Keluarga layaknya rumah yang nyaman bagi mereka yang memiliki keluarga harmonis. Tumbuh kembang anak senantiasa berasal dari keluarga. Khususnya orang tua yang memiliki peran penting untuk mengembangkan dan menjaga kestabilitasan psikologis anak mereka. Menjadi seorang figure yang baik untuk anak bukanlah perkara yang mudah. Tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh cara orang tua mendidik dan memberikan contoh. Namun, masih banyak anak yang kurang beruntung karena hubungan kedua orang tuanya yang tidak lagi harmonis. Oleh karena itu memiliki orang tua yang harmonis dan peka terhadap tumbuh kembang anak merupakan sebuah anugerah.
Secara psikologi perceraian dapat memberikan dampak yang buruk kepada anak, seperti membuat anak merasa tidak aman (insecurity), ditolak oleh keluarga, marah terhadap keadaan, sedih, kesepian, dan menyalahkan diri sendiri (Sarbini & Wulandari, 2014). Anak bisa saja menjadi trauma untuk berhubungan dengan lawan jenis. Tetapi untuk orang tua yang bercerai akan cenderung mudah berapdaptasi. Mereka sudah memiliki persiapan sebelumnya karena saat proses bercerai diperlukan pemikiran yang panjang dan juga matang.
Rasa tidak aman (insecurity) akan timbul pada anak korban perceraian karena kurangnya perhatian dari kedua orang tua. Pada aspek ini anak merasa tidak aman perihal finansial dan masa depan. Jarak yang memisahkan mereka dengan orang tua setelah bercerai akan membuat mereka seakan-akan dikhianati dan menimbulkan persepsi berbeda mengenai lingkungan. Sehingga anak-anak cenderung akan menutup diri dari lingkungan sosialnya karena mereka menganggap hal lain di luar mereka membahayakan
Orang tua yang bercerai akan menimbulkan dampak bagi hubungan suami istri, keluarga, dan juga anak. Adanya rasa penolakan dari keluarga dapat terjadi karena sikap orang tua yang berbeda. Apalagi disaat orang tua sudah mendapatkan pasangan (suami atau istri) yang baru. Pasti ada rasa yang kurang mengenakan antara anak dengan ibu atau ayah tiri mereka. Penolakan juga bisa datang dari keluarga besar ayah ataupun ibu. Anak akan merasa diasingkan atau dijauhi. Hal ini memungkinkan timbulnya ketidakstabilan cita diri (disoreder personality) pada anak (Sarbini & Wulandari, 2014).
Emosi yang tidak stabil akan membuat anak merasa marah terhadap keadaan. Anak akan cepat menilai mengenai sesuatu. Penilaian ini akan membentuk tindakan selanjutnya yang akan dilakukan oleh anak, misalnya bersikap temprament sebagai wujud dari ketidakterimaan mereka terhadap perceraian orang tuanya. Tindakan seperti ini mengarah pada aspek perasaan dari emosi yang terjadi karena sering melihat ayah dan ibunya bertengkar.
Kebiasaan orang tua yang melampiaskan amarahnya di depan anak akan membuat pikiran bawah sadar anak secara terus menerus mengingat atau merekam kejadian tersebut. Perilaku yang tidak seharusnya diperlihatkan didepan seakan mengundang anak untuk melakukan hal yang sama. Ketika anak meluapkan amarahnya kepada orang lain dengan perilaku mereka yang agresif dan juga temperament, itu merupakan contoh yang diberikan orang tua. Perubahan tingkah laku anak akan terlihat seiring dari dampak perceraian
Dilihat dari sudut pandang biopsikologi, (Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa perkembangan otak mempengaruhi aktivitas pemrosesan informasi berkaitan dengan emosi. Saat anak sudah mulai memasuki usia remaja pemrosesan informasi akan bersifat emosional, bagian amigdala memperlihatkan aktivitas otak yang lebih besar dibandingkan dengan lobus frontal. Hal ini berarti bahwa remaja cenderung merespon dengan reaksi emosi terhadap stimuli yang bersifat emosional (Santrock, 2007). Santrock (2007) juga mengungkapkan bahwa meskipun remaja memiliki emosi yang kuat, tetapi korteks prefrontal belum cukup memadai dalam mengontrol gairah. Artinya kematangan emosi yang dimiliki oleh anak remaja berada pada level sedang, tidak tinggi dan juga tidak rendah (Natalia & Lestar, 2015).
Kenyamanan yang diberikan orang tua semasa masih memiliki hubungan yang harmonis akan menimbulkan kesedihan yang mendalam pada anak saat orang tuanya sudah bercerai. Luka batin yang anak dapat karena kejadian ini akan membuat ia stres, sulit tidur atau insomnia, dan bahkan kehilangan nafsu makan. Sangat wajar anak bersedih dengan keadaan yang sudah menimpa mereka apalagi anak yang ditelantarkan orang tuanya dan berakhir tinggal bersama kakek atau nenek mereka (Sarbini & Wulandari, 2014). Di kehidupan yang akan datang, kesedihan anak akibat perceraian akan memberikan dampak bahkan bisa saja menjadi trauma. Peristiwa yang sangat traumatis seperti ini akan disimpan pada memori jangka panjang. Ingatan yang permanen nampaknya tersimpan dan diproses dalam cerebral cortex. Informasi dari mata dan telinga dilewatkan ke visual cortex dan auditory cortex, memori jangka panjang yang bertipe visual dan audiotori juga disimpan di lokasi tersebut (Bhinnety, 2008). Inilah yang menyebabkan ingatan-ingatan yang terlalu berkesan (sangat membahagiakan ataupun sangat menyedihkan) akan sulit dilupakan oleh seorang anak.
Anak membutuhkan bimbingan dari orang tua untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Ketidakharmonisan di keluarga akan membuat rasa kesepian (loneliness) muncul karena kasih sayang dan perhatian orang tua yang sudah tidak sama seperti dulu. Percerian yang menimbulkan berubahnya perilaku orang tua terhadap anak biasanya saja terjadi akibat ego orang tua yang terlalu tinggi, orang tua yang sudah mendapatkan pasangan baru, dan perasaan tidak mau menerima anak karena buah hasil dengan mantan suami atau istrinya (Sarbini & Wulandari, 2014).
Rasa tidak aman (insecure), merasa ditolak oleh keluarga, perasaan marah, sedih, dan kesepian merupakan faktor-faktor yang menyebabkan disorder personality yang gejalanya adalah pada saat anak mualai menyalahkan diri sendiri. Sebab terjadinya hal tersebut karena salahnya pola pengasuhan. Faktor utama dalam pola pengasuhan anak yaitu orang tua dan saudara, dalam pola asuh biasa disebut dengan significant others. Orang tua yang bercerai menyebabkan terjadinya pola asuh salah oleh golongan significant others yang berdampak pada terganggunya psikologis anak. Sering menyalahkan diri sendiri akan memberikan dampak buruk terhadap psikologis anak, sehingga timbul schizophrenisa, fobia, bipolar, dan lain sebagainya. Gangguan psikologis yang berbahaya berawal dari perasaan menyalahkan diri sendiri.
Referensi : Dampak Perceraian terhadap Psikologis Anak