Bagaimana menyikapi hal semacam ini? Ada sebuah hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau yang Mahaawal, yang tidak ada sesautu pun sebelum Engkau.” (HR Muslim). “Sabbahâllillâhi mâ fissamâwâti wal ardh” ... maka bertasbihlah apa yang yang ada di langit dan juga di bumi karena Allah-lah Zat Yang Maha Menghidupkan, Mematikan, Berkuasa dan memiliki kendali penuh atas segala sesuatu, Dia pulalah Yang Maha Mengawali, Maha Mengakhiri, Yang Zahir, Yang Bathin, dan Maha Mengatahui segala yang ada.
Berdasarkan kenyataan ini, sebuah awal adalah sebuah pengingat yang semestinya menohok kesadaran kita sebagai manusia bahwa tidak ada satu pun di alam ini yang mampu mengubah apapun yang telah berlalu, kecuali Allah Ta’ala. Maka, kita pun semestinya merenungi keberadaan diri yang masih mendapat kesempatan, amanah, untuk menyambung hidup dan peluang untuk menginisiasi atau mengawali kebaikan dan mengonstruksi struktur kebahagiaan. Sebab, apapun yang telah berlalu hanya akan mampu untuk kita kenang, kita petik hikmahnya, bahkan lebih ironis lagi, kerap hanya kita sesali dan warnai dengan keluh kesah.
Terkait hal ini, saya ingin mengutip sebuah hasil penelitian dalam bidang neurosains yang sangat menarik. Tim peneliti dari University of Michigan yang dipimpin oleh Dr. Umemori melakukan suatu proses rekayasa genetika untuk mendeaktivasi 40 persen sel-sel neuron di hipokampus. Hipokampus adalah pusat pengolahan memori dan pembentukan persepsi. Manusia dapat merasakan ketenangan dan kebahagiaan jika hipokampusnya bekerja dengan baik. Proses deaktivasi yang dilakukan ternyata mendorong sejumlah sel mikroglia yang merupakan bagian dari sistem imunitas untuk memutuskan sinap-sinaps konektivitas yang berasal dari sel-sel yang tidak aktif itu.
Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa sel-sel yang aktif akan dipertahankan konektivitasnya melalui metode seleksi karena adanya persaingan dengan sel yang tidak aktif. Artinya, sekumpulan orang malas akan terlibas oleh orang-orang yang rajin dan suka bekerja keras.
Maka, mari kita bayangkan apabila kita kerap menyesali dan bersikap penuh keluh kesah terhadap apa yang telah kita lalui, kemudian kita senantiasa mencemaskan hal-hal yang belum terjadi, berapa banyak koneksi kebahagiaan kita yang tereliminasi?
Dengan demikian, ketika kita cemas terhadap masa depan serta terjebak dalam penyesalan pada masa lalu, hal tersebut menjadi cerminan dari sikap ragu dan tidak yakin akan keberadaan dan peran Zat yang bersifat Dzul Jalâli wal Ikrâm, mata air dan sumber kemuliaan. Allâhu shamad, hanya kepada-Mu ya Allah sesungguhnya tempat untuk bergantung. Keikhlasan total kepada Allah Ta’ala akan mengaktifkan area prefrontal corteks di otak manusia yang akan menumbuhkan visi berperspektif luas. Sebuah visi yang akan menghantarkan teraihnya mimpi untuk merengkuh bahagia baik di dunia maupun di akhirat.
Ketika kita terbenam dalam ketakutannya, setidaknya ada lima respons fisiologis yang berlangsung di dalam tubuh. Pertama, terjadi penurunan kadar hormon serotonin. Hormon serotonin ini apabila terdapat dalam jumlah yang memadai (tidak kurang dan juga tidak lebih) akan menghadirkan kedamaian, ketenangan, dan kelembutan perasaan. Kedua, terjadi penurunan kadar endorfin alias hormon kegembiraan dan kesenangan. Ketiga, terjadi penurunan kadar hormon oksitosin dan vasopresin alias hormon cinta. Keempat, terjadi peningkatan kadar hormon kortisol alias hormon kecemasan dan kegelisahan (hormon stres). Adapun yang kelima, terjadi peningkatan kadar hormon adrenalin dan hormon sejenisnya.
Dengan kondisi fisiologis seperti itu apa yang akan terjadi? Seseorang akan selalu merasa resah dan gelisah, sulit untuk merasa gembira, sulit untuk menyayangi orang lain dan berempati, selalu merasa tertekan, mudah sakit-sakitan, dan bersifat tergesa-gesa, bahkan melakukan perbuatan yang melampaui batas.
Pada akhirnya, kondisi itu akan bermuara pada sifat senang “berkeluh kesah” atau menyesali diri. Tandusnya rasa gembira di hati ini akan mendorong seseorang untuk memperoleh kegembiraan dan kebahagiaan yang bersifat artifisial, sementara, dan hanya memperturuti hawa nafsu belaka. Biasanya seseorang akan menjadikan materi dan kenikmatan duniawi lainnya seperti makanan enak, pakaian bagus, hotel mewah, tempat berlibur spesial, dan “dugem” sebagai “obat” yang mereka anggap mampu menawarkan racun kesedihan dan kesepian. Dalam kondisi seperti itu social quotient juga akan melorot tajam. Mengapa? Karena ketidakbahagiaan akan memfokuskan seseorang untuk sekadar berpikir dan mengerahkan segala daya dan upayanya hanya bagi kepentingannya semata. Kondisi ini ditandai dengan menurunnya kadar hormon cinta yang menjamin kelangsungan semangat kebersamaan (relationship) dan kepedulian terhadap sesama.
Pada sisi lain, sistem pertahanan tubuhnya (imunitas) akan menurun dengan drastis. Dia pun akan mudah sakit dan dalam jangka panjang akan lebih rentan terhadap penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner. Selain penyakit jantung, kanker juga akan mengancam yang bersangkutan. Mengapa? Karena kanker dapat terjadi akibat adanya kegagalan sistem pertahanan tubuh dalam mengendalikan faktor pemicu tumbuhnya sel ganas. Faktor-faktor itu antara lain virus, bahan polutan, dan juga berbagai hormon yang kadarnya tidak seimbang.
Hal lain yang juga perlu dicermati adalah terjadinya peningkatan adrenalin atau hormon yang tergolong ke dalam jalur simpatomimetik alias menstimulasi sistem saraf simpatis. Pada kondisi takut dan cemas naiknya kadar adrenalin dimaksudkan sebagai respons untuk mempertahankan tubuh. Dengan demikian orang akan menjadi lebih agresif dan lebih mengedepankan pendekatan yang bersifat fisik (motorik).
Ciri dari dominannya adrenalin di sistem pengambilan keputusan adalah sifat keputusannya yang acapkali diambil secara tergesa-gesa, kurang perhitungan, dan pendekatannya bersifat egosentrik alias mengedepankan kepentingan diri sendiri. Maka, kita jangan heran apabila seseorang yang terbenam di dalam rasa takut dan cemasnya sendiri seringkali mengalami sindroma “menyelesaikan masalah dengan masalah”. Masalah yang sedang dihadapi diselesaikan dengan cara tercepat, tidak sesuai dengan batas kemampuan, dan mau menangnya sendiri. Akibatnya cara penyelesaian masalah seperti itu justru akan menjadi masalah tersendiri (masalah baru).
Mari, kita lihat berbagai berita di infotainment; seorang artis bermasalah dengan bisnisnya kemudian “ribut” dengan istrinya (gagal berkomunikasi karena kehilangan kemampuan berempati), bercerai, dan akhirnya sibuk bertengkar untuk memperebutkan hak asuh anak. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa seorang yang tegang karena cemas dan takut, adrenalinnya tidak semata mendorongnya menjadi bersifat agresif, melainkan juga menempatkan dirinya senantiasa berada dalam kondisi “alert” atau waspada.
Akibatnya segenap ototnya akan terus menerus berada dalam keadaan siaga alias siap berkontraksi kapan saja, jantungnya terus berdetak kencang, dan yang paling parah adalah semua inderanya menjadi sangat peka. Dia menjadi sulit tidur (insomnia), tidak tahan mendengar suara-suara di sekitarnya, sulit menikmati rasa makanannya, dan peka terhadap perubahan suhu di lingkungan yang sedang ditempatinya. Sungguh, inilah hidup yang tidak nyaman. Perlu diingat pula bahwa semua ini biasanya diawali oleh sebuah “rasa bersalah”. Rasa bersalahlah yang kemudian menumbuhkan ketakutan dan kecemasan.
Dengan melihat efek buruk yang ditumbulkan dari ketakutan tersebut, tidak ada cara lain yang dapat kita tempuh selain ”menghadapi ketakutan tersebut, terus menerus dan dengan tekun sampai kita menjadi terlatih”.
Berikut ini ada beberapa tips tentang bagaimana mengolah rasa takut menjadi energi yang memberdayakan.
- Berlatihlah untuk mengelola ketakutan dengan melakukan “tantangan-tantangan” yang bersifat ekstrem (extreme challenge). Apa sajakah yang termasuk ke dalam extreme challenge? Dalam konteks pribadi, extreme challenge ini dapat berupa melakukan aktivitas traveling yang tidak biasa, menekuni ilmu baru, bergaul dengan lingkungan atau orang-orang baru, melakukan inovasi dalam melakukan amal kebaikan yang manfaatnya bisa dirasakan banyak orang, dan sebagainya.
- Berlatihlah untuk mengukur kemampuan dalam proses “risk taking” (mengambil risiko). Keberanian mengambil risiko dapat mencerminkan suatu kemampuan analitik dan kepekaan kesadaran yang menempatkan diri kita untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hasil yang optimal memiliki indikator berupa keseimbangan antara upaya (effort) dengan dampak yang ditimbulkannnya. Tentunya dampak yang sesuai dengan yang diharapkan.
- Kedua kegiatan di atas hendaklah mengedepankan manajemen kendali berbasis intelektualitas (kognisi), emosi, lingkungan, dan variabel sosial. Dengan demikian, setiap aktivitas “games” yang kita lakukan manfaatnya tidak terlepas dari impact yang diterima oleh keempat faktor tersebut.
- Syarat terpenting yang harus menjadi aturan main utama extreme challenge games ini adalah: jangan melampaui batas.
- Refererensi : Mengelola Rasa Kecewa dan Penyesalan