Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, tren angka perceraian setiap tahunnya mengalami peningkatan terutama sejak masa krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Pada saat itu, angka putusan cerai gugat lebih tinggi dibanding cerai talak. Kebanyakan alasan pihak istri mengajukan gugatan cerai lantaran banyak mengalami ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Venny Octarini Siregar mengakui pengajuan gugatan cerai seringkali dilakukan oleh pihak istri. Salah satu sebabnya, perempuan dan anak kerapkali menjadi korban dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). (Melihat Tren Perceraian............, 18 Juni 2018)
Fenomena yang pernah terjadi pada tahun 1997-1998 kembali terjadi pada masa pandemi COVID-19. Hal tersebut dapat dilihat dari data yang dilansir oleh suara.com, pada bulan Juni hingga Juli 2020, diketahui bahwa jumlah perceraian meningkat dengan 80% kasus gugatan cerai yang masuk ke pengadilan agama di ajukan oleh pihak istri. Data tersebut tidak jauh berbeda dari data yang diliris oleh Direktur Jenderal Badan Pengadilan Mahkamah Agung, Aco Nur, yang meyampaikan bahwa saat awal penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di bulan April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia di bawah 20.000 kasus. Namun, pada bulan Juni dan Juli 2020, jumlah perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus. (Pandemi Korona Dongkrak Angka......., 30 Agustus 2020)
Dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, tiga provinsi dengan peningkatan kasus perceraian yang signifikan berada di pulau jawa. Tiga provisni tersebut yaitu Jawa barat, Jawa tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan untuk provinsi yang berada di luar pulau jawa, peningkatan kasus perceraian belum terlihat secara signifikan. (Perceraian Menumpuk Selama, 28 Agustus 2020)
Meningkatnya perceraian di provinsi Jawa barat dapat dilihat dari laman layanan Si Kabayan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jawa barat. Hingga Senin, 7 September 2020 terdapat 51.646 kasus cerai gugat dan 17.397 cerai talak yang telah diajukan dan diproses sejak Januari 2020 di PTA Jawa barat. Adapun cerai gugat adalah kasus perceraian yang diajukan oleh istri, dan cerai talak adalah perceraian yang diajukan oleh suami. Dari angka tersebut, kasus ajuan perceraian paling banyak diajukan pada Juni dan Juli dengan masing-masing angka 12.603 kasus dan 11.778 kasus. Di bulan-bulan sebelumnya, kasus ajuan cerai ada di kisaran angka 2.000-8.000 kasus meskipun sempat berada di angka 11.249 kasus pada Januari 2020. (Pemprov Jabar Menilai Angka, ......... 16 September 2020)
Dilansir dari AyoBandung.com diketahui bahwa meningkatanya kasus perceraian di Jawa barat disebabkan oleh dua faktor yaitu perselisihan atau pertengkaran, dan ekonomi. Hingga minggu pertama September 2020, perceraian akibat perselisihan atau pertengkaran mencapai 30.206 kasus. Sedangkan masalah ekonomi yang mencapai 24.392 kasus. Kedua hal tersebut saling memiliki keterkaiatan karena pada saat pandemi COVID-19 banyak suami yang kehilangan pekerjaan sehingga masalah perekonomian menjadi gangguan yang serius dalam kehidupan rumah karena tanggung jawab istri bertambah besar untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang melebihi batas kesanggupan seorang istri. Pada akhirnya, hal tersebut berdampak pada konflik rumah tangga yang tak terselesaikan dan berlarut-larut, sehingga perceraian menjadi sebuah solusi penyelesaian.
Menurut Sakroni dalam Webinar 7 th Internasioanal Academia Rountable Forum, secara umum penyebab perceraian di Jawa Barat pada masa pandemi COVID-19 dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Permasalah ekonomi
Dalam masyarakat banyak sekali masalah perceraian disebabkan oleh masalah ekonomi tetutama pada saat pandemi COVID-19 seperti banyak suami yang kehilangan pekerjaan sehingga masalah perekonomian menjadi gangguan yang serius dalam kehidupan rumah tangga. Hal tersebut berakibat terjadinya perselisihan yang terus-menerus yang akhirnya mengakibatkan terjadinya perceraian.
b.Ketidak seimbangan aktivitas dan waktu Bersama
Di hari-hari normal, salah satu atau kedua pasangan bekerja sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk dihabiskan bersama. Sekembalinya ke rumah selepas kerja, keduanya sudah lelah dengan beban masing-masing sehingga belum cukup mengenal satu sama lain. Waktu karantina di rumah inilah kesempatan untuk kembali mengenal pasangan. Bagi yang tidak menemukan kecocokan lagi, seringkali berujung perselisihan, dan tidak mustahil berakibat perceraian.
c. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Pandemi COVID-19 memberi dampak luar biasa di segala lini kehidupan. Dari semua itu, perempuan menjadi salah satu kelompok rentan yang terdampak, karena memiliki kebutuhan spesifik yang harus mereka penuhi. Kebutuhan spesifik ini menyangkut ketiga kodrat yang dimiliki kaum perempuan, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui. Selain itu, risiko kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan di Indonesia juga mengancam saat ini. Pandemi menyebabkan kasus KBG meningkat, salah satunya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal tersebut disebabkan oleh memburuknya perekonomian keluarga di tengah pandemi akan memicu stress dan emosi karena memikirkan biaya hidup sehari-hari. Pria pencari nafkah dapat melampiaskan rasa stress dan emosi serta frustasi mereka pada wanita dan anaknya dalam bentuk kekerasan.
d.Berubah Pola Komunikasi
Sama-sama di rumah juga mengubah pola komunikasi. Seringkali, stres yang dialami karena situasi yang tidak kondusif ini membuat hubungan merenggang, atau terkadang jadi sering emosional. Peningkatan stress yang terjadi di kalangan orangtua berujung pada pelecehan fisik dan menelantarakan anaknya. Dengan keadaan seperti ini juga orangtua merasa tertekan saat menghadapi perilaku anak di rumah dan menuntut mereka mengerjakan tugas dengan kasar atau agresif. Perubahan pola komunikasi yang memburuk ini juga turut menjadi andil tingginya angka perceraian.
e. Faktor usia dalam membina rumah tangga
Pernikahan di bawah umur membuat pasangan belum siap mengatasi pernik-pernik pertikaian yang mereka jumpai seperti pada saat pandemi ini. Pernikahan memerlukan kesatuan tekad, kepercayaan dan penerimaan dari setiap pasangan menjalani mahligai perkawinan. Ketidaksiapan pasangan tentu berhubungan dengan tingkat kedewasaan, mengatasi persoalan yang terkait dengan kehidupan, seperti keuangan, hubungan kekeluargaan, pekerjaan setiap pasangan. Cara mereka berpikir, bertindak menentukan cara mereka mengambil keputusan dalam hidup. Menikah di bawah umur yang disertai pendidikan rendah menyebabkan tidak dewasa dalam mencari jalan keluar dari suatu masalah.
Bedasarkan pendapat Sakroni terkait perceraian pada masa pandemi COVID-19 di Jawa Barat, dapat diketahui bahwa secara umum penyebab percerai karena adanya konflik dalam rumah tangga yang disebabkan oleh permasalah ekonomi, ketidakseimbangan aktivitas dan waktu bersama, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), berubah pola komunikasi, faktor usia dalam membina rumah tangga.
Meningkatnya angka perceraian akan berdampak pada meningkatkanya masalah sosial karena banyak orang menjadi miskin karena perceraian. Selain itu, perceraian pasangan suami istri berpotensi besar menimbulkan masalah besar sebab akan banyak keluarga yang dirundung konflik akibat perceraian. Perceraian tidak hanya berdampak pada pelaku percerai tetapi juga berdampak pada anak yang menjadi korban perceraian. Pasca perceraian anak-anak akan merasa terluka karena kehilangan kasih sayang dari salah satu orang tuanya, atau kalaupun mendapatkan kasih sayang tidak sepenuhnya, karena orang tuanya sudah tidak mempunyai fokus terhadap mereka. Anak-anak juga merasa bersalah dan menganggap diri mereka sebagai penyebab perceraian. Selain itu, prestasi anak terganggu dan mereka seringkali mengalami kesedihan dan juga kemarahan yang terkadang sulit diungkapkan sehingga menimbulkan permasalahan perilaku baik di sekolah maupun di rumah.
Perceraian pada masa pandemi COVI9-19, sebenarya dapat dicengah dengan cara menjaga keutuhan rumah tangga. Agus Syafii memberikan cara agar terhindar dari keretakan dalam rumah tangga atau menghindari perceraian di tengah pandemi, yaitu:
a.Memberi
Konflik rumah tangga kerap terjadi ketika salah satu pasangan menuntut, tidak ada keinginan untuk saling memberi sehingga harus ditanamkan kepada masing-masing suami istri untuk mempunyai keinginan saling memberi.
b.Memaklumi
Ketika pasangan hidup kita bermasalah, melakukan kesalahan sengaja atau tidak maka tugas yang lain adalah memaklumi. Kemudian memaafkan.
c.Memaafka
Apabila kesalahan seperti berbohong mengkhianati selingkuh yang dirasakan menyakitkan maka maafkanlah pasangan.
d.Produkti
Ketika suami terkena PHK, mencari alternatif bersama suami, untuk bisa mandiri dan menemukan solusi produktif agar istri dan suami sama sama bekerja bersama dalam mengelola perekonomian keluarga. Bantuan pemerintah dapat diberikan kepada istri untuk dapat mengelola uang tersebut lebih bermanfaat untuk kebutuhan rumah tangga.
e.Konsultasi
Perceraian bukan solusi terbaik dalam menghadapi masalah rumah tangga. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut yaitu Konsultasi keluarga. (Kiat Menghindari Perceraian..... 03 September 2020)
Selain lima cara diatas agar terhindar dari keretakan dalam rumah tangga dapat dilakukan dengan cara sebisa mungkin untuk memberi ruang ke dalam hubungan sebaik yang dapat dilakukan. Selain itu, untuk menjaga kesehatan mental pasangan, atur rutinitas sehari-hari dengan memasukkan waktu yang berisi hal-hal yang biasanya dilakukan, seperti mengatur waktu makan, olahraga harian, waktu sendiri, dan waktu bersama. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menjaga hubungan ditengah pandemi ini adalah dengan cara diskusi bersama-sama secara teratur tentang cara untuk tetap berada di jalur yang direncanakan. Komunikasi dua arah yang terbuka, jujur, dan pengambilan keputusan adalah kuncinya. Selain itu kompromi merupakan hal yang sangat penting bagi pasangan untuk membuat keputusan besar sebagai sebuah tim.