa pasangan hidup saya berbuat  zina, mengapa ia sudah tidak setia lagi pada saya  apa salah saya dan apa kekurangan saya  dan banyak pertanyaan lain yang berkecamuk dihati pasangannya , sehingga membuat hati orang yang pasangan hidupnya berzina menjadi hancur berkeping-keping sehingga semakin lengkaplah  segala penderitaan pasangan hidupnya .

Sedikit uraian diatas dan melihat kenyataan yang terjadi di masyarakat dengan  sekali saja berbuat zina,  cukup menjadi alasan perceraian. Karena akibat buruk yang ditimbulkan dari  berbuat zina sangat besar dan kata “ zina “ tidak didahului dengan kata “pe”. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun dilakukan hanya sekali berbuat zina sudah cukup dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.

Sedangkan  alasan   atau menjadi “pemabuk, pemadat, penjudi” ,membutuhkan pengulangan perbuatan karena kata mabuk,madat dan judi didahului oleh kata “pe” , ini menunjukan bahwa harus ada perbuatan yang secara berulang-ulang/sering , sehingga  berbuat mabuk, madat dan judi yang baru satu kali dilakukan kiranya belum dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.Jadi karena  seringnya perbuatan tersebut dilakukan maka orang yang sering mabuk disebut pemabuk, orang yang sering madat disebut pemadat dan  orang yang sering  melakukan judi disebut penjudi.

Tentang alasan perceraian sebagaimana tercantum dalam pasal pasal 19  huruf  a  PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf  a KHI yaitu  salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf a UU.No. 1/1974 , jo. Pasal 19 (a) PP. No. 9/1975, jo. Pasal 116 huruf   a  KHI), diakhiri dengan kalimat yang berbunyi : dan lain sebagaimanya yang sukar disembuhkan . dengan kalimat yang demikian ini hakim diberi kebebasan untuk membuat penilaian tentang hal-hal lain yang dapat dijadikan alasan perceraian selain yang telah terurai diatas yaitu diluar alasan menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi.

Berdasarkan dari kalimat “ dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan”, maka ada hal yang dimungkinkan untuk perluasan alasan perceraian yang tidak kalah kejinya dibandingkan dengan berbuat zina seperti liwath ( homo seks ), sahaq ( lesbian ), bestiality ( menyetubuhi binatang), oral seks dengan pihak lain , semua perbuatan diatas menurut penulis  juga dapat dijadikan alasan perceraian, karena tingkat kekejiannya sama dengan berbuat zina  sehingga meskipun untuk alasan perceraian ditujukan pada hal-hal yang sukar disembuhkan , tetapi khusus untuk perluasan alasan diatas tidak perlu dilakukan berulang-ulang /sering tetapi dengan sekali saja perbuatan tersebut dilakukan sudah cukup untuk dapat dijadikan alasan perceraian walaupun sekali diperbuat.

Dengan perluasan alasan seperti diatas sebagai alasan perceraian, maka jika terdapat kasus perceraian dengan alasan pada hal-hal diatas , tidak perlu lagi dipaksanakn menformulasikan kearah perselisihan dan pertengkaran yang ditunjuk leh pasal 19 huruf f PP. No. 9/1975 Jo. Pasal 116  huruf  f  KHI tetapi sebaliknya dapat mencukupkan dengan menunjuk pasal-pasal alasan  perceraian sebagaiamana tercantum dalam angka 1 tersebut. Dan kalau memang terdapat alasan No. 1 telah terbukti serta terbukti pula ada perselisihan dan pertengkaran sebagaimana alasan perceraian angka 6, maka tidak ada salahnya disamping menunjuk ketentuan angka 1 juga menunjuk ketentuan pasal tentang perselisihan dan pertengkaran yang termuat dalam angka 6.

Sedangkan untuk perluasan ( ektensif ) dari kalimat menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, menurut penulis sangat luas dan bahkan akibatnya lebih parah dibandingkan menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi, perluasan tersebut  antara lain meliputi : menjadi penipu, perampok, pencuri, pembunuh, pemeras, penodong , pencopet, penadah barang curian dan lain  sebagainya  , tidaklah perbuatan-perbuatan tersebut dapat dipastikan lebih baik dari pada menjadi pemabuk,  Pemadat dan penjudi, sehingga terhalang untuk dapat dimasukkan sebagai alasan perceraian.

Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa ada alasan yang sah  atau   karena   ada   hal   yang   lain   di  luar  kemampuannya        ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  b UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (b) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam).

Kalimat diatas harus ada syatrat-syarat yang harus terpenuhi agar terjadi perbuatan meninggalkan pihak lain yang dapat dijadikan alasan perceraian yaitu :

Sekurang-kurangnya selama 2 tahun, Berturut-turut.  c. Tanpa izin pihak lain , d. Tanpa alasan yang sah.

Ke empat syarat diatas bersifat komulatif, artinya ke empat syarat tersebut harus terpenuhi agar dapat dijadikan alasan perceraian . Adapun untuk  merinci meninggalkan pihak lain seperti :

  • Kurang dari dua tahun, 2 . berturut-turut , 3 . tanpa izin pihak lain  , 4.  tanpa alasan yang sah
  • 1 Kurang dari dua  tahun , 2  tidak berturut-turut , 3.  tanpa izin pihak lain  , 4.  tanpa alasan yang sah.
  • 1 kurang dari dua tahun,    tidak berturut-turut,  3 . ada izin pihak lain,  4.   tanpa alasan yang sah.
  • 1 kurang dari dua tahun,    tidak berturut-turut, 3.  ada izin pihak lain,  4.  ada alasan yang sah.
  • 1 Selama dua tahun,  2  tidak berturut-turut , 3  tanpa izin pihak lain,  4  tanpa alasan yang sah.
  • 1 Selama dua tahun,    tidak berturut-turut, 3.  ada izin pihak lain
  • 4  ada alasan yang sah.
  • 1 Selama dua tahun, 2.   berturut-turut,  3  tanpa  izin pihak lain,  4  ada alasan yang sah.
  • 1 Selama dua tahun,  2  tidak berturut-turut,  3  ada izin pihak lain , 4  tanpa alasan yang sah.
  • 1 Selama dua tahun,  2  berturut-turut,  3  ada izin pihak lain, 4  tanpa alasan yang sah

Alasan  a  s/d  i menurut penulis tidak dapat dijadikan sebagai alasan perceraian karena tidak bersifat komulatif .

Alasan perceraian sebagaimana angka 2 diatas, diakhiri dengan kalimat yang berbunyi : atau karena hal lain diluar kemampuannya. Kalimat demikian ini memberi isyarat adanya kelonggaran hakim untuk memberikan interpretasinya atau kemungkinan lain bahwa meninggalkan pihak lain dalam keadaan terpaksa yang berada diluar kemampuan untuk menolak keadaan tersebut dapat juga dijadikan alasan perceraian  dalam syarat komulatif sekuang-kurangnya dua tahun dan berturut-turut.

Ada sekelompok orang yang terdiri dari suami istri sedang mengadakan study tour ke kota tertentu, ternyata saat ia terpisah dari rombongan , ia diculik seseorang yang memang sudah/belum  mengenalnya karena orang yang diculik sudah dikenal dan dikuasainya, sehingga sebenarnya suami/istri tidak ingin meninggalkan pihak lain tetapi karena diculik maka terpaksa meninggalkan pihak lain. Karena itu perbuatan meninggalkan pihak  lain  tersebut  bukan  atas kehendaknya tetapi karena hal lain diluar kemampuannya. Kasus lain misalnya salah satu suami/istri sedang pergi berburu ke hutan yang belum pernah dijamahnya dan ternyata ia tersesat ditengah hutan belantara dan semakin jauh dari rumahnya  , padahal ia telah berusaha untuk mencari tahu dengan berbagai cara secara maksimal tetapi malah semakin tersesat dihutan tersebut. Karena itu dalam hal yanag demikian ini ia telah meninggalkan pihak lain disebabkan sesuatu hal lain berada diluar kemampuannya.

Termasuk menjadi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada awalnya rutin memberi kabar tentang dirinya  kepada pasangannya tetapi lambat laun tak ada kabar beritanya yang mungkin akses disana sengaja di putus oleh majikannya dengan cara disekap dan ditempatkan pada kamar khusus yang orang ain tidak tahu sehingga ia tidak dapat member kabar sebagaimana pada awal ia bekerja, maka dalam hal yang demikian ia meninggalkan pihak lain disebabkan sesuatu hal yang berada diluar kemampuannya.

Menghadapi sesuatu hal lain diluar kemampuannya memang disatu sisi memberikan kebebasan hakim untuk berinterpretasi sesuai dengan keyakinannya akan tetapi interpretasi alasan perceraian tersebut harus tetap mengacu kepada muara yang  berujung pada sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga .Kalau ternyata sesuatu hal lain diluar kemampuannya tidak mengacu pada muara tersebut dan rumah tangganya tenang-tenang dan tentram saja maka hakim tidak layak menggunakan interpretasinya , karena mungkin ia masih mau menunggu suatu saat suami/istrinya akan pulang atau karena bekal yang ditinggalkan suami masih banyak untuk persiapan beberapa tahun ke depannya sehingga  tidak menjadikan persoalan bagi orang yang ditinggalkan oleh salah satu pasangannya dalam waktu yang lebih lama.

Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman yang  lebih   berat  setelah  perkawinan  berlangsung            ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  c UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (c) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam).

Salah satu dari suami/istri yang  telah terbukti bersalah dan mendapatkan vonis 5 tahun penjara  atau lebih, maka dapat disimpulkan disini bahwa  begitu salah satu pihak mendapat vonis hukuman penjara 5 tahun atau lebih dan vonis tersebut telah berkekuatan hukum tetap terbuka  kemungkinan salah satu pihak menjadikannya sebagai alasan perceraian tanpa perlu menunggu hukumannya dijalani selama lima tahun atau lebih tersebut.

Kemudian alasan perceraian no. 3 diatas diakhiri dengan kalimat setelah perkawinan berlangsung , ini mengandung pengertian bahwa hukuman penjara selama lima tahun atau lebih tersebut sekalipun suami istri  masih pengantin baru dan hukuman belum dijalani tetapi ia sudah mendapatkan resmi salinan putusan dari Pengadilan yang memutusnya maka resmi salinan putusan tersebut dapat dijadikan alasan perceraian yang sekaligus dapat dijadikan sebagai alat bukti di sidang pengadilan.

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain  ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  d UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (d) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam).

Alasan perceraian nomor 4 diatas , untuk mencermati dan  memahaminya sepenuhnya diserahkan kepada hakim, hakim diberikan keleluasaan maupun kebebasannya dalam menginterpretasi maupun memberikan penilaian apakah suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak termasuk katagori membahayakan pihak lain atau tidak , bahkan hakim dalam urusan yang menyangkut rumah tangga yang berujung pada perceraian dengan alasan nomor 4 diatas dalam hal ini hakim dituntut sensitifitasnya dan menghubungkannya dengan ketentuan perundangan lainnya seperti Undang-Undang  Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga   ( KDRT ), Undang-Undang Nomor  23 tahun 2002 tentang Perlindungan  Anak.

Salah satu contoh  disebutkan  dalam  pasal 9 ayat (1) dan ( 2 ) Undang-Undang Nomor  23 tahun 2004 yaitu :  setiap orang dilarang  menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya , padahal menurut hukum  yang berlaku baginya atau karena persetujuan  atau perjanjian  ia wajib memberikan  kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi  dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau  diluar rumah  sehingga korban  berada dibawah  kendali orang tersebut. Kata Penelantaran sama sekali tidak disebut didalam alasan perceraian akan tetapi pengaruh  dari akibat penelantaran baik dilakukan suami atau istri akan berdampak buruk dan berujung perceraian .

Menurut  R. Sugandi dalam buku  KUHP dengan penjelasannya halaman 366 yang mengutip dari yurisprudensi, penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Menurut pengertian ini maka perbuatan yang dilakukan salah satu pihak suami/istri yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit berat atau luka berat dapat dikatagorikan sebagai penganiayaan berat, oleh karena undang –undang tidak menegaskan arti yang sesungguhnya dari kalimat penganiayaan berat tersebut maka hakim diberi keleluasaan untuk menilainya apakah perbuatan salah satu pihak itu termasuk penganiayaan berat atau tidak.

Menurutnya, yurisprudensi tampaknya membedakan rasa tidak enak dengan rasa sakit, tetapi mungkin yanag dikehendaki dengan sebutan rasa tidak enak yaitu perasaan hati atau sakit hati, sedangkan yang dikehendaki dengan sebutan rasa sakit yaitu sakit fisik. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa penganiayaan bisa berupa penganiayaan psyikis dan penganiayaan pysik atau penganiayaan  psyikis saja atau pysik saja, atau kedua-duanya dan apalagi sakitnya dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Menurut penulis, sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisa suatu kasus layak untuk menggunakan dalil qiyas agar suatu kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang  lain dalam hubungannya dengan sakit hati (psyikis ) ternyata banyak ragamnya mulai dari ejekan, hinaan, caci maki yang sangat keterlaluan (meskipun ejekan, hinaan, caci maki sulit untuk dibuktikan ) akan tetapi mengakibatkan amat tertekan hatinya hingga mengalami stress bahakan  stroke menimpa pihak lainnya, maka hal-hal yang demikian ini patut dikatagorikan sebagai penganiayaan  berat  yang membahayakan pihak yang lain sebab stress berat dapat mengakibatkan kematian.

Tentang  sakit  pysik yang berat, seperti menendang, menempeleng, memukul , menusuk dengan senjata tajam yang menyebabkan luka parah , menyulut badan dengan api  atau menjerat dengan tali yang menyebabkan pihak lain tidak berdaya, sehingga menimbulkan rasa sakit berat sekalipun tidak menyebabkan luka. Jadi untuk mengukur dan menilai apakah perbuatan salah satu pihak itu membahayakan pihak lain atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.

Alasan perceraian sebagaimana diuraikan diatas hanya sebagai alat bantu  yang harus bermuara kepada terjadinya ketidak adanya harapan untuk rukun dalam rumah tangga.

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kwajibannya sebagai suami/istri ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  e UU.No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (e) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam).

Kalau dicermati bunyi kalimat diatas akan segera tampak bahwa cacat badan atau penyakit itu baru bisa dijadikan alasan perceraian jika sudah membawa akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Sebagaimana uraian dalam angka 4 diatas, disini juga tersirat bahwa penyakit bisa berupa penyakit jasmani dan rohani ( penyakit pysik dan mental ) yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri dapat dijadikan sebagai alasan perceraian. Seorang suami sehat jasmani tetapi punya kebiasaan buruk, malas bekerja atau sifat buruk lainnya yang mengakibatkan beban pekerjaan beralih kepada istrinya, ia mengandalkan penghasilan dari istrinya, sehingga suami tidak sedikitpun menghidupi istri untuk memberi nafkah kepadanya sehingga kewajiban untuk memberi nafkah kepada istri tidak terlaksana , maka malas dalam hal ini masuk katagori penyakit rohani yang membawa akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami.

Demikian juga jika perangai atau akhlaq istri sangat buruk yang berakibat tidak dapat melaksanakan  kewajiban sebagai seorang istri untuk berbakti lahir batin terhadap suaminya, maka hal demikian juga layak dikatagorikan sebagai penyakit rohani , karenanya dapat dijadikan sebagai alasan perceraian .

Adapun tentang salah satu pihak  mendapat cacat badan , seperti suami  atau  istri  yang  mengalami  kecelakaan  sehingga salah satu tangan  atau kakinya mengharuskan diamputasi sehingga menjadi cacat  dan dengan diamputasi tersebut berakibat suami atau istri beakibat  tidak  dapat  menjalankan  kewajibannya sebagai suami atau istri, maka dapat diajadikan sebagai alasan perceraian. Demikian juga termasuk penyakit berat lainnya atau gangguan fungsi alat kelamin, seperti inpotensi, stroke, gila, lumpuh, pendarahan terus menerus , kanker rahim, atau akibat      de generative yang akut  sehingga  ginjal, jantung, dan sebagainya tidak berfungsi normal  yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri maka dapat dijadikan sebagai alasan perceraian .

Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga ( penjelasan pasal 39 ayat (2) huruf  f  No. 1/1974 jo. Pasal 19 huruf (f) PP.No.9/1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam).

Kalimat nomor 6 tersebut diatas kalau dijabarkan kira-kira demikian bunyinya :

Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus sehingga tidak ada harapan lagi untuk dapat hidup rukun dalam rumah tangga, dapat dijadikan alasan perceraian.

Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang  terus  menerus dan  masih ada harapan bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga , tidak dapat dijadikan alasan perceraian.

Bahwa antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak  terus  menerus baik  masih ada harapan  atau tidak ada harapan lagi bagi suami istri untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga,  tidak dapat dijadikan alasan perceraian.

Dipisahkannya kata perselisihan dan pertengkaran dalam alasan perceraian angka 6 tersebut diatas tentu mempunyai maksud yang berbeda. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia , perselisihan adalah persengketaan yang harus diputuskan lebih dahulu sebelum perkara pokok dapat diadili dan diputus ( halaman 1174 ) sedangkan pertengkaran adalah percekcokan, perdebatan , yang menurut penulis kedua kata tersebut adalah komulatif,  yang menunjukkan bahwa perselisihan berbeda  dengan pertengkaran .

Oleh karena kehendak kalimat dalam angka 6 tersebut diatas adalah  “ terus menerus “ maka pengertian dan pengembangan maknanya diserahkan kepada hakim untuk menilainya, apakah perselisihan dan pertengkaran suami istri dikatagorikan terus menerus atau tidak, apakah masih ada harapan untuk hidup rukun lagi atau tidak, atau apakah setelah terjadi perselisihan dan pertengkaran suami istri masih hidup rukun  lagi dalam rumah tangganya atau tidak. Semua diserahkan kepada penilaian hakim karena hakimlah yang punya otoritas untuk itu.

Adanya ketentuan yang menyatakan perselisihan dan pertengkaran  dan ditambah dengan kalimat terus menerus bukanlah harga mati sebagai alasan perceraian akan tetapi hanyalah alat bantu bagi hakim untuk menjatuhkan penilaian apakah suami istri masih ada harapan untuk  dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga atau  tidak , sehingga kesimpulannya kondisi tidak adanya harapan bagi suami istri untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga  merupakan alasan perceraian yang mendominasi ketentuan alasan perceraian angka 6 tersebut . Kalau begitu syarat terus menerus bukan harga mati bagi alasan perceraian karena faktanya banyak kasus suami istri yang tidak pernah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus akan tetapi mereka tidak pernah berkumpul sebagai suami istri , karena begitu selesai akad nikah mereka langsung berpisah dan pulang kerumah masing-masing.perkawinan mereka karena ditangkap dan dipaksa untuk kawin, padahal maunya sama-sama hanya pacaran saja dan tidak menghendaki perkawinan, maka dalam hal ini penulis cenderung melihat latar belakang masing-masing pihak yang sebenarnya dan layak hakim menjatuhkan penilaian bahwa mereka sama-sama menghedaki perceraian dan sudah tidak ada harapan untuk dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga, misalnya perkawinan baru seumur jagung , tidak pernah bertengkar apalagi terus menerus dan nyatanya memang tidak ada harapan untuk hidup rukin dalam rumah tangga, maka unsur  tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga itulah kuncinya, kalau memang hati nurani mengatakan suami istri sudah tidak akan dapat hidup rukun lagi dlam rumah tangga  lalu apa perlunya mereka menunggu dulu untuk menjalani perselisihan dan pertengkaran  dan syarat lainnya yaitu terus menerus , kalau ini yang terjadi maka secara tidak langsung menyiksa hati kedua belah pihak dalam waktu yang berkepanjangan sehingga madlorotnya lebih banyak dari pada manfaatnya. Oleh karena itu untuk penerapan alasan perceraian angka 6 diatas diserahkan kepada penilaian hakim apalagi hakim dapat menerapkannya secara luwes, fleksibel adalah lebih bijaksana.

Ada perselisihan dan pertengkaran yang orang lain tidak tahu, yaitu perselisihan dan pertengkaran secara diam-diam , tidak diperlihatkan dalam pertengkaran mulut atau kelihatan secara adu pysik tetapi suami istri tidak tegur sapa, tidak mau melayani suami atau istrinya dalam waktu yang lama, diam seribu bahasa atau hanya menangis ketika ditanyakan apa masalah yang sedang terjadi. Jadi begitu luasnya istilah perselisihan dan pertengkaran sehingga  alasan  ini  mendominasi  alasan  perceraian di Indonesia.

Suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam) .

Tentang suami yang melanggar taklik talak , disini penulis mengutip pendapat Prof. DR. H. Abdul Manan, SH. S.IP. M.Hum.dalam Mimbah Hukum No. 23 /VI/1995 halaman 68 s/d 90 pada pokoknya adalah :

Taklik talak  ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dlam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan dating ( pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam ). Adapun sighat  taklik talak yang diucapkan sesudah akad nikah sebagai berikut : ( dikutip dari buku Kutipan Akta Nikah Kantor Urusan Agama tahun 1989 ).

Sesudah akad nikah saya……bin……berjanji dengan sesungguh hati , bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama……..binti…..dengan baik ( mu’asyarah bil ma’ruf ) menurut ajaran syari’at agama Islam.

Selanjutnya  saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya itu sebagai berikut :

Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut,

Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,

Atau saya menyakiti badan/ jasmani istri saya itu,

Atau saya membiarkan ( tidak memperdulikan ) istri saya itu enam bulan lamanya,

Kemudian istri saya tidak ridla dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,-( seribu rupiah ) sebagai ‘iwadl ( pengganti ) kepada saya, maka jatuhlah talak saya kepadanya.

Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwadl ( pengganti ) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid ( BKM ) Pusat untuk keperluan ibadah sosial.

Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam) .

Alasan perceraian angka 8 diatas sangat berlebihan ,yang seakan-akan suami atau istri  atau salah satu darinya yang sudah murtad tetapi tidak menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga masih  layak dipertahankan dan tidak dapat dijadikan sebagai alasan perceraian karena masih rukun. Pemahaman selanjutnya bahwa murtad yang dapat dijadikan alasan perceraian adalah murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.Oleh karena itu jika ketentuan angka 8 dipegangi  apa  adanya maka akan timbul konsekuensi hukum yaitu :

Bahwa suami atau istri yang beragama Islam boleh hidup dalam ikatan perkawinan sebagai suami istri, dengan suami atau istrinya yang murtad, jika rumah tangga mereka masih rukun.

Bahwa suami atau istri yang beragama Islam boleh hidup dalam ikatan perkawinan dikala mereka sama-sama murtad, karena mereka masih rukun.

Untuk  angka  1  tersebut diatas, disini akan penulis jelaskan bahwa jika salah satu dari suami atau istri murtad , lalu salah salah satu suami  atau istri mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama , maka jika mereka tidak terbukti bahwa rumah tangganya tidak rukun tetapi masih kumpul serumah dan bahagia bersama pasangannya  meskipun alasan perceraian tentang murtad terbukti, konsekuensi hukumnya tentu Pengadilan Agama harus menolak gugatan perceraiannya, artinya mereka masih hidup sebagai suami istri meskipun salah satunya murtad. Sedangkan untuk angka 2 diatas penjelasannya sama dengan angka satu, yang membedakan adalah  kedua belah pihak suami atau istri sama-sama menghendaki murtad dan rumah tangganya tetap rukun.

Oleh  karena  itu  menurut  penulis ,  jika  alasan nomor 8 tersebut        ( pasal 116 h ) akan dipertahankan apa adanya akan berdampak negatif bagi masyarakat Islam karena tidak tepat untuk diterapkan dalam kasus yang salah satu suami atau istri murtad, tetapi yang lebih tepat adalah diterapkan terhadap kasus yang suami  istri yang sama-sama murtad. Akan tetapi kalau diterapkan pada kasus yang hanya salah satu dari suami atau istri yang murtad , maka lebih tepat kalimat yang berbunyi “ yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga,  dihilangkan saja dari pasal 116  h. tersebut.  Kalau pasal 116  h tidak dihilangkan berarti akan bertentangan dengan pasal 40  huruf  c  maupun  pasal  44  Kompilasi Hukum Islam . Apa isi pasal 40 h tersebut, isinya adalah larangan bagi pria yang beragama Islam kawin dengan wanita yang tidak beragama Islam,demikian juga isi pasal 44 bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pemberlakuan pasal 40 huruf c dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam harus mendapat perhatian serius terutama pejabat yang melaksanakan   perkawinan  dan perceraian ( Kantor Urusan Agama dan  Pengadilan Agama) harus mampu menerapkan  pasal  tersebut  dalam melaksanakan tugas jabatannya.

Kompilasi Hukum Islam sangat menekankan adanya larangan pria  Islam kawin dengan wanita yang tidak beragama Islam atau sebaliknya wanita  yang beragama Islam dilarang kawin dengan pria yang tidak beragama Islam. Sedangkan orang murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam , meskipun dahulunya beragama Islam, karenanya mengapa ada kalimat  “ yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga “ dicantumkan dalam pasal 116 h tersebut. Jadi penulis berpendapat bahwa kalau salah satu dari suami atau istri  murtad, maka tidak perlu lagi menunggu sampai rumah tangganya rukun atau tidak,karena pengakuan suami atau istri yang murtad sudah cukup menjadi alat bukti yang sempurna dan mengikat, karenanya hakim harus  mengabulkan gugatan perceraian atas alasan peralihan agama atau murtad diantara salah satu pihak atau keduanya tersebut.

Kehendak pasal 40 huruf c dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam tidak lain adalah untuk mencegah agar orang Islam tidak hidup sebagai suami istri dengan orang yang tidak beragama Islam, yang meskipun untuk mencegah agar orang Islam tidak hidup sebagai suami istri dengan orang yang tidak beragama Islam dapat ditempuh melalui lembaga pembatalan perkawinan. Dengan menafsir pasal 75  huruf a Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan keputusan pembatalan perkawinan  tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad, dan ternyata murtad sebagai alasan pembatalan perkawinan secara jelas dan tegas tidak dicantumkan dalam pasal 70, 71, maupun pasal 72 Kompilasi Hukum Islam, semestinya dapat dicantumkan ke dalam salah satu pasal tentang pembatalan perkawinan tersebut.

Beberapa kasus yang masuk ke Pengadilan Agama di antara alasan perceraian salah satunya adalah murtad , terjadinya pacaran antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama terkadang menyebabkan salah satu pasangan  menanggalkan agamanya demi  cintanya untuk berusaha menjadikan pasangan itu sebagai  istri atau suaminya, sehingga tatkala perkawinan telah dilangsungkan dan masing-masing telah menempuh kehidupan baru sebagai suami istri ternyata salah satu suami atau istri kembali ke agamanya semula ( murtad ) lalu menyebabkan salah satu pasangan itu kecewa dan mengambil langkah mengajuan perceraian dengan alasan murtad. Begitu telah terjadi perceraian , lagi-lagi yang menjadi korban adalah anak-anak dari perkawinan mereka yang masih kecil-kecil ada yang ikut ibunya , ada yang ikut bapaknya menjadi korban kemurtadan orang tuanya. Masalahnya belum selesai sampai disitu saja tetapi berlanjut hingga anak perempuannya mau menikah dimana anak perempuannya Islam sedangkan bapaknya non Islam. Otomatis bapak yang non Islam tak dapat menjadi wali bagi anak perempuannya yang Islam.

Jadi menurut penulis kalau terjadi awal perbuatan yang tidak baik, maka kelanjutannya akan menjadi tidak baik seperti orang yang melangsungkan perkawinan yang dimulai dengan beda agama, lalu terjadi perkawinan itu dilaksanakan , biasanya perbuatan hukum yang demikian tidak akan bertahan lama dan biasanya salah satu pihak akan kembali ke agamanya semula. Demikian juga setiap saat bisa saja terjadi konflik idiologis yang sewaktu-waktu akan terungkit dan meledak bagaikan bom waktu.

Referensi : Perkara dalam pernikaha sensifitas hakim dalam memutuskan perkara