Dalam hubungan pernikahan, pertengkaran dan masalah pasti akan ada. Pasangan suami istri pun dituntut untuk bisa saling membantu dalam menyelesaikan masalah.
Jangan sampai hubungan pernikahan justru harus berakhir di pengadilan agama, alias harus sampai pada titik perceraian. Selain kadang-kadang mengorbankan anak, kondisi ini juga tidak disukai oleh Allah SWT.
Perceraian pada dasarnya adalah lepasnya ikatan pernikahan antara suami dan istri. Ketika pasangan suami-istri sah dikatakan cerai, maka hak dan kewajiban antara keduanya sebagai pasangan pun akan gugur.
Keduanya memiliki tanggung jawab atas diri masing-masing sejak saat diputuskan cerai.Ini termasuk di mana keduanya sudah tidak boleh lagi melakukan hubungan intim atau bahkan bersentuhan seperti saat sebelum menikah dulu.
Sama seperti Alquran mengatur tentang aturan-aturan ibadah termasuk sholat, zakat dan puasa, di dalam Alquran juga diatur tentang hukum islam dalam hubungan rumah tangga.
Termasuk di antaranya hukum tentang pernikahan dan bahkan perceraian. Sebenarnya Islam tidak melarang terjadinya perceraian, Ma. Tetapi Allah SWT tidak menyukai perceraian.
Dengan demikian, Islam menganjurkan pasangan suami istri untuk mencari jalan keluar lain. Perceraian pun bisa dijadikan sebagai jalan paling terakhir untuk menyelesaikan masalah.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 227 disebutkan,“Dan jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Ayat tentang hukum perceraian ini berlanjut pada surat Al-Baqarah ayat 228 hingga ayat 232.
Selain pada surat Al-Baqarah, aturan tentang berumahtangga juga diatur Islam dalam surat Ath-Thalaq ayat 1-7. Termasuk juga dibahas tentang kewajiban suami terhadap istri, hingga aturan dalam Islam ketika seorang istri berada dalam masa iddah.
Masa iddah sendiri yakni masa menunggu, yakni di mana setelah seorang perempuan ditinggal suaminya. Dikutip dari situs Nahlatul Ulama (NU) Online, perempuan yang telah putus hubungan perkawinan karena dicerai oleh suaminya tidak serta merta bisa menikah lagi dengan laki-laki lain.
Berbeda dengan seorang laki-laki, seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya memiliki masa iddah, di mana selama waktu tersebut belum selesai ia tidak diperbolehkan menikah. Pun seorang laki-laki tidak dibenarkan mengutarakan keinginannya untuk menikah dengan perempuan yang masih berada di dalam masa iddah.
Dalam hukum perceraian, ada yang disebut sebagai talak. Talak yakni gugurnya ikatan pernikaha dengan ucapan yang jelas dari suami maupun dari istri.
Talak hukumnya bisa menjadi wajib jika ada madzarat yang menimpa salah satu dari suami atau istri, yang hal tersebut tidak bisa dihilangkan kecuali dengan talak. Namun bisa jadi talak justru diharamkan karena menimbulkan madzarat pada salah seorang dari suami atau istri dan tidak menghasilkan manfaat yang lebih baik dari madzaratnya.
Ada beberapa jenis talak yang bisa dilakukan oleh suami. Di antaranya seperti talak raj’i, talak bain, talak bid’i dan talak sunni.
Pada talak raj’i, suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada istrinya. Pada talak ini, suami masih boleh rujuk kembali dengan istrinya ketika masih dalam masa iddah. Namun, jika masa iddah telah habis, suami tidak boleh lagi rujuk kecuali dengan melakukan akad nikah baru.
Talak bain adalah perceraian di mana suami mengucapkan talak tiga kepada istrinya. Dalam kondisi ini, istri tidak boleh dirujuk kembali. Suami baru akan boleh merujuk istrinya kembali jika istrinya telah menikah dengan lelaki lain dan berhubungan suami istri dengan suami yang baru, lalu diceraikan dan habis masa iddahnya.
Sementara itu, talak bid’i berarti suami mengucapkan talak saat sang istri sedang dalam keadaan haid atau ketika istrinya sedang suci namun sudah disetubuhi.
Talak sunni merupakan talak di mana suami mengucapkan cerai talak kepada istrinya yang masih suci dan belum melakukan hubungan suami istri.
Ketika keputusan untuk bercerai sudah bulat dan tidak bisa dicegah, dalam prosesnya pun tetap tak luput dari aturan yang berlaku. Tetap ada rukun percerian yang harus dipatuhi.
Tak sekadar aturan, rukun-rukun ini juga menjadi syarat sahnya perceraian, sehingga jika tidak dipenuhi maka tidak sah pula proses perceraian tersebut.
Berikut ini adalah rukun perceraian yang harus diketahui oleh pasangan suami istri:
Rukun perceraian untuk suami
Perceraian hanya akan sah apabila perceraian dilakukan oleh seorang suami yang berakal sehat, baligh dan dilakukan dengan kemauan sendiri. Dengan begitu, apabila perceraian dilakukan karena ada paksaan dari pihak lain, misalnya ada paksaan dari orang tua ataupun keluarganya, perceraian pun menjadi tidak sah.
Rukun perceraian untuk istri
Bagi seorang istri, perceraian baru akan sah jika akad nikahnya dengan suami sudah dianggap sah dan istri belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya.
Sebenarnya, istri boleh saja menggugat cerai suami. Namun, harus ada alasan yang jelas terlebih dahulu. Jika tidak ada alasan yang jelas, maka menggugat cerai haram bagi istri.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW berikut:
“Siapa saja perempuan yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas perempuan tersebut.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud).
Gugat cerai merupakan istilah yang diberikan pada seorang istri yang ingin mengajukan cerai kepada suaminya. Permintaan cerai tersebut diajukan oleh istri kepada pihak pengadilan dan selanjutnya pengadilan yang akan memproses dan menyetujui atau menolak gugatan cerai tersebut.
Meskipun keputusan cerai ada di tangan suami, jika pengadilan atau hakim menyetujui gugatan cerai dari pihak istri, maka hakim bisa memaksa suami untuk menjatuhkan talak pada istrinya.
Referensi : Hukum Perceraian Menurut Islam dan Dalil-dalilnya