Orang beriman tak akan melakukan kesalahan yang sama seperti sebelumnya. Ia justru akan belajar darinya, menyesalinya, lalu memperbaiki diri dengan sungguhsungguh, berubah menjadi baik. Bila kesalahan itu berkaitan dengan Allah, ia akan segera bertobat.
Tobat artinya kembali, yakni kembali kepada Allah setelah berbuat salah, dosa, atau maksiat, lalu bertekad tidak mengulanginya lagi. Ibnu Athaillah as- Sakandari dalam kitabnya, al-Hikam, mengatakan, "Jika engkau merasa berat untuk taat dan beribadah serta tak menemukan kenikmatan dalam hati, sementara engkau merasa ringan bermaksiat dan menemukan kenikmatan di dalamnya, ketahuilah bahwa engkau belum jujur dalam tobatmu."
Bila kesalahan itu berkaitan dengan sesama manusia, misalnya berbuat jahat, menyakiti, atau mengambil hak-haknya secara tidak sah, ia segera menyesali perbuatannya, lalu meminta maaf dan mengembalikan apa yang dia ambil itu kepada yang berhak.
Dalam hadis dikatakan, di akhirat kelak ada orang yang tertahan masuk surga karena pernah mengambil hak sesamanya secara zalim atau semena-mena ketika di dunia. Ia baru diperkenankan masuk surga setelah semua urusannya dengan orang yang ia zalimi, jahati, atau ambil haknya tersebut selesai (HR al-Bukhari).
Allah mengaruniakan akal, pikiran, dan hati nurani kepada manusia di samping kemampuan dan kekuatan fisik. Semua ini dimaksudkan agar ia bisa belajar dari banyak hal di sekitarnya, termasuk dari kesalahannya, kemudian meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya agar menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Manusia jangan menyerah atau putus asa dengan keadaan yang ia anggap sulit dan berat.
Dalam Alquran disebutkan, di akhirat nanti malaikat bertanya kepada orang-orang yang tak mau mengubah kondisinya di dunia dengan berbagai alasan, padahal ada banyak kesempatan dan kemampuan untuk berubah.
Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, kepada mereka malaikat bertanya, 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab, 'Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri kami.' Para malaikat berkata, 'Bukankah bumi Allah itu luas, mengapa kamu tidak berhijrah di situ?'" (QS an-Nisa' [4]: 97)
Orang yang berhijrah, kata Nabi, adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah (HR al- Bukhari dan Muslim). Allah melarang kita untuk berbuat maksiat kepada- Nya serta berbuat jahat atau buruk terhadap sesama kita, apa pun bentuknya. Ketika kita meninggalkan itu semua, berarti kita sejatinya tengah berhijrah, sedang berubah dari hal buruk kepada hal baik, atau dari hal baik kepada hal yang lebih baik lagi. Kehidupan di dunia adalah kesempatan yang perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk berubah.
Seiring bergulirnya waktu, kita juga seyogianya terus berubah menuju hal-hal yang baik, positif, dan bermanfaat, baik bagi diri kita maupun orang lain. Nabi mengatakan, "Sebagian tanda keislaman seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tak bermanfaat baginya." (HR at-Tirmidzi)
Allah sangat mencintai orang beriman yang selalu berusaha untuk berubah menjadi lebih baik sematamata karena memang ia menyukai kebaikan itu sehingga terus-menerus meningkatkannya tanpa pernah merasa lemah. Nabi menegaskan, "Seorang mukmin yang kuat dalam segala kebaikan lebih utama dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah dalam segala kebaikan." (HR Muslim).