Pertanyaan : Saya ingin menanyakan beberapa hal berkaitan dengan gugatan perceraian (khuluk) yang dilakukan pihak istri. 1. Bagaimana cara (istri) menggugat cerai, apa harus ada kondisi khusus/bukti yang dilampirkan bersama laporan? 2. Sepemahaman saya jika istri menggugat maka mahar wajib dikembalikan, tapi bagaimana jika mahar tersebut sudah diambil kembali oleh pihak suami? Istri mau tidak mau (terpaksa) menyetujui karena suami dikejar utang yang dipergunakan bukan untuk istri, bahkan istri tidak pernah menyetujui utang tersebut (tidak diberitahu). Apakah istri tetap mengembalikan mahar meski dalam pernikahan mahar tersebut diambil kembali oleh suami untuk kepentingannya sendiri?
Jawaban : Ulasan Lengkap. Sebelumnya, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan khuluk.
Khuluk
Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal.115) mendefinisikan khuluk sebagai perceraian berdasarkan persetujuan suami istri yang berbentuk jatuhnya 1 kali talak dari si suami kepada istri dengan adanya penebusan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu. Syarat yang menjadi illat (sebab) dibolehkannya khuluk adalah suami istri itu tidak bisa lagi menjalankan peraturan-peraturan Tuhan, kalau mereka teruskan hubungan perkawinannya.
Dalam khuluk, terdapat ketentuan yang hendaknya diperhatikan, yaitu (hal.116):
Perceraian berdasarkan khuluk hendaknya dilakukan dengan bebas oleh suami-istri.
Hendaknya terdapat persetujuan bersama antara suami istri mengenai jumlah uang atau harta tebusan perceraian.
Jika tidak terdapat persetujuan bersama mengenai jumlah uang penebus, hakim pengadilan agama menentukan jumlah uang penebus itu.
Prosedur Cerai dengan Jalan Khuluk di Pengadilan Agama
Berikut prosedur mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk:[1]
Istri menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya. Patut diperhatikan, alasan terjadinya perceraian terbatas hanya pada alasan-alasan yang diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)jo.Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“PP 9/1975”)jo. Pasal 116 KHI.
Pengadilan Agama selambat-lambatnya 1 bulan memanggil istri dan suami untuk didengar keterangannya masing-masing.
Dalam persidangan tersebut, Pengadilan Agama menjelaskan tentang akibat khuluk dan memberikan nasihatnya.
Setelah kedua belah pihak sepakat dengan besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi mantan suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.
Adapun jika tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan, Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa, yang mana prosedurnya pernah kami ulas dalam Cara Mengurus Perceraian Tanpa Advokat.
Selain itu, alasan perceraian tersebut juga harus dibuktikan, contohnya sebagai berikut:
Jika gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat hukuman pidana penjara, penggugat menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[2]
Jika gugatan perceraian didasarkan atas alasan tergugat mendapat cacat badan/penyakit yang mengakibatkan ia tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai suami, hakim dapat memerintahkan tergugat memeriksakan diri ke dokter.[3]
Jika alasan perceraian akibat syiqaq atau perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami dan istri, harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.[4]
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, majelis hakim akan memutuskan apakah akan mengabulkan permohonan gugatan perceraian Anda atau tidak.
Wajibkah Istri Mengembalikan Mahar?
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[5] Dalam hal ini, calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.[6]
Dikutip dari Ketika Mahar Harus Bermanfaat bagi Calon Istri, Dosen Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mesrani menegaskan prinsipnya mahar harus memiliki nilai ekonomi, biasanya berupa barang atau uang. Namun, ketika calon mempelai laki-laki tidak memiliki kesanggupan secara ekonomi, mahar dapat berupa jasa sesuai kesanggupannya (hal. 1). Lebih lanjut, dalam artikel Apakah Mahar Merupakan Harta Bersama? ditegaskan bahwa mahar bukanlah harta bersama, tetapi harta bawaan milik istri.
Hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 32 KHI, bahwa mahar menjadi hak pribadicalon mempelai wanita sejak mahar tersebut diberikan langsung kepadanya.
Senada dengan hal tersebut, Sayuti Thalib menegaskan bahwa mahar yang telah diserahkan tersebut sepenuhnya menjadi milik istri. Tapi, jika dikehendaki oleh istri dan timbulnya kehendak itu timbul dari pihak istri, maka suami boleh sekadar ikut memakan atau ikut hidup dari mahar yang diberikannya yang telah menjadi milik si istri tersebut (hal. 68). Hal ini sebagaimana diatur dalam QS. An Nisa ayat 4 yang artinya berbunyi:
Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu, maka terimalah pemberian itu dengan senang hati.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an menegaskan bahwa kerelaan istri menyerahkan kembali mas kawinituharus benar-benar muncul dari lubuk hatinya, karena ayat di atas menyatakan tibna yang maknanya “mereka senang hati” ditambah lagi dengan kata nafsan atau “jiwa” untuk menunjukkan betapa kerelaan itu muncul dari lubuk jiwanya yang dalam tanpa tekanan, penipuan dan paksaan dari siapa pun (hal. 346).
Atas hal tersebut, Halimah B. dalam Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir Kontemporer yang diterbitkan Jurnal Al-Risalah menerangkan, jika suami minta sebagian mahar tetapi istri diliputi rasa ragu atau khawatir, maka suami tidak halal mengambil mahar tersebut (hal.178).
Lantas, bagaimana jika suami meminta kembali mahar yang sudah ia berikan?
Abdul Karim Munthe, S.H., S.H.I., M.H., dosen Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) sekaligus peneliti di Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FH UI menjelaskan bahwa pada dasarnya mahar merupakan hak istri, sehingga istri tidak wajib mengembalikan mahar. Dalam hal terjadi gugat cerai dengan jalan khuluk, istri hanya berkewajiban membayar uang tebusan (iwadl) yang telah disepakati, sebagaimana telah diterangkan di atas.
Di sisi lain, si suami berkewajiban mengembalikan mahar yang ia pergunakan tersebut jika istri tidak rela mahar tersebut dipergunakan oleh si suami.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Referensi : Wajibkah Istri Mengembalikan Mahar dalam Cerai Khuluk?