Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa hukum menikahi istri yang sudah ditalak tiga kali adalah haram dan dilarang dalam Islam. Untuk menikahinya kembali, harus terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya.
Bagaimana kedudukan talak bain kubra dalam kompilasi hukum Islam? Simak artikel berikut untuk mengetahui jawabannya.
Talak Bain Kubra: Pengertian dan Ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam surah al-Baqarah ayat 230, Allah Swt berfirman: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa hukum menikahi istri yang sudah ditalak tiga kali adalah haram dan dilarang dalam Islam. Untuk menikahinya kembali, harus terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya.
Bagaimana kedudukan talak bain kubra dalam kompilasi hukum Islam? Simak artikel berikut untuk mengetahui jawabannya.
Talak Bain Sugra dalam Kompilasi Hukum Islam
Perkara talak bain kubra terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu pada pasal 120. Pada talak ini, suami tidak bisa merujuk istrinya kecuali sang istri sudah menikah dengan laki-laki lain.
Tentunya, pernikahan harus terjadi tanpa ada unsur kesengajaan. Mengutip jurnal berjudul Hukum Rujuk Pada Talak Bain Kubra yang Diucapkan di Luar Pengadilan oleh Muhaiminuddin, seorang suami atau istri tidak boleh melakukan hal ini hanya karena ingin memperoleh syarat rujuk dari pasangan terdahulunya.
Hendaknya, pernikahan tersebut adalah pernikahan yang sah secara lahir dan batin. Artinya, syarat-syarat sah penyelenggaraan akad nikah harus terpenuhi. Menurut jumhur ulama, jika akadnya fasid, maka penghalalan untuk suami pertama tidak akan tercapai.
Sah secara batin maksudnya, menjadikan pernikahan tersebut sebagai media untuk mewujudkan tujuan suami-istri seperti terbentuknya suatu keluarga, terjaganya kehormatan pasangan, dan lahirnya keturunan.
Jika pernikahan hanya dilakukan sebagai syarat, maka penghalalan yang dimaksud tidak bisa tercapai. Jadi, tidak cukup hanya sekadar akad yang sah tanpa terjadinya hubungan badan suami istri.
Ini yang menjadi kesepakatan jumhur ulama salaf dan khalaf, kecuali Ibnu al-Musayyab. Dari Aisyah ra bahwa Rifa'ah al-Qurazhi menikahi seorang perempuan lalu mentalaknya.
Kemudian, perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki lain dan menghadap kepada Nabi SAW. Ia menyampaikan bahwa suami keduanya itu tidak pernah menggaulinya dan bahwa alat vitalnya lemas seperti ujung kain (impoten). Maka Rasulullah SAW bersabda:
"Sepertinya kamu ingin kembali rujuk dengan Rifa'ah. Tidak boleh hingga kamu merasakan 'madu'-nya dan suami keduamu itu merasakan 'madu'-mu." (HR. Bukhari Muslim)
Menurut jumhur ulama, yang dimaksud madu dalam hadits ini adalah kenikmatan persetubuhan yang dirasakan suami istri. Kalangan Hanabilah mensyaratkan agar persetubuhan tersebut adalah persetubuhan yang halal.
Jika suami menyetubuhinya saat mengalami haid, nifas, atau saat berihram, maka belum cukup untuk halalnya perempuan tersebut bagi suami pertamanya.