Moment -moment tertentu selalu membawa berkah bagi pelaku usaha di hampir semua sektor. Sayangnya, sering juga dimanfaatkan salah sebagian pihak. Akibatnya masyarakat umum yang jadi korban pertama.
Agama Islam memberikan perhatian besar bagi terwujudnya keadilan ekonomi sebagai salah satu penopang terciptanya kesejahteraan masyarakat. Bahkan tidak sedikit kaedah-kaedah dan landasan penetapan hukum didasarkan pada asas mengutamakan kemaslahatan umum.
Sebutlah salah satunya, kaedah “dar’u almafasid muqaddam ‘ala jalbi almashalih” yang artinya menghindari terjadinya satu kemudharatan lebih dikedepankan ketimbang berupaya mewujudkan satu kemanfaatan.
Kaedah ini berlaku umum dan di segala sendi kehidupan. Termasuk dunia ekonomi, usaha dan bisnis. Aneka cara berbisnis yang lumrah dilakukan masyarakat Jahiliyah akhirnya dilarang oleh Islam. Dasarnya karena pertimbangan kemaslahatan umum walaupun ia dapat mendatangkan keuntungan berlipat bagi pelaku usaha.
Menimbun barang yang dalam fiqih mu’amalah dikenal dengan istilah al-ihtikaar adalah salah satu praktek dagang tersebut. Pola dagang ini sangat membuka ruang keuntungan materi yang sangat besar bagi para pedagang.
Betapa tidak, mereka membeli barang dengan harga murah lalu menjualnya dengan harga tinggi. Tentu hal ini akan memberikan keuntungan besar.
Lalu bagaimana islam menyikapi praktek dagang seperti ini? dan seperti apa Islam memosisikan para pedagang yang menimbun barang?.
Al-Ihtikaar yang menurut Fiqih Islam bermakna tindakan menahan barang atau disebut juga praktek menimbun barang - utamanya barang-barang kebutuhan pokok – dengan maksud agar si pedagang dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Sepintas, cara dagang seperti itu tergolong lumrah dan wajar. Sebab setiap pedagang diberikan hak oleh islam untuk berupaya meraih keuntungan maksimal. Agama islam juga tidak memberikan batasan keuntungan maksimal yang dapat direngkuh dari sebuah aktifitas dagang.
Akan tetapi, jika ditelisik lebih dalam akan ditemukan sebuah pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat umum yang menjadi konsumen utama. Menimbun barang akan berakibat pada berkurangnya pasokan barang di pasar sedang permintaan terus melonjak tinggi. Dalam kondisi seperti ini harga barang akan terus naik dan jadi mahal.
Tingginya harga tersebut merupakan konsekuensi dari hukum pasar (hukum supply and demand) yang mengatakan jika persediaan barang tinggi sedang permintaan rendah maka harga barang menjadi murah, namun jika permintaan tinggi sedang persediaan barang kurang maka harga akan melonjak tinggi.
Dengan begitu, masyarakat umum yang menjadi korban oleh karena mereka dipaksa melalui pengondisian sebelumnya untuk membayar lebih dari yang semestinya. Mereka dipaksa menderita kerugian dan menjadi obyek tindakan zalim para pedagang.
Salah satu bukti betapa praktek menimbun barang merugikan masyarakat luas adalah kelangkaan daging yang pernah menimpa kita bangsa Indonesia. Saat itu, masyarakat umum tersusahkan karena sulitnya mereka mendapatkan daging, dan kalau pun ada, harganya sangat mahal. Kondisi tersebut sangat meresahkan, tidak hanya konsumen, pemerintah juga ikut dibuat pusing oleh ulah sebagian pedagang pemburu rupiah dengan cara amoral dan nihil etika bisnis.
Oleh karena itu, Sungguh tepat bila islam melarang para pedagang melakukan penimbunan barang dan dianggap sebagai orang-orang yang bersalah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:
لا ÙŠØتكِرُ إلَّا خاطِئٌ (رواه مسلم Ùˆ أبو داود Ùˆ Ø£Øمد)
Artinya: “tidaklah orang yang menimbun barang kecuali ia bersalah dan berdosa”. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).