مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى ڪِتَـٰبٍ۬ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٲلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ۬
Artinya: “Tiada suatu musibahpun yang menimpa di bumi dan [tidak pula] pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab [Lauh Mahfuzh] sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS Al-Hadid 57: 22).
Ayat ini sekaligus mengingatkan bahwa apabila kita diuji dengan suatu musibah, maka itu sudah tercatat di Lauh Mahfuzh. Hanya kita saja yang tidak tahu, dan baru tahu setelah terjadi kemudian. Hal ini agar kita tidak terlalu bersedih, risau apalagi putus asa.
Sikap terbaik menghadapi musibah adalah dengan mengembalikannya kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya. Seperti disebutkan di dalam ayat:
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٌ۬ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٲجِعُونَ
Artinya: “[yaitu] orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. (QS Al-Baqarah [2]: 156).
Rasulullah Shallallahu ‘Aalaihi Wasallam menyebutkan sejumlah jenis musibah, antara lain adalah adanya rasa lelah, sakit, resah, sedih, derita, hingga tertusuk sebuah duri sekali pun. Itupun dapat disebut sebagai musibah.
Jika itupun menimpa orang-orang beriman, maka justru hal itu sebagai penghapus dari dosa-dosanya dan menjadi cara Allah memberikan ampunan kepada hamba-hamba-Nya.
Ini seperti disebutkan di dalam hadits:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Artinya : “Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Karena itu, musibah itu dimaknai sebagai sesuatu yang menimpa seseorang, tapi tidak selalu berarti buruk. Seperti hujan bisa menimpa kita, padahal kita baru menjemur pakaian, belum kering semuanya. Namun hujan itu bukanlah suatu yang buruk, pada sisi lain ia dapat merupakan sesuatu yang baik. Justru hujan yang dinanti-nanti para petani.
Begitulah, musibah itu tidak selamanya dapat diartikan sebagai alamat murka Allah. Tapi bisa jadi ia adalah ujian dari Allah sebagai tanda kasih sayang-Nya dan cara bagaimana Allah ingin meningkatkan derajat hamba-Nya.
Begitu pula sebaliknya dengan nikmat, tidak selamanya sebagai pertanda mendapat keridhaan Allah.
Bahagia dan musibah kedua-duanya merupakan Sunnatullah terhadap makhluk-Nya Allah sebagai ujian keimanan seseorang dari Tuhannya.
Allah menyebut di dalam ayat:
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ (٢) وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِينَ (٣)
Artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (QS Al-Ankabut [29]: 2-3).
Cara terbaik bagi kita orang-orang beriman adalah bersyukur ketika mendapatkan ujian kenikmatan dan kelapangan, serta bersabar saat menghadapi kekusahan dan kesempitan. Dan itu mendatangkan pahala keduanya.
Seperti disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
Artinya:“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (H.R. Muslim dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu ‘Anhu).