Haram secara garis besar terbagi atas dua macam:
1). Haram dari sisi dzatiyahnya. Semisal, babi, bangkai hewan ternak, dan sebagainya. Maka ini jelas haram kita terima dari siapapun dan dari manapun mendapatkannya. Apalagi misal dia memberikan kepada kita babi curian. Ini tak usah lagi ditanyakan keharamannya.
Termasuk juga jenis ini adalah suatu harta/barang yang diketahui jelas-jelas dari hasil melanggar syariat, seperti harta yang diambil tanpa ada keridhaan, semisal harta dari pencurian, perampokan, dan sebagainya. Maka jika kita mengetahuinya sendiri atas hal itu, kita haram menerima pemberian semacam itu.
Contoh kasus ayam curian yang kita tahu secara pasti dia dapatkan ayam itu dari mencuri, maka ini haram diterima atau ada seseorang yang kamu tahu secara pasti dia mencuri ayam lalu ayam itu dijual, kemudian dia mentraktir kamu makan dengan uang tersebut, maka kamu haram menerima tawarannya. Atas dasar ini maka ditetapkan:
ما كان محرم العين كالمال المسروق والمغصوب ، وهذا لا يجوز قبوله من أحد ؛ لأنه يجب رده إلى أهله
"Harta yang statusnya haram dzatiyahnya, seperti hasil mencuri, merampas, maka total tidak boleh diterima dari siapapun. Karena harta yang sedemikian ini wajib dikembalikan kepemiliknya". (Fatwa Islam no. 126486).
2). Haram dari sisi sumber penghasilannya.
Gambarannya sebagai berikut:
Misal si A orang yang hendak mentraktir kamu atau hendak memberikan kamu hadiah adalah seseorang yang bekerja di bank. Jelas pendapatannya adalah haram. Namun di samping itu bisa jadi dia misal memiliki pekerjaan sampingan lain yang halal, misal buka toko biasa, atau mungkin dia telah menerima uang warisan dan sebagainya yang halal.
Nah, boleh jadi saat dia mengajak kita mentraktir makan atau memberi hadiah, ia bisa saja memakai uang yang berasal dari gajinya sebagai pegawai bank atau bisa saja itu bersumber dari usaha tokonya yang halal, dan mungkin juga berasal dari uang warisan yang halal. Tentu kita tak bisa memastikannya. Dalam kondisi seperti ini maka boleh kita menerimanya dan syariat tidak menuntut kita menanyakan dulu kepada si A dari mana sumber duit yang akan ia berikan ke kita untuk mentraktir atau memberikan hadiah.
Dalilnya, kita tahu salah satu pekerjaan orang Yahudi adalah suka melakukan riba. Hal ini sampai disebutkan Allah pada ayat berikut:
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ ...
“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi biasa) memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya ". (QS. An Nisa: 161).
Namun bersamaan dengan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah dari seorang Yahudi tanpa bertanya dulu ke Yahudi itu misalnya dengan berkata: “Apakah hadiah yang kau berikan padaku ini berasal dari pekerjaan ribamu?”. Tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakannya. Beliau langsung menerima hadiah tersebut sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lain-lain, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang ringkasnya "Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima hadiah potongan daging kambing dari seorang wanita Yahudi". [Lihat Shahih Bukhari no. 2617 dan lain-lain].
Karena itulah Dzar bin ‘Abdillah rahimahullah mengisahkan dari Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu:
جَاءَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: إِنَّ لِي جَارًا يَأْكُلُ الرِّبَا، وَإِنَّهُ لَا يَزَالُ يَدْعُونِي، فَقَالَ: «مَهْنَؤُهُ لَكَ وَإِثْمُهُ عَلَيْهِ
"Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu lalu dia berkata: “Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering kali mengundangku untuk makan bersama (bolehkah aku memenuhi undangannya?)”. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menjawab: “Untukmu suguhannya/enaknya, sementara dosanya ditanggung dia". [Riwayat Imam ‘Abdurrazzaq, dalam Al Mushannaf no. 14675].
Juga ada atsar yang disandarkan kepada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berikut.
Rabi’ bin ‘Abdillah rahimahullah mengisahkan:
سَمِعَ رَجُلًا , سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ: إِنَّ لِي جَارًا يَأْكُلُ الرِّبَا , أَوْ قَالَ: خَبِيثُ الْكَسْبِ , وَرُبَّمَا دَعَانِي لِطَعَامِهِ أَفَأُجِيبُهُ؟ , قَالَ: ” نَعَمْ
"Rabi’ bin Abdillah rahimahullah mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma: “Saya memiliki tetangga yang biasa memakan riba atau dia berkata penghasilannya kotor, bagaimana jika dia mengundang saya untuk makan, apakah saya penuhi?”. Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma menjawab: “Ya (silakan terima undangannya)". (As Sunan Al Kubra no. 10823).
Karen itu Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah juga memfatwakan bolehnya kita menerima hadiah dari kasus semacam ini. Hanya saja tak sedikit juga Ulama yang dengan kehati-hatian memfatwakan untuk tidak menerima tawaran semacam ini.
Maka dari seluruh keterangan yang ana kaji dalam bab ini dapat disimpulkan bahwa:
- Jika diketahui dzatiyahnya benda/barangnya haram, seperti babi, anjing, dan sebagainya, maka pemberiannya adalah haram mutlak.
- Jika keharaman itu dari cara menghasilkannya yang tercampur antara halal dan haram, semisal orang yang bekerja di bank, pemusik, dan sebagainnya, dan terlebih jika diketahui dia memiliki usaha atau pendapatan yang lain yang halal, maka menerima undangan atau traktiran atau hadiahnya darinya adalah boleh, dan tidak dituntut menanyakan dulu dari mana hartanya diperoleh.
- Walau demikian sebagai ihtiyah (kehati-hatian) janganlah kita bergaul dengan mereka apalagi sering bergaul dengan menerima ajakan makan mereka dan sebagainya, kerena tak sedikit Ulama juga membenci perkara ini karena ada syubhat di dalam hartanya.