Sikap seorang hamba dalam menghadapi musibah adalah sebuah indikasi apakah musibah itu suatu ujian atau hukuman. Apabila dia ridha, maka Allah Ta’ala akan ridha kepadanya. Apabila dia murka dan tidak terima dengan musibah yang merupakan takdir dan perbuatan Allah, maka Allah pun murka kepadanya.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani Rahimahullah berkata, “Tanda bala (musibah) sebagai hukuman dan sebagai pembalasan adalah orang tersebut tidak bersabar, bahkan bersedih dan mengeluh kepada makhluk. Tanda bala (musibah) sebagai penebus dan penghapus kesalahan adalah kesabaran yang indah tanpa mengeluh, tidak bersedih dan tidak gelisah, serta tidak merasa berat ketika melaksanakan perintah dan ketaatan.
Tanda bala (musibah) sebagai pengangkat derajat adalah adanya ridha, merasa cocok/sesuai (atas takdir Allah), dan merasa tenang jiwanya serta tunduk patuh terhadap takdir hingga hilangnya musibah tersebut.” (At Tabaqatul Kubra as-Sya’rani, hal.193).
Ujian yang disegerakan di dunia juga menjadi tanda kebaikan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukuman di dunia. Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang dia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR Tirmidzi).
Kemudian yang lebih utama dan lebih penting dari itu semua, hendaknya seorang hamba senantiasa berprasangka baik kepada Allah SWT dalam setiap kondisi, saat mendapat anugerah ataupun musibah. Allah berfirman, dalam hadis Qudsi, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku.” (HR Bukhari).
Semoga kita termasuk hamba-Nya yang senantiasa bermuhasabah saat ditimpa musibah, sehingga semakin menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Mari kita renungkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berikut ini, “Musibah yang mendekatkanmu kepada Allah lebih baik dari nikmat yang membuatmu lupa kepada Allah.” (Tasliyah Ahlil Mashaa-ib, hal.227).