Dalam kehidupan berkeluarga ada dua pengalaman yang amat menyedihkan dan menekan perasaan (stressfull), yaitu kematian dan perceraian orang tua. Pada artikel ini, saya akan sedikit berbagi pengalaman perilaku abnormalitas yang pernah saya alami di masa perkembangan remaja, yaitu pada usia 13 tahun. Perilaku abnormalitas yang saya alami adalah stress dan depresi yang disebabkan oleh perceraian orang tua, terlebih hal itu terjadi pada tahap remaja yang merupakan tahapan menuju kematangan fisik maupun psikis.
Pada umumnya, para orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Perceraian mungkin adalah salah satu keputusan yang sangat berat dan menyakitkan bagi kedua belah pihak, seperti orang tua yang mengalami kesedihan yang dalam karena perceraian, saya sebagai anak juga memiliki perasaan sedih, marah, penyangkalan, takut, bersalah yang sama dan mungkin reaksi lain yang akan timbul akibat perceraian tersebut seperti adanya rasa luka, rasa kehilangan, dan terlebih lagi perceraian orang tua akan berdampak pada kesulitan penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial. Dan perasaan-perasaan tersebut saya manifestasikan dalam bentuk perilaku seperti menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtua akan bersatu kembali.
Tidak banyak anak yang berhasil dalam proses adaptasi untuk menerima kenyataan yang ada, mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis. Menurut saya, saya termasuk kedalam kategori anak yang mampu beradaptasi menerima kenyataan perceraian orang tua. Selama lima tahun setelah perceraian proses adapatasi tetap saya lakukan, beradaptasi dan berusaha menerima kenyataan bahwa orang tua tidak lagi hidup bersama. Mengingat kenangan-kenangan dan moment-moment penting kebersamaan keluarga adalah hal yang membuat saya sedih karena hal tersebut sudah tak mungkin teerulang lagi.
Kenangan yang paling membuat saya sedih dan sulit dilupakan adalah ketika kami sekeluarga (ayah, ibu, dua kakak saya, dan saya sebagai anak terakhir) melakukan solat maghrib berjamaah di mushola rumah, kemudian hingga malam menjelang kami membaca Al Quran bersama dan kemudian saling berbagi cerita. Itu adalah moment kelurga yang ingin saya ulangi. Saya tidak tahu pasti hal apa yang menyebabkan perceraian orang tua saya bisa terjadi. Ketika saya berusia 13 tahun, kedua orang tua saya sering bertengkar, walaupun saya adalah anak laki-laki tapi kala itu saya menangis dan menyendiri di kamar. Stres yang saya alami juga menimbulkan kecemasan pada diri saya, seperti kecemasan terhadap perubahan sikap teman-teman saya apabila mereka mengetahui permasalahan dalam keluarga saya. Kecemasan lain seperti kecemasan tidak dapat bertemu dengan ayah lagi, sehingga membuat kesedihan yang mendalam.
Saat saya menempuh perguruan tinggi di STKS Bandung saya mempelajari psikologi perkembangan dan abnormalitas, saya menyadari perceraian orang tua yang terjadi pada tahap remaja awal, yang mana pada tahap perkembangan ini bukan hanya membentuk kematangan fisik saja (pubertas) akan tetapi juga mengarah ke arah kematangan social-psikologis, antara lain menuju kedewasaan dan kemandirian, sehingga pada tahap ini diperlukan atau dibutuhkannya sosok figure orang tua yang mungkin akan selalu siap dalam memberikan arahan atau bimbingan. Pertengkaran orangtua, apapun alasan dan bentuknya, membuat saya merasa takut. Saya tidak pernah suka melihat orang tua bertengkar, karena hal tersebut hanya membuat saya merasa takut, sedih dan bingung. Kalau sudah terlalu sering melihat dan mendengar pertengkaran orangtua, saya merasa kehidupan di keluarga menjadi hancur dan penuh masalah serta menimbulakan rasa ketidakamanan dan ketidaknyamanan dalam diri saya. Rasanya separuh “diri” saya telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua bercerai dan harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Saya harus memendam rasa rindu yang mendalam trhadap ayah yang tiba-tiba tidak tinggal satu rumah bersama saya. Hal tersebut tentu menjadi beban dan mempengaruhi kondisi psikis saya.
Perceraian juga menyebabkan anak yang beranjak remaja mudah terpengaruh oleh hal-hal buruk yang ditemuinya dalam pergaulan. Seperti merokok, minum alkohol, dan narkoba. Hal ini disebabkan anak merasa tidak lagi diperhatikan oleh orangtuanya yang sibuk dengan masalah rumah tangga mereka. Apalagi, jika perceraian melalui proses yang tidak mudah sehingga masing-masing orangtua membutuhkan waktu untuk memulihkan dirinya sendiri sehingga mereka mengabaikan anak-anaknya. Selain itu, efek perceraian membuat anak sulit bersosialisasi. Anak akan merasa malu, rendah diri dan iri pada teman-temannya yang masih memiliki keluarga yang utuh. Dalam jangka panjang, perceraian dapat menyebabkan anak menjadi apatis saat memulai hubungan dengan lawan jenisnya. Anak cenderung merasa takut untuk berkomitmen dan menganggap bahwa hubungan dengan lawan jenis itu tidak penting dan hanya berujung pada perpisahan
Strategi Coping Remaja menghadapi stres perceraian orang tua
Coping stres dapat diartikan sebagai penyesuaian secara kognitif dan perilaku menuju keadaan yang lebih baik, mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutan-tuntutan yang ada yang mengakibatkan stres. Lazarus (dalam Radley, 1994) mengungkapkan bahwa setiap individu melakukan cara coping yang berbeda-beda dalam menghadapi situasi yang menekan dari lingkungan, mekanisme atau cara coping ini bisa meliputi kognitif (pola pikir) dan perilaku (tindakan).
1. Coping stress pada pola pikir
Saya menggunakan cara menyangkal atau bertingkah seakan-akan tidak adanya permasalahan dalam diri seperti tidak adanya keinginan untuk mencampuri urusan perceraian orangtua dan mencoba lebih banyak tidak terlalu memikirkan permasalahan orangtua. Pada waktu itu saya merasa bentuk pengalihan perhatian yang negatif seperti menghindar adalah cara terbaik, dan bentuk pengalihan perhatian seperti main bareng temen adalah cara yang paling baik. Walau pada dasarnya juga merasakan kesedihan pasca perceraian orangtua, dan perlunya mengontrol perasaann dengan menentramkan hati juga mengatur perasaan agar tidak terlalu dalam kesedihan dan dari diri sendiri berusaha untuk memiliki pengaturan suasana bathin yang baik. Saya merasa ada sisi positif dari perceraian orangtua yaitu adanya kepasrahan dan keyakinan akan nasib yang diberikan Tuhan YME kepada saya. Bentuk dukungan moril atau simpati dari orang lain adalah hal yang saya sangat butuhkan pada waktu itu. Lebih banyak mengkonsumsi buah-buahan, karena saya meyakini buah-buahan yang segar dapat memberikan energi positif
2. Coping stress pada perilaku (tindakan)
Yaitu dengan cara mengisi waktu luang dengan hobby yang diminati, seperti bersepeda di sore hari dan berolahraga. Banyak menambah teman, dengan menghabiskan waktu untuk bermain bersama teman, saya rasa dapat mengurangi tekanan pada stres, sehingga membantu dalam proses beradaptasi dengan lingkungan keluarga yang baru. Namun beberapa remaja melakukan coping stress yang bersifat destruktif/ merugikan seperti merokok, minum alkohol, narkoba, clubing, dll. Hal tersebut harus dihindari dengan melakukan coping stress yang bersifat positif.
REFERENSI : DAMPAK PERCERAIAN ORANG TUA PADA REMAJA DAN COPING STRES SEBAGAI UPAYA PENGURANGAN DAMPAK