Kesejahteraan psikologis anak salah satunya ditentukan oleh tingkat keharmonisan keluarga. Keluarga yang harmonis akan dapat menjalankan fungsi dan perannya dalam membangun karakter anak secara optimal. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa tidak semua keluarga mampu mengondisikan dan mempertahankan rumah tangga yang harmonis dan nyaman bagi anak. Tak jarang, perceraian menjadi jalan yang dipilih suami istri untuk mengakhiri konflik atau permasalahan.
Data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Tempo Interaktif (2018) menunjukkan bahwa tingkat perceraian di Indonesia tergolong sangat tinggi. Diperkirakan bahwa setiap seratus orang menikah, sepuluh pasangan di antaranya bercerai.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Dr. Nurul Hartini, S. Psi., M.Kes, melakukan penelitian tentang pengaruh perceraian bagi kesejahteraan psikologis anak usia remaja. Dalam penelitian tersebut, Nurul memaparkan perceraian orangtua menyebabkan perubahan dalam kehidupan keluarga. Di antaranya, terjadi perpisahan emosional, perpisahan ikatan pernikahan secara hukum, perpisahan secara ekonomi atau finansial, perpisahan sebagai orang tua utuh, perpisahan keluarga sebagai bagian dari komunitas, dan perpisahan secara fisik dengan menghindari pertemuan dengan pihak yang berkonflik.
Oleh sebab itu, perubahan yang terjadi pasca perceraian kerap kali menjadi sumber stress bagi pihak-pihak yang terlibat. Secara psikologis, perceraian orang tua akan menyebabkan anak yang telah berusia remaja kehilangan fungsi dan peran orang tua sebagai manajer dalam keluarga, teman yang membantu mereka dalam mengambil keputusan, serta kehilangan faktor penentu dalam proses pembangunan identitas diri.
“Anak yang berada pada usia remaja dan harus menghadapi kenyataan bahwa orangtuanya bercerai lebih berisiko mengalami gangguan psikologis dan penyimpangan perilaku,” terang Nurul.
Remaja, lanjutnya, merupakan tahap di mana terjadi perubahan besar dalam tumbuh kembang secara fisik kognitif, emosi, sosial, dan kepribadian. Perubahan internal dalam diri remaja pada dasarnya dapat menyebabkan remaja mengalami gangguan psikologis dan penyimpangan perilaku, misalnya penurunan prestasi akademik, sikap menentang, merokok, dan sebagainya.
Meski demikian, dalam paradigma psikologi positif, perceraian orang tua tidak selamanya berdampak negatif bagi anak. Perceraian orang tua rupanya dapat berpengaruh positif terhadap peningkatan psychological well being atau kesejahteraan psikologis anak dan remaja.
Beberapa penelitian psikologi menjelaskan tentang data peningkatan kesejahteraan psikologis pada anak dalam tiga kasus berbeda. Peningkatan kesejahteraan psikologis anak terjadi ketika, pertama, konflik atau ketidakharmonisan hubungan orang tua sudah berlangsung lama dan anak sering menyaksikan pertengkaran orantuanya. Maka perceraian dapat mengurangi risiko anak menyaksikan langsung pertengkaran orang tua sebagai figur idolanya. Kedua, orang tua yang bercerai kemudian menikah dan membangun keluarga yang harmonis bersama pasangan baru, serta dapat berperan sebagai figur orang tua yang bijak bagi anak. Ketiga, orang tua yang tidak menikah lagi setelah bercerai dan memfokuskan diri untuk merawat dan mengasuh anak-anaknya dengan baik.
“Paradigma psikologis sejauh ini selalu menyatakan bahwa perceraian orang tua tetap akan menjadi sumber stress pada anak dan tidak semua anak dapat memberikan respon stress yang positif. Respon stress yang negatif biasanya akan memunculkan perubahan perilaku yang negatif pula,” ujar Nurul.
Meski di beberapa kasus perceraian dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis anak, perceraian tak lantas menjadi satu-satunya jalan utama yang harus ditempuh orangtua saat terjadi konflik dengan pasangan. Keputusan untuk bercerai perlu dipertimbangkan secara matang dengan memperhatikan dampak perceraian terhadap kondisi kesejahteraan psikologis anak.
Referensi : Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Kondisi Psikologis Anak