“Hal yang penting, perceraian dapat membuat anak menjadi depresi. Muncul perilaku negatif seperti lebih pendiam, tertutup, murung. Bahaya sekali bisa jadi sasaran pedofil,” sebut psikolog klinis Yulia Wahyu Ningrum, dikutip dari Kaltim. Alumnus S-1 Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta itu mengatakan, masalah yang timbul setelah perceraian juga memicu munculnya stres. Pada 2017, jumlah perceraian di Kalimantan Timur (Kaltim) yang tercatat di Pengadilan Negeri Samarinda mencapai 7.045 pasangan.
Dari jumlah itu, 73 persen adalah cerai gugat yang diajukan pihak perempuan. Dibandingkan empat tahun sebelumnya, pada 2013, tingkat perceraian di Kaltim telah naik 12 persen. Angka perceraian biasa diukur dengan satuan per seribu penduduk. Dari jumlah tadi, angka perceraian di Kaltim adalah 2,13 per seribu penduduk. Jauh lebih tinggi dibanding angka perceraian nasional yang hanya 1,74 per seribu penduduk. Di Indonesia, menurut BPS, jumlah perceraian menembus 347.256 kasus sepanjang 2015. Jumlah itu berarti dalam setiap jam terjadi 40 kali putusan cerai di pengadilan di seluruh nusantara.
Jika data perceraian Kaltim diiris lagi, Balikpapan memuat angka perpisahan tertinggi. Tahun lalu saja, 1.723 pasangan bercerai di Kota Minyak. Jika diukur dengan hasil sensus penduduk (Badan Pusat Statistik, 2015), angka perceraian di Balikpapan adalah 2,8 per seribu penduduk. Adapun Samarinda, dengan perhitungan yang sama, hanya ‘meraih’ angka perceraian 2,36 per seribu penduduk. Yulia menuturkan, perceraian memicu stres karena menimbulkan masalah finansial, piutang, dan harta gono-gini. Istri bisa depresi karena suami mengingkari perjanjian akta perceraian. Suami yang seharusnya menanggung biaya anak, tak pernah muncul batang hidungnya.
Kenyataan yang banyak dialami oleh perempuan bercerai, mereka harus banting tulang bekerja lagi dan membagi waktu menjadi single parent. “Suami tidak pernah memberikan nafkah atau biaya kepada anak mereka,” ucapnya. Dalam menangani kasus perceraian, maka psikolog perlu melakukan terapi agar kliennya dapat melewati permasalahan tersebut dengan baik. Pertama, klien harus mempersiapkan diri terlebih dahulu secara mental soal status baru sebagai janda.
Kemudian siap secara ekonomi dengan menghitung harta gono-gini dan diskusi terkait pekerjaan yang akan diambil. Selanjutnya, psikolog dapat memberikan terapi realita dan support therapy. Lalu, hypnotherapy agar klien mampu tenang dan ikhlas dalam menjalani kehidupan baru. Terakhir mempersiapkan dan memotivasi anak korban perceraian dengan family therapy. Termasuk, memikirkan sosok atau figur pengganti ayah untuk anak, bisa dengan kehadiran paman atau kakek. Waktu pendampingan ini beragam, biasanya dari sebelum bercerai sekitar tiga bulan. “Kemudian saat proses perceraian, mempersiapkan diri dalam sidang hingga tiga bulan setelah perceraian. Maksimal seminggu sekali dalam sesi pertemuan,” pungkasnya
Referensi : Perceraian atau Berpisah dari Pasangan Bisa Memicu Gangguan Jiwa