Olehkarenanya perlu dikembangkan upaya pengenaan hukuman atau sanksi yang mempertimbangkan akibat kerusakan sosial, ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan oleh koruptor. Penerapan Biaya Sosial Korupsi dalam penghitungan kerugian negara pada kasus korupsi diharapkan menjadi solusinya, termasuk dalam kasus korupsi di sektor kehutanan yang ditangani oleh KPK.
Biaya Sosial Korupsi menghitung biaya eksplisit yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi yang terjadi dan biaya implisit (opportunity cost) yang merupakan biaya dampak yang timbul karena korupsi yang dilakukan. Ruang lingkup biaya eksplisit meliputi biaya pencegahan korupsi, penanganan perkara korupsi, pengadilan, perampasan aset, pemasyarakatan hingga nilai uang yang dikorupsi. Sedangkan biaya implisit yang dihitung pada kasus kehutanan ini adalah biaya implisit minimal yaitu biaya kerusakan yang ditimbulkan akibat beralihnya fungsi hutan. Penghitungan dilakukan terhadap kasus penyuapan kepada angggota DPR dalam pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang dan hutan lindung Pulau Bintan pada Tahun 2006 – 2008. Hasil penghitungan biaya sosial korupsi menunjukkan nilai kerugian negara mencapai 543 kali lipat dibanding kerugian negara hasil perhitungan konvensional yang telah diputuskan oleh hakim. Jika hukuman finansial inkracht untuk 9 terpidana tercatat Rp. 1,7 miliar, maka mekanisme penghitungan biaya sosial korupsi menghasilkan kerugian sebesar Rp.923,2 miliar yang seharusnya dikembalikan oleh para koruptor kehutanan tersebut kepada negara. Model/formula ini akan diusulkan untuk dapat digunakan oleh auditor dalam menghitung kerugian keuangan negara yang akan dimasukkan dalam berkas dakwaan jaksa di persidangan. Di masa datang, implementasi untuk pembebanan Biaya Sosial Korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan ganti kerugian sebagaimana yang diisyaratkan pada pasal 98 KUHAP.
Tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Hal tersebut dikarenakan perbuatan korupsi telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Kerugian negara yang ditimbulkan dari korupsi pun jauh lebih besar dari jumlah uang yang dikorupsi (nilai eksplisit). Tindak pidana ini juga menimbulkan damage (kerusakan) yang besar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, memberantas korupsi tidak lagi dapat dilakukan ‘secara biasa’ tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa (extra-ordinary enforcement). Diperlukan langkah berbeda dari pendekatan yang sudah ada dalam rangka meningkatkan deteren effect (efek jera). Hukuman atau sanksi yang diberikan juga seharusnya mempertimbangkan akibat damage (kerusakan) sosial, ekonomi, maupun lingkungan yang ditimbulkan oleh koruptor tersebut.
Pasal 2 dan pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang terkait 'kerugian keuangan negara' merupakan pasal yang selama ini paling banyak dijadikan dasar KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Sementara itu, dengan kondisi hukum yang ada saat ini, penghitungan Jaksa Penuntut terkait kerugian negara yang ditimbulkan oleh setiap kasus korupsi hanya memperhitungkan besaran uang yang dikorupsi/disalahgunakan/dinikmati oleh terdakwa saja. Penghitungan ini belum memasukkan biaya implisit (opportunity cost) maupun multiplier ekonomi yang hilang akibat alokasi sumber daya yang tidak tepat (definisi hukuman finansial yang digunakan adalah penjumlahan dari denda, uang pengganti dan uang yang dirampas oleh pengadilan sebagai barang bukti). KPK pun memandang hukuman finansial (denda, uang pengganti, ongkos perkara) yang ada saat ini belumlah dapat memulihkan kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi yang terjadi.
Rimawan Pradiptyo (2009) menganalisis hukuman finansial (nilai eksplisit) yang dikenakan kepada terpidana korupsi. Berdasarkan data putusan MA, perbandingan biaya korupsi dan hukuman finansial kasus korupsi tahun 2001-2009 menunjukkan bahwa total hukuman finansial yang dituntutkan Jaksa hanya 40% dari biaya eksplisit korupsi. Dari jumlah tersebut, hanya 7,3% dari biaya eksplisit korupsi) yang dijatuhkan hukuman final oleh hakim.
Data berikut menjelaskan terdapat 93% biaya eksplisit korupsi yang harus ditanggung negara karena tidak dibebankan kepada koruptor. Beban negara tersebut selanjutnya ditransfer kepada masyarakat dalam bentuk meningkatnya besaran pajak. Dengan demikian beban biaya sosial (social cost of crime) pada akhirnya ditanggung oleh masyarakat sehingga masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan dalam tindak pidana korupsi yang terjadi.
Referensi : Menerapkan Biaya Sosial Korupsi Sebagai Hukuman Finansial Dalam Kasus Korupsi Kehutanan